Urgensi Pembentukan Dewan Kehormatan Bersama (Menjaga Martabat Profesi Advokat Melalui Etika yang Terpadu dalam Era Distrubsi)

 Menjaga Martabat Profesi Advokat Melalui Etika yang Terpadu dalam Era Distrubsi

Hartanto 

Profesi advokat menempati posisi penting dalam sistem peradilan (catur wangsa). Mereka bukan hanya perpanjangan tangan hukum atau bahkan setara biro jasa hukum, tetapi juga pelindung hak asasi dan suara bagi yang lemah. Sebagai bagian dari profesi yang disebut officium nobile (profesi yang mulia) tanggung jawab advokat melampaui soal teknis legal belaka. Etika dan integritas menjadi pilar utama yang meneguhkan kehormatan profesi ini.

Fenomena saat ini marwah (spirit) tersebut belum sepenuhnya terjaga. Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi profesi ini adalah lemahnya penegakan kode etik akibat fragmentasi organisasi advokat, dan juga berbagai alasan pembenar untuk mempermudah seseorang lulus menjadi advokat. Ketika advokat yang dikenai sanksi etik dapat berpindah ke organisasi lain tanpa konsekuensi nyata, maka kredibilitas profesi pun menjadi taruhan. Inilah urgensi yang melandasi pembentukan Dewan Kehormatan Bersama sebagai upaya menyatukan kembali semangat etika dalam satu sistem yang kolektif dan bermartabat.

Fondasi Kepercayaan Publik

Etika dalam profesi advokat bukanlah sekadar dokumen peraturan. Ia adalah spirit moral yang membentuk kepercayaan publik terhadap profesi hukum. Dalam menjalankan tugasnya, advokat dituntut untuk tidak hanya memahami hukum, tetapi juga memiliki keteguhan moral, menjunjung tinggi kejujuran, dan menjadikan tanggung jawab sebagai prinsip utama. Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) menekankan prinsip-prinsip itu, menuntut para advokat menjaga martabat dan integritasnya dalam setiap langkah.

Perilaku yang menyimpang dari etika profes dapat berupai: penyalahgunaan kuasa, pelanggaran kerahasiaan klien, hingga konflik kepentingan yang tak dihindari, potensi sifat ”makelar” dalam menjalankan profesi. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman etika belum menyatu dalam kesadaran profesional advokat, dan seringkali hanya dijalankan secara formalistik. Dalam diskursus akademik, penting dibedakan antara moral dan etika. Moral adalah nilai-nilai yang tertanam dalam individu, sementara etika merupakan pedoman yang disepakati secara sosial untuk mengekspresikan nilai tersebut dalam perilaku. Dalam konteks advokat, kode etik adalah kristalisasi dari nilai-nilai moral hukum yang seharusnya dijunjung bersama. Di sinilah peran akademik pendidikan tinggi hukum menjadi kunci, perguruan tinggi hukum tidak hanya bertugas membekali mahasiswa dengan pasal dan teori, tetapi juga membentuk karakter dan kepekaan etik. Melalui studi kasus dan pembelajaran yang kontekstual, calon advokat perlu diajak menyelami nilai kemanusiaan yang menjadi fondasi setiap tindakan hukum yang mereka ambil, mereka haru selalu mengingat adanya kode etik dan sumpah atas nama profesi.

Fragmentasi Organisasi dan Disorientasi Etika

Sejak disahkannya UU. No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, sistem keorganisasian advokat di Indonesia menjadi plural. Pada satu sisi, ini mencerminkan demokratisasi dalam dunia hukum. Namun di sisi lain, pluralisme tersebut menghadirkan tantangan serius dalam aspek pengawasan etik.

 

Praktik “loncat organisasi” telah menjadi celah yang digunakan oleh oknum advokat untuk menghindari sanksi etik. Ketika setiap organisasi memiliki dewan kehormatan sendiri tanpa koordinasi atau standar bersama, maka mekanisme pengawasan kehilangan daya ikat dan tidak memiliki konsistensi nasional. Ini berpotensi melahirkan impunitas di kalangan advokat, sekaligus menurunkan kepercayaan publik terhadap profesi ini secara keseluruhan.

Kondisi ini memunculkan kebutuhan mendesak akan satu sistem etik bersama lintas organisasi yang bersifat final dan mengikat. Sebuah lembaga yang mampu mewakili suara kolektif profesi, serta menjaga agar semangat etika tidak tercerai-berai oleh ego sektoral masing-masing organisasi.

Langkah Strategis Menuju Etika yang Terintegrasi

Dewan Kehormatan Pusat Bersama (DKPB) hadir sebagai jawaban atas disorientasi etik yang selama ini terjadi. Inisiatif pembentukannya datang dari organisasi-organisasi advokat seperti PERADI, AAI, IKADIN, dan KAI, dll. Gagasan utamanya sederhana namun krusial: membangun satu forum etik nasional yang independen, adil, dan mengikat seluruh anggota organisasi yang terlibat.

DKPB membawa harapan baru bagi tata kelola etika profesi advokat. Melalui sistem banding etik yang lintas organisasi, upaya menghindar dari tanggung jawab etik melalui perpindahan organisasi bisa dihentikan. Dengan begitu, tidak ada lagi tempat bagi advokat yang melanggar etik untuk berlindung di balik perbedaan bendera organisasi. DKPB juga mencerminkan komitmen bersama dalam menjaga harkat dan martabat profesi bersama-sama. Ini bukan hanya soal penegakan aturan, tetapi tentang membangun solidaritas etik maupun kehormatan profesi demi menjaga kepercayaan publik. Hingga hari ini, keberlanjutan langkah DKPB masih belum menunjukkan geliat yang berarti. Meski sekretaris DKPB telah resmi terpilih sejak 27 November 2023, perkembangan lanjutan yang diharapkan belum juga tampak. Padahal, masyarakat hukum menanti gebrakan nyata dari lembaga ini untuk segera membuktikan fungsinya.

Untuk memperkuat sistem ini, perlu dibentuk struktur pendukung di tingkat daerah, yaitu Dewan Kehormatan Bersama Daerah (DKBD). Lembaga ini akan bertugas menangani pelanggaran etik di lapangan dan menjadi ujung tombak pengawasan di wilayah masing-masing. Dengan koordinasi yang baik antara DKPB dan DKBD, pengawasan etik dapat berjalan secara menyeluruh dan responsif.

Etika sebagai Jalan Menuju Profesi yang Bermartabat

Di era ketika masyarakat semakin kritis terhadap integritas penegak hukum, advokat dituntut untuk tidak hanya cakap dalam beracara, tetapi juga bersih dalam bertindak. Pembentukan DKPB adalah langkah penting dalam mewujudkan etika yang terintegrasi, tetapi langkah ini membutuhkan kesinambungan, komitmen nyata, dan dukungan penuh dari seluruh elemen profesi.

Lebih dari sekadar lembaga, DKPB adalah simbol bahwa para advokat Indonesia mampu dan mau menjaga kehormatan profesinya secara kolektif. Maka, kini saatnya menjadikan etika bukan sekadar jargon, tetapi nafas hidup profesi advokat. Karena hanya dengan itu, keadilan dapat dijalankan dengan tulus dan martabat profesi tetap terjaga dalam mata publik.

https://scholar.google.co.id/citations?user=CA_A13wAAAAJ&hl=en

Comments

Popular posts from this blog

A Multidimensional Study of the Law of Goods and Services Procurement Contracts in Indonesia