EKSISTENSI DERADIKALISASI DALAM KONSEP PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA TERORISME

https://scholar.google.com/citations?user=CA_A13wAAAAJ&hl=en

FB : Hartanto uwm


EKSISTENSI DERADIKALISASI DALAM KONSEP PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA TERORISME

Hartanto
Universitas Widya Mataram Yogyakarta

Abstract

The existence of de-radicalization in an effort to reduce radical and neutralizing radical ideas for the people involved in terrorism is carried out as an attempt in parole for terrorism inmates, in implementing the deradicalisation program there is no benchmark for the level of success so that there is no achievement and is unclear about the subject or the target of a deradicalisation program, this is due to the absence of strict rules set out in Law No. 5 of 2018 concerning the Eradication of Crime of Terrorism to give obligations to terrorist inmates to take part in deradicalisation programs. The research method used is the normative legal research method. This study discusses the Conditional Release Ratio (Voorwaardelijke Invrjheids Stelling) for terrorism inmates and the Basic Principle of the theory of the fulfillment of rights for terrorism prisoners in obtaining parole in review of Indonesian criminal law and the responsibility for fulfilling terrorism prisoners' Deradicalization programs.


Keywords: Deradicalization, Parole, Terrorism

Abstrak

Eksistensi deradikalisasi dalam upaya mereduksi kegiatan radikal dan menetralisasi faham radikal bagi masyarakat yang terlibat tindak pidana terorisme program ini dilakukan sebagai upaya dalam pembebasan bersyarat bagi narapidana terorisme, dalam pelaksanaaan program deradikalisasi tidak memiliki tolak ukur mengenai tingkat keberhasilan sehingga tidak adanya pencapai serta kurang jelas mengenai subjek atau sasaran program deradikalisasi, hal ini di kerenakan tidak adanya aturan yang tegas yang di tuangkan dalam UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk memberikan kewajiban kepada narapidana teroris untuk mengikuti program deradikalisasi. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum normatif. Penelitian ini membahas mengenai Ratio legis Pembebasan Beryarat (Voorwaardelijke Invrjheids Stelling) bagi narapidana terorisme dan Prinsip Dasar teori pemenuhan hak bagi narapidana terorisme dalam memperoleh pembebasan bersyarat di tinjau dari hukum pidana indonesia serta Tanggung jawab pemenuhan program Deradikalisasi narapidana terorisme.


Kata Kunci : Deradikalisasi, Pembebasan Bersyarat, Terorisme

PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Hukum, yang secara tegas tercantum dalam penjelasan pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sebagai negara

hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya. Di Negara Indonesia yang menjadi asas hukum pidananya adalah semboyan yang berbunyi : “ Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali “ yang artinya, tindak pidana tidak dapat dihukum kalau belum ada undang – undangnya lebih dahulu. Semboyan tersebut berasal dari Von Feuerbach, dimaksudkan untuk melindungi warga Negara dari tindakan sewenang – wenang penguasa ( hakim ). Semboyan tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP ( Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ), yang menyatakan : “ Tiada suatu perbuatan / tindakan yang dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang – undang yang ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan itu “. Istilah “ undang

– undang “ di sini harus diartikan secara luas, yaitu termasuk perundang – undangan yang dikeluarkan oleh yang berwajib ( misalnya : peraturan daerah yang mengandung ancaman hukuman ). Ketentuan di dalam Pasal 1 ayat (1) itu bermakna dua :

1.      Sebagai kepastian, bahwa undang – undang hanya berlaku untuk ke depan dan tidak berlaku surut.

2.      Sebagai kepastian, bahwa sumber hukum pidana tiada lain dari Undang – undang ( di dalam arti luas ).

Ketentuan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP ( Kitab Undang – Undang Hukum

Pidana ) di atas dikecualikan di dalam yang tersebut dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP ( Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ) yang berbunyi : “ Jika terjadi perubahan dalam peraturan hukum sesudah waktu dilakukan perbuatan itu, maka dipakailah ketentuan yang lebih baik / ringan bagi tersangka “.1 Syarat suatu Undang – undang :

1.      Rumusannya harus jelas, cermat ( Asas Lex Certa ), artinya Pasal – Pasal Undang – Undang ( UU ) tersebut tidak boleh menimbulkan penafsiran ganda.

2.      Batasan wewenang terhadap rakyat ( oleh penguasa harus tajam ( Pasal 1 ayat 1 KUHP ( Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ) dan Pasal 3 KUHAP ( Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana ).

  
1 Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung, Cv. Armico, 1993, hlm. 149.



Sifat perundang – undangan Pidana

1.      Melindungi rakyat dari tindakan pemerintah tanpa batas atau sewenang – wenang.

2.      Punya fungsi instrument dalam melaksanakan pemerintahan, mana yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. segi timbul atau dicetuskannya Asas Legalitas

3.      Untuk melindungi rakyat ( dari kesewenang – wenanganan penguasa Untuk melindungi penguasa dari rakyat ( Pasal 104, 154 KUHP ( Kitab Undang – Undang Hukum Pidana). Ajarannya : Von Psichologische Zwang ( Paksaan Psikologis ) yang berarti bahwa :

a)       Untuk memaksa rakyat berbuat menurut hukum, maka diberi ancaman bagi yang melawan.

b)      Agar ancaman pidana efektif dan ada efeknya, tiap – tiap pelanggaran pidana harus dipidana.

c)       Dalam  penerapan  pidana  berlaku  asas    Kesamaan    artinya  dalam

keadaan yang sama diperlakukan sama.

Rumusannya :

1)      Noela Poena Sine Lege = tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang – undang.

2)      Noela Poena Sine Crimine = tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.

3)      Nullum Crimen Sine Poena Legali = tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang – undang.25

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Hukum dimana negara indonesia menjamin kepastian hukum dalam memberikan proses keadilan dengan cara menuangkan semua bentuk ketentuan pidana dalam perundang undangan. Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas harta benda milik pelaku tindak pidana. Pidana penjara merupakan jalan terakhir (ultimum remidium) dalam sistem hukum pidana yang berlaku, untuk itu dalam pelaksanaannya harus mengacu pada hak asasi manusia mengingat para narapidana memiliki hak-hak dasar yang harus dilindungi, salah satunya hak untuk hidup bebas atau untuk merdeka yang harus dijunjung tinggi keberadaannya. Mengenai tujuan pemidanaan di dalam hukum pidana dikenal dengan adanya Teori Pembalasan, Teori Tujuan dan Teori Gabungan. Van Bemmelen dalam Amir Hamzah seorang ahli pidana menganut teori gabungan mengatakan, Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan ini dimaksudkan mengamankan dan memeliharan tujuan. Jadi pidana dan tindakan bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan

  
bermasyarakat”.2 Dalam perjalanannya terori pemidanaaan bukan lagi sebagai pembalasan melainkan sebagai pembinaan.

Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai upaya pembalasan dendam, namun yang paling penting ialah sebagai upaya pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman kepadamasyarakat sekaligus kepada terpidana sendiri agarmenjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Demikianlah konsepsi baru mengenai pemidanaan bukan lagi sebagai penjeraan berlaka namun sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi tersebut di Indonesia disebut sebagai sistem Pemasyarakatan3 Sistem pemasyarakatan diatur dalam

UU  RI No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Adapun pengertian sistem pemasyarakatan menurut UURI No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut sebagai berikut:“Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan

mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibinadan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab4. Munculnya radikalisme tidak terlepas dari faktor-faktor yang melatar-belakanginya. Terdapat beberapa faktor dalam hal ini, yaitu:

1.      Proses individu

Setiap individu selalu mengalami proses fase-fase kehidupan. Pada fase usia muda, anak muda pada umumnya mengalami suatu proses masa pencarian identitas diri, ini merupakan bagian dari proses mendefinisikan hubungan seseorang dengan dunia. Pada kondisi seperi inilah seseorang mudah sekali terpengaruh doktrin radikalisasi.

2.      Pengaruh lingkungan

Kelompok-kelompok radikal tertentu sering menggunakan orasi dan narasi politis melalui organisasi keagamaan yang memiliki pengaruh besar di masyarakat untuk memasukkan doktrin-doktrin radikal.

3.      Emosi keagamaan

2 Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm 32

3 Bahrudin Agung Permana Putra, Paham Triyoso, Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Pengawasan terhadap Narapidana Yang Memperolehpembebasan Bersyarat(Studi Di Kejaksaan Negeri Malang) , Malang, ,jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya hlm 1

4 Ibid.,

  Alasan solidaritas keagamaan untuk saudara sesama muslim yang tertindas oleh kekuatan tertentu (non muslim) sering dijadikan kail sentimen keagamaan untuk tujuan membangkitkan emosi keagamaan.

4.      Perihal ideologis

Ketidakmampuan dalam memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban maju yang mendominasi, membuat kelompok tertentu menempuh jalur keras dan radikal untuk menunjukkan hegemoni mereka

5.      Sosial dan politik

Perkembangan dalam kehidupan ini telah dipandang penuh dengan kenistaan, kemaksiatan dan kedzaliman, sehingga satu-satunya jalan keselamatan adalah kembali kepada agama dengan militansi tinggi. Demikian juga peristiwa-peristiwa ketidakadilan, semena-mena dan kecongkakan menimbulkan antipati sekelompok orang untuk menjadi radikal. Praktik politik yang cenderung korup, hanya berpihak kepada pemilik modal, kekuatan asing dan tidak mempedulikan rakyat kecil, akan melahirkan sikap skeptis masyarakat, memunculkan kelompok anti pemerintah dan melahirkan radikalisme (Mughni). Radikalisme telah lahir dengan berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Radikalisme wacana tampak lebih dilatarbelakangi oleh faktor emosional keagamaan dan perihal ideologi. Mereka melandasi pendirian mereka dengan hasil interpretasi versinya dan klaim kebenaran terhadap pemahamannya. Sedangkan radikalisme perilaku tampak lebih dilatarbelakangi oleh faktor kekecewaan (sosial politik), ketidakpuasan terhadap keadaan tertentu (proses individu) serta emosional keagamaanngkungan5

Faktor-faktor diatas merupakan suatu alasan yang melatar-belakanginya gerakan radikalisme ini terus berkembang untuk itu perlunya aturan yang tegas agar dapat mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya Friedrich August von Hayek mengatakan tanggung jawab kolektif mengacu pada tanggung jawab individu. Istilah tanggung jawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi tanggung jawab itu sendiri.6 untuk itu perlunya tanggungjawab ( individu) hukum tindak pidana terorisme antara lain sebagai berikut:

a)      bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

b)      telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;

c)      telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani; dan


5Jurnal hukum Zainul Muhibbin1 dan Moh. Saifulloh , Strategi Deradikalisasi Keagamaan Dengan Gerakan Reinterpretasi, Kontekstualisasi dan Rasionalisasi, Surabaya, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) hlm 8

6 Widiyono, Wewenang Dan Tanggung Jawab, Bogor, Ghalia Indonesia, 2004, Cetakan Pertama, hlm. 27

   
d)     telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar:

1)       kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana warga negara Indonesia; atau

2)    tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana warga negara asing.

Selain  itu  Narapidana  yang  dipidana  karena  melakukan  tindak  pidana

terorisme juga harus melampirkan surat keterangan telah mengikuti Program Deradikalisasi dari Kepala Lapas dan/atau Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.7program Deradikalisasi merupakan suatu upaya mereduksi kegiatan kegiatan radikal dan menetralisasi faham faham radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota masyarakat yang terespose paham paham radikal teroris. Program deradikalisasi merupakan program yang dianggap gagal dalam menangani perkara tindak pidana terorisme dapat di lihat program deradikalisasi tidak menyentuh idiologi pada objeknya. Program deradikalisasi yang di lakukan oleh pemerintah hanya dapat mengubah perilaku radikal dan tidak dapat menghilangkan idiologi radikal. Progam deradikalisasi dinilai gagal dengan adanya serangan bom Surabaya Rentetan aksi teror menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas program deradikalisasi.

Ditahun 2017 ada 400 eks anggota kelompok terorisme di indonesia yang belum tersentuh program deradikalisasi eks anggota kelompok terorisme tersebut menolak mengikuti program deradikalisasi hal ini di karenakan dalam yang undang undang terorisme tidak diatur mengenai kewajiban terorisme dalam mengikuti program deradikalisasi8. bahkan dalam aturan yang baru UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak secara eksplisit memberikan kewajiban kepada narapidan teroris untuk mengikuti program deradikalisasi

Eksistensi deradikalisasi dalam upaya mereduksi kegiatan radikal dan menetralisasi faham radikal bagi masyarakat yang terlibat tindak pidana terorisme program ini dilakukan sebagai upaya dalam pembebasan bersyarat bagi narapidana terorisme, dalam pelaksanaaan program deradikalisasi tidak memiliki tolak ukur mengenai tingkat keberhasilan sehingga tidak adanya pencapai serta kurang jelas mengenai subjek atau sasaran program deradikalisasi.

Perlunya eksistensi Kajian hukum dalam pelaksanaan program deradikalisasi hal ini di karenakan kejahatan terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang menimbulkan dampak negatif baik bagi negara maupun bagi masyarakat, peningkatan intensitas dapat berdampak pada disentegrasi sosial yang mengakibatkan ketahanan masyarakat menjadi lemah dan rentan akan hasutan

7 Pasal 88 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM  No  3 Tahun 2018

8  Kegagalam Program Deradikalisasi, Http/Www.Bbc.Com. diAkses pada tanggal 20 Februari 2019 Pukul 16;44 Wib.


hasutan negatif yang dapat memecah belah NKRI dan kehidupan berbangsa dan bernegara9. sehingga kajian tersebut dapat dituangkan dalam aturan yang mencerminkan keadilan. Pandangan Roscoe Pound tentang law as a tool of social engineering10 dapat di jadikan sebagai fungsi hukum yang merupakan sarana yang dapat menciptakan suatu kepastian hukum serta sarana penjamin terciptanya keadilan. Theo Huijbers hukum harus terjalin terjalin erat dengan keadilan, hukum merupakan undang-undang yang adil bila suatu hukum konkrit yakni undang-undang yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka tidak dapat di katakan hukum lagi.

PEMBAHASAN

A.  Ratio legis Pembebasan Beryarat(Voorwaardelijke Invrjheids Stelling) bagi narapidana terorisme

Pembebasan bersyarat merupakan proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut minimal 9 (sembilan) bulan11. Pembebasan bersyarat tersebut merupakan bagian dari fungsi Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah satu dari bagian sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu Kepolisian,Kejaksaan, dan Pengadilan12. Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah pelepasan bersyarat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri13.

Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indieter pengaruh oleh sistem pidana penjara di Inggris (progressive system), dimana pembebasan bersyarat tersebut dimaksudkan sisa pidana terakhir dalam rangka pengembalian terpidana dengan baik ke
  

9 Reza Yoga Hatmoko, Kebijakan Pemberian Pembebasab Besyarat Terhadap Narapidana Terorisme Di Lembaga Pemasyarakatan, semarang, Diponegoro Law Jurnal, Volume

5 Nomor 3 Fakultas Hukum universitas Diponegoro, hlm 7.

10Lily Rasijidi, Dasar Dasar Filsafat Hukum, Bandung, Citra Aditya, 1990, hlm 47.

11    Indonesia [g],Peraturan Pemerintahtentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan HakWarga Binaan Pemasyarakatan,PP No. 32 Tahun 1999, LN No. 69 Tahun 1999, TLN No. 3846,ps.1 bagian 7

12Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty,Pembaharuan pemikiran DR.Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, (Jakarta: Indhill Co, 2008), hlm. 23

13  R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita,Sistem Pemasyarakatan Di Inodonesia, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1979), hlm. 17

masyarakat14. Pelepasan bersyarat tidak secara tersurat dituliskan dalam KUHP. Ketentuan pelepasan bersyarat dalam KUHP yang ditetapkan dengan K.B. No.33 tanggal 15 Oktober 1955 yang berlaku diIndonesia pada tanggal 1 Januari 1918 (vide Stb. 1917-497 jo 645)15, mengalami perubahan melalui Stb. 1926-251 jo 48616. Pada Pasal 15 lama ditentukan bahwa pelepasan bersyarat diterapkan kepada penjatuhan pidana penjara yang panjang. Pelepasan bersyarat akan diberikan apabila tiga perempat dari pidananya telah dijalani dalam penjara, yang sekurang - kurangnya harus tiga tahun. Sedangkan pada Pasal 15 KUHP yang diubah dengan Stb 1926 - 251 jo 486, yang merupakan Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang berlaku hingga sekarang, pelepasan bersyarat dapat diberikan kepada terpidana yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang - kurangnya harus 9 (sembilan) bulan, dimana ketentuan ini juga berlaku pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan. Selanjutnya, dalam peraturan perundang undangan yang mengatur mengenai pelepasan bersyarat, yaitu KUHP dan Ordonansi Pelepasan Bersyarat (Voorwaardelijke Invrijheidsteeling) S. 1917-749, tidak terdapat ketentuan mengenai bimbingan dan pembinaan terhadap terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat. Hal tersebut berbeda pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan, yakni terdapat pengaturan mengenai bimbingan dan pembinaan dalam ketentuan pembebasan bersyarat, yaitu dalam Undang -Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat wajib mengikuti bimbingan yang diberikan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

Berdasarkan dari tujuan daripada penjatuhan pidana selain pembinaan kepada pelaku atas kejahatannya juga bermaksud mengamankan masyarakat, dari kedua tujuan tersebut juga bermaksuduntuk mempersiapkan dan memberikannarapidana tersebut bekal saat dikembalikan ke dalam masyarakat. Pembinaan narapidana yang dilaksanakan berdasarkan sistem kemasyrakatan diharapkan mampu untuk mencapai tujuan -tujuan dari pemidanaan, untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satu upayanya adalah dengan pemberian pembebasan bersyarat. Pelepasan bersyarat pada awalnya dikenal di dalam Wetboek Van Strafrecht (WvS) Belanda, kemudian dirubah dengan Stb. 1926 No. 251 jo 486 yang merupakan kelanjutan dari Stb. 1917 No. 749 yang saat ini dikenal sebagai Ordonnantie Op De Voorwaardelijke Invrjheids Stelling. Lamintang mengatakan bahwa pembebasan bersyarat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :17


14 E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi,Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,cet. 3, Jakarta, Storia Grafika, 2002, hlm. 473

15 Bambang Poernomo,Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 87

16E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Op. Cit., hlm. 476
17P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984, hlm 247 -
248.



1)     Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara dalam suatu lembaga pemasyarakatan seperti yang diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 17 KUHP, lebih lanjut setelah diatur dalam ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Stb nomor 749 yang juga dikenal sebagai ordonansi de voor wardelijjke invrijheidstelling atau peraturan mengenai Pembebasan bersyarat.

2)    Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk mendapatkan pendidikan dalam suatu lembaga pendidikan suatu Negara seperti yang dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (1) dari ordonansi pada tanggal 21 Desember 1917, Stb nomor 741 yang juga dikenal sebagai dwangopveding regeling atau peraturan

mengenai pendidikan paksa.

Terkait dengan fenomena kejahatan terorisme maka proses pemidanaan terhadap pelaku untuk menjaga stabilitas keamanan. Untuk itu di berlakukannya syarat umum pembebasan bersyarat untuk di atur dalam pidana khusus Niewenhuis berpendapat bahwa pembentuk produk hukum perlu mempengaruhi hukum positif sehingga suatu penegakan hukum yang baik tidak akan ada tanpa adanya prinsip prinsip keadilan yang di tuangkan dalam produk hukum18 selain syarat umum diatas, ada juga syarat khusus bagi tindak pidana tertentu, antara lain sebagai berikut:19

a)      bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

b)     telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;

c)      telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani; dan

d)     telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar:

3)      kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana warga negara Indonesia; atau

4)      tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana warga negara asing.

Asimilasi adalah proses pembinaan Narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana dalam kehidupan masyarakat20 yang dalam hal ini

18 Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah, Yogyakarta, Laksbang Pressindo, 2009, hlm 36-37.

19

20Psl. 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat



proses asimilasi ini belum di gambarkan secara jelas di karenakan Pemberian pembebasan bersyarat dan asimilasi dalam pembentukannya tidak hanya di latar belakangi oleh hukum melainkan dari aspek aspek sosial, sehingga muncul keresahan dalam masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selain itu syarat khusus dengan mengikuti Deradikalisasi yang merupakan suatu upaya mereduksi kegiatan kegiatan radikal dan menetralisasi faham faham radikal bagi masyarakat yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota masyarakat yang terespose paham paham radikal teroris. Program deradikalisasi merupakan program yang dianggap gagal dalam menangani perkara tindak pidana terorisme dapat di lihat program deradikalisasi tidak menyentuh idiologi pada objeknya. Deradikalisasi yang di lakukan oleh pemerintah hanya dapat mengubah perilaku radikal dan tidak dapat menghilangkan idiologi radikal selain itu tidak ada kewajiban yang mengikuti Deradikalisasi sehingga menghilangkan esensi fungsi hukuman bagi pelaku kejahatan terorisme dan memiliki orientasi penegakan hukum yang jelas dan memiliki nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan sepertihalnya di kemukan oleh Gustav Radbruch bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian dan kemanfatan.21yang merupakan upaya yang positif dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.

B.  Prinsip Dasar teori pemenuhan hak bagi narapidana terorisme dalam memperoleh pembebasan bersyarat di tinjau dari hukum pidana indonesia

1.   Hak narapidana dalam proses pembinaan di lembaga pemasyarakatan.

Pembebasan bersyarat merupakan hak asasi manusia yang kemudian hak asasi tersebut dituangkan dalam produk hukum yang di atur dalam UU No 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Seiring dengan perubahan penjara menjadi lembaga pemasyarakatan, penekanan perlakuan terhadap narapidana dan anak pidana seharusnya telah berubah secara total, karena dasar pijakannya sudah berubah dari pembalasan menjadi pembinaan. Oleh karena perubahan itu, kepada narapidana dan anak pidana telah diberikan berbagai macam hak, seperti hak untuk melakukan ibadah, mendapat perawatan (rohani dan jasmani),pendidikan dan pengajaran, pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, menyampaikan keluhan, menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya, pengurangan masa pidana (remisi), berasimilasi (termasuk cuti mengunjungi keluarga), pembebasan bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Hak-hak tersebut diberikan seiring dengan proses pembinaan atau pemasyarakatan yang telah dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan Pembinaan dalam sistem

21Sidharta, Reformasi Peradilan Dan Tanggung Jawab Negara, Jakarta, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010, hlm 3


pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Sistem pemasyarakatan telah dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konsep pencetus lembaga pemasyarakatan itu sendiri, yaitu Sahardjo bahwa kehilangan kemerdekaan (kebebasan) merupakan satu-satunya pen-deritaan yang dialami narapidana dan anak pidana, sedangkan hak-hak lain tidak boleh dikurangi22

hal ini perlunya kajian pembatasan hak narapidana dalam menolak program deradikalisasi yang di atur dalam UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini di karenakan pembatasan hak seseorang hanya boleh di lakukan oleh undang undang pembatasan-pembatasan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28J ayat (2) yang menyatakan, pembatasan dapat dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat.

2.      Dasar teori pemenuhan hak bagi narapidana terorisme dalam memperoleh pembebasan bersyarat

Van Eikema Homes mengemukakan bahwa prinsip bukan norma hukum

yang konkret, tetapi sebagai dasar dasar umum atau penunjuk penunjuk bagi hukum yang berlaku. Jadi merupakan dasar-dasar petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif sehingga dalam pembentukan hukum praktis harus berorientasi pada prinsip prinsip hukum yang mana dasar dasar yang di jadikan sebagai petunjuk dalam pembentukan hukum pidana yang beorientasi pada prinsip prinsip hukum yang menjamin hak seluruh masyarakat. Van Bemmelen dalam Amir Hamzah seorang ahli pidana menganut teori gabungan mengatakan, Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan ini dimaksudkan mengamankan dan memeliharan tujuan. Jadi pidana dan tindakan bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan bermasyarakat”.23 Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai upaya pembalasan dendam, namun yang paling penting ialah sebagai upaya pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman kepada masyarakat sekaligus kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang

22 Jurnal, Berlian Simarmata, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Koruptor dan Teroris, yogyakarta, Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011, hlm 433

23Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm 32


  
baik. Dalam literatur berbahasa Inggris kerap kali dikemukakan bahwa hak berdasarkan hukum (legal right) dibedakan dari hak yang timbul dari norma lain. Menurut Paton, hak berdasarkan hukum biasanya diartikan sebagai hak yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Menurut Jeremy Bentham, hak adalah anak dari hukum. Dari hukum yang nyata timbul hak yang nyata. Sebaliknya dari hukum yang imajiner yaitu hukum alam, timbul hak yang bersifat imajiner. Hak-hak alamiah benar-benar tidak masuk akal. Sebelum Bentham, David Hume juga berpendapat bahwa hukum alam dan hak-hak alamiah bersifat meta-fisis dan tidak nyata. Oleh karena itu Bentham berpendapat bahwa hukum yang nyata bukanlah hukum alam, melainkan hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif.24
Menurut M.D.A Freeman terdapat dua teori mengenai hukum pidana, yaitu teori kehendak yang menitikbetkan kepada kehendak atau pilihan dan lain teori kepentingan atau teori kemanfaatan. Kedua teori tersebut berkaitan dengan tujuan hukum. Teori kehendak dianut oleh mereka yang berpandangan bahwa tujuan hukum memberikan kebebasan apa yang dikehendakinya. Apa yang akan ia lakukan merupakan suatu pilhan. Dengan demikian, diskresi individu merupakan ciri khas paling menonjol dari konsep hak. Penganut teori kehendak pada dewasa ini adalah H.L.A. Hart. 25
Adapun teori kepentingan atau kemanfaatan pertama kali dijumpai dalam karya Bentham yang kemudian diadopsi oleh Rudolf von Campbell, dan lain-lain. Dalam menelaah kedua teori tersebut, Paton berpendapat bahwa esensi hak bukanlah kekuasaan yang dijamin oleh hukum, melainkan kekuasaan yang dijamin oleh hukum untuk merealisasi suatu kepentingan. Untuk menopang pendapat tersebut, Paton mengemukakan bahwa kehendak manusia tidak bekerja tanpa maksud apa-apa tetapi mengingatkan tujuan-tujuan tertentu, yaitu kepentingan. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa kepentingan-kepentingan adalah objek keinginan manusia.26

Suatu negara pasti memiliki hubungan dengan warga negaranya. Hubungan inilah yang melahirkan hak dan kewajiban. Negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya, dan warga negara wajib mendapatkan


24Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2016, hlm.
142.

25Lord Lloyd of Hampstead dan M.D.A. Freeman, An Introduction To Jurisprudence . London: English Language Book Society, 1985, Di kutip dari Peter Mahmud Marzuki, Ibid., hlm. 150.

26Ibid., hlm. 290.



perlindungan hukum. Indonesia telah mengukuhkan dirinya sebagai negara hukum yang tercantum di dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “Indonesia adalah negara hukum”. Perlindungan hukum menjadi unsur esensial serta menjadi konsekuensi dalam negara hukum, negara wajib menjamin hak-hak hukum warganya. Merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum Indonesia yang berlandaskan kepada pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara.

Perlindungan hukum tidak dapat dipisahkan dari konsep tentang hak dan hukum. Secara etismologi antara hukum dan hak adalah sama. Istilah dalam bahasa-bahasa Eropa Kontinental, hak dan hukum dinyatakan dalam istilah yang sama, yaitu ius dalam bahasa latin, droit dalam bahasa Prancis, recht dalam bahasa Jerman dan Belanda. Untuk membedakan hak dan hukum, dalam literatur berbahasa Belanda digunakan istilah subjectief recht untuk hak dan objectief recht untuk hukum.27

Hans Kelsen sebagaimana dikutip dalam disertasi Winner Sitorus,28 mengartikan objectief recht atau objective law is norm, a complex norms, a system, sedangkan sebagai subjectief recht atau subjective rights is intersest or will. Teori perlindungan hukum dari Telders, Van der Grinten dan Molengraff sebagaimana dikutip Misahardi Wilamarta menyebutkan bahwa suatu norma dapat dilanggar apabila suatu kepentingan yang dimaksud untuk dilindungi oleh norma itu dilanggar. Teori ini menjadi pegangan yang kuat untuk menolak suatu tuntutan dari seseorang yang merasa dirugikan kepentingannya oleh suatu perbuatan melanggar hukum.29 Prajudi Atmosudirjo menyebutkan bahwa tujuan perlindungan hukum merupakan tercapainya keadilan. Fungsi hukum tidak hanya dalam upaya mewujudkan kepastian hukum saja, tetapi juga agar tercapainya jaminan dan keseimbangan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, akan tetapi berfungsi juga untuk menciptakan keseimbangan antara pelaku tindak pidana teroris dan, pemerintah dengan rakyat. Hukum sangat dibutuhkan untuk melindungi mereka yang lemah atau belum kuat untuk memperoleh keadilan sosial.30

27Peter Mahmud Marzuki , Op Cit., hlm.165-166.

28Winner Sitorus, Kepentingan Umum Dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Disertasi, Surabaya, Doktor, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2004, hlm. 24.

29Mishardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Monoritas dalam Rangka Good Corporte Gorvernance, Jakarta, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hlm. 20.

30L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Jakarta, Pradnya Paramitha, 2001, hlm .52.
  


3.      Tanggung jawab pemenuhan program Deradikalisasi narapidana terorisme.

a.   Program deradikalisasi

Deradikalisasi berasal dari kata “radikal” dengan imbuhan “de” yang berarti mengurangi atau mereduksi, dan kata “asasi”, di belakang kata radikal berarti proses, cara atau perbuatan. deradikalisasi merupakan suatu kegiatan untuk mereduksi faham faham radikal dan menetralisasi tindakan radikal bagi masyarakat yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota masyarakat yang telah terekspose paham-paham radikal teroris. Program deradikalisasi merupakan sebuah kegiatan yang memberikan pembinaan dengan maksud agar narapidana tidak mengulangi perbuatannya kembali dengan memasukan faham idiologi bangsa dan menjunjung tinggi pancasila serta menunjukan kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi serta tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme yang dibuat secara tertulis bagi Narapidana warga negara asing.

Deradikalisasi merupakan semua upaya untuk mentransformasi dari keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan selainnya) bagi orang yang terpengaruh oleh keyakinan radikal. Atas dasar itu, deradikalisasi lebih pada upaya melakukan perubahan kognitif atau memoderasi pemikiran atau keyakinan seseorang. Dengan demikian, deradikalisasi memiliki program jangka panjang guna membangun ideologi dan mengubah doktrin dan interpretasi pemahaman keagamaan teroris 31

Pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia dirumuskan sebagai suatu program yang utuh, integratif, dan berkesinambungan dengan dua klasiifikasi, yaitu Deradikalisasi di Luar Lapas dan Deradikalisasi di Dalam Lapas. Deradikalisasi di Luar Lapas mencakup tahap identifikasi, pembinaan kontra radikalisasi, dan monitoring dan evaluasi. Sementara Deradikalisasi di Dalam Lapas meliputi tahap identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, dan monitoring dan evaluasi. Program Deradikalisasi dilaksanakan secara bertahap agar tujuan dan sasaran dapat dicapai secara efektif.

Deradikalisasi di dalam Lapas memiliki sasaran para Narapidana tindak pidana terorisme yang tersebar di berbagai lapas di Indonesia. Sementara, deradikalisasi di luar Lapas memiliki sasaran :

1)      Individu, yaitu seseorang yang diindikasikan berpikiran radikal-teroris;

2)      Kelompok, yaitu sekumpulan orang yang bergabung dalam oraganisasi yang diindikasikan berpikiran radikal-teroris;

3)      Keluarga, yaitu keluarga inti dari individu atau kelompok yang terindikasi radikal. Keluarga ini juga dapat diperluas pada keluarga

31 Suroto, Harkat Dan Martabat Manusia Dalam Pandangan Kenegaraan Pancasila Dan UUD NRI Tahun 1945, Dosen Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Semarang, jurnal Pembaharuan Hukum Volume II No.3 September - Desember 2015



  
terdekatnya jika dipandang bahwa keluarga terdekat tersebut juga terindikasi berpaham radikal atau memberikan dukungan terhadap paham/aksi radikal terorisme;

Upaya untuk mentransformasi dari keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan selainnya) bagi orang yang terpengaruh oleh keyakinan radikal, upaya yang selama ini di lakukan melalui program deradikalisasi tidak memiliki tolak ukur mengenai tingkat keberhasilan sehingga tidak adanya pencapai terhadap pelaksanaan program ini selain itu pelaksanaan program ini kurang jelasnya mengenai subjek atau sasaran program deradikalisasihal ini di karena tidak ada payung hukum atau regulasi hukum yang tepat mengenai kewajiban pelaku terorisme yang wajib di ikuti.

4.      Tanggung jawab badan pelaksanaan program deradikalisasi Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

bertanggung jawab dalam upaya mereduksi kegiatan-kegiatan radikal dan menetralisasi paham radikal bagi pelaku yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota masyarakat yang telah terekspose paham-paham radikal teroris. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berfungsi32 sebagai:

a.       menyusun dan menetapkan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan Terorisme;

b.      menyelenggarakan koordinasi kebijakan, strategi dan program nasional di bidang penanggulangan Terorisme; dan

c.       melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.

Adapun program Deradikalisasi yang di lakukan oleh BNPT berdasarkan fungsi yang di berikan oleh undang- undang anatar alin sebagai berikut33:

a.   Membina narapidana terorisme agar meninggalkan pandangan, pemikiran, sikap, dan tindakan radikal terorisme melalui pendekatan agama, sosial, budaya, dan ekonomi;

b.   Memberikan pencerahan pemikiran kepada narapidana terorisme dengan pengetahuan agama yang damai dan toleran serta wawasan kebangsaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c.   Membina kemandirian kepada narapidana terorisme berupa pembekalan keterampilan, keahlian, dan pembinaan kepribadian;
  

32Pasal 43F UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

33Pasal 43D UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme


d.      Mempersiapkan narapidana terorisme sebelum kembali dan hidup berdampingan dengan masyarakat;

e.       Membina dan memberdayakan keluarga narapidana terorisme dan masyarakat agar dapat menerima kembali mantan narapidana teroris untuk dapat bersosialisasi di tengah masyarakat;

f.       Memberdayakan mantan narapidana terorisme, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan agama, sosial, pendidikan, budaya, dan ekonomi;

g.      Memberdayakan masyarakat dalam rangka meninggalkan paham dan

sikap radikal terorisme yang berkembang di tengah masyarakat;

Pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia dirumuskan sebagai suatu program yang utuh, integratif, dan berkesinambungan dengan dua klasiifikasi, yaitu Deradikalisasi di Luar Lapas dan Deradikalisasi di Dalam Lapas. Deradikalisasi di Luar Lapas mencakup tahap identifikasi, pembinaan kontra radikalisasi, dan monitoring dan evaluasi. Sementara Deradikalisasi di Dalam Lapas meliputi tahap identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, dan monitoring dan evaluasi. Program Deradikalisasi dilaksanakan secara bertahap agar tujuan dan sasaran dapat dicapai secara efektif. Progam deradikalisasi dinilai gagal dengan adanya serangan bom Surabaya Rentetan aksi teror menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas program deradikalisasi. Seyogyannya program ini mengunakan beberapa komponen yaitu rehabilitasi psikologis, rehabilitasi agama, rehabilitasi sosial, serta keterlibatan masyarakat dan dukungan keluarga. Proses rehabilitasi psikologis dimulai di penjara dengan mengevaluasi narapidana secara teratur. mencakup pula unsur dialog teologis, di mana narapidana terorisme terlibat dalam suatu dialog teologis. Serta dengan mengunakan model dialog karena segala bentuk faham radikal bisa dikalahkan oleh ide intelektual.

5.   Pengaturan hukum mengenai tanggung jawab pelaku tindak pidana terorisme

Dalam hal pertanggungjawaban dalam hukum pidana menganut asas “ tiada pidana tanpa kesalahan “ ( geen straf zonder schuld ). Walaupun tidak dirumuskan dalam undang – undang, tetapi dianut dalam praktik. Tidak dapat dipisahkan antara kesalahan dan pertanggung jawaban atas perbuatan. Orang yang melakukan dengan kesalahan saja yang dibebani tanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya.34 Dahulu dalam hal tindak pidana pelanggaran, pernah dianut paham pertanggung jawab pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan pada pembuatnya ( leer van het materiele fait ). Paham ini disebut juga dengan paham perbuatan materiil ( fait materielle ). Seperti contoh dalam hukum pidana fiskal tidak memakai kesalahan. Kalau orang telah melanggar ketentuan, dia

34Chazawi, Adami, Op.,Cit,, hlm. 151

  


diberi pidana denda atau rampas.35 Ridwan Halim berpendapat bahwa tanggung jawab hukum merupakan sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berperilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada.36

Extraordinary crime diartikan sebagai kejahatan luar biasa. Kejahatan luar biasa merupakan suatu kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan suatu keahlian khusus, terorganisir/sistematis serta memiliki dampak yang sangat luas. Jadi, berbeda dengan kejahatan konvensional (umum) seperti yang diatur dalam KUHP yang dapat dilakukan dengan cara-cara konvensional dan dampak yang relatif terbatas37 pemberian hak kepada pelaku kejahatan Extraordinary crime berbeda dengan kejahatan konvensional (umum). Salah satunya pemberian hak terhadap Pemberian pembebasan bersyarat yang merupakan hak wajib yang berlandaskan kepada pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Pembebasan bersyarat merupakan proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (duaper tiga) masapidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut minimal 9 (sembilan) bulan. Pembebasan bersyarat bagi narapidana Extraordinary crime yang di tuangkan dalam Permenkumham No 3 Tahun 2018, antara lain sebagai berikut:

a.       Tindak pidana terorisme (Pasal 84);

b.      Tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika serta psikotropika (Pasal 85);

c.       Tindak pidana korupsi, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat dan kejahatan

transnasional terorganisasi lainnya (Pasal 86);

Adapun tanggung jawab khusus bagi pelaku kejahatan Extraordinary crime khusus nya Narapidana terorisme, adapun tanggung jawab yang di lakukan sebagai berikut38:

a.   bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

35Moeljatno, Op.,Cit., hlm 165

36Khairunnisa, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Medan, Pasca Sarjana, 2008, Cetakan Pertama,, hlm. 4

37Bahrudin Agung Permana Putra, Paham Triyoso.,Op.,Cit., hlm 4

38Pasal 84 Peraturan Menteri Hukum dan HAM  No  3 Tahun 2018

 
 
b.      telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;

c.       telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani; dan

d.      telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar:

1)  kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana warga negara Indonesia; atau

2)  tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana warga negara asing.

Selain ketentuan di atas, bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme juga harus melampirkan surat keterangan telah mengikuti Program Deradikalisasi dari Kepala Lapas dan/atau Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.39 pelaku tindak pidana terorisme yang mengikuti program Deradikalisasi40antaralain sebagai berikut:
a.       tersangka
b.      terdakwa
c.       terpidana
d.      narapidana
e.       mantan narapidana Terorisme; atau

f.       orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal Terorisme.

program Deradikalisasi merupakan suatu upaya mereduksi kegiatan kegiatan radikal dan menetralisasi faham faham radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota masyarakat yang terespose paham paham radikal teroris. Program deradikalisasi merupakan program yang dianggap gagal dalam menangani perkara tindak pidana terorisme dapat di lihat program deradikalisasi tidak menyentuh idiologi pada objeknya. Program deradikalisasi yang di lakukan oleh pemerintah hanya dapat mengubah perilaku radikal dan tidak dapat menghilangkan idiologi radikal, sehingga perlunya kajian yang mendalam mengenai program deradikalisasi. selain itu perlu diatur kewajiaban pelaku tindak pidana terorisme dalam UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hal ini di maksud agar memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan program deradikalisasi tersebut program deradilakaisasi di lakukan seyogyanya bukan sebagi upayah dalam pemberian bebeas bersyarat melainkan sebagai upaya yang wajib kepada



39Pasal 88 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM  No  3 Tahun 2018

40 Pasal 43D  ayat (2) UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme
setiap prang yang terlibat dalam tindakan terorisme, dan memberikan batasan terhadap hak terorisme dalam penolakan mengikuti program deradikaliasi.

Secara umum, pemberian Pembebasan Bersyarat dilaksanakan melalui sistem informasi pemasyarakatan. Sistem informasi pemasyarakatan merupakan sistem informasi pemasyarakatan yang terintegrasi antara Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan, Kantor Wilayah, dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.41 adapun tata cara pemberian Pembebasan Bersyarat:

1.      Petugas pemasyarakatan mendata Narapidana yang akan diusulkan Pembebasan Bersyarat. Pendataan dilakukan terhadap syarat pemberian Pembebasan Bersyarat dan kelengkapan dokumen42.
2.      Kelengkapan dokumen wajib dimintakan setelah 7 (tujuh) hari Narapidana berada di Lapas/LPKA. Kelengkapan dokumen wajib terpenuhi paling lama 1/2 (satu per dua) masa pidana Narapidana berada di Lapas.43

3.      Selanjutnya, Tim pengamat pemasyarakatan Lapas merekomendasikan usul pemberian Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana kepada Kepala Lapas berdasarkan data Narapidana yang telah memenuhi persyaratan.44

4.      Dalam hal Kepala Lapas menyetujui usul pemberian Pembebasan Bersyarat, Kepala Lapas menyampaikan usul pemberian Pembebasan Bersyarat kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah.45

5.      Kemudian, Kepala Kantor Wilayah melakukan verifikasi tembusan usul pemberian Pembebasan Bersyarat yang hasilnya disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan.46
6.      Direktur Jenderal Pemasyarakatan melakukan verifikasi usul pemberian Pembebasan Bersyarat paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal usul pemberian Pembebasan Bersyarat diterima dari Kepala Lapas.47
7.      Dalam hal Direktur Jenderal Pemasyarakatan menyetujui usul pemberian Pembebasan Bersyarat, Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan HAM menetapkan keputusan pemberian Pembebasan Bersyarat. Keputusan pemberian Pembebasan Bersyarat

41Pasal 94 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No  3 Tahun 2018

42Pasal 95 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM  No  3 Tahun 2018

43Pasal 95 ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri Hukum dan HAM  No  3 Tahun 2018

44Pasal 96 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM  No  3 Tahun 2018

45Pasal 96 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM  No  3 Tahun 2018

46Pasal 97 Peraturan Menteri Hukum dan HAM  No  3 Tahun 2018

47Pasal 98 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM  No  3 Tahun 2018

  


disampaikan kepada Kepala Lapas untuk diberitahukan kepada Narapidana atau Anak dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah.48

Ketentuan yang diatur dalam Permenkumham No 3 Tahun 2018 tersebut bertujuan untuk membangun ideologi bangsa dalam menciptakan masyarakat yang madani. Secara umum, hukum berfungsi untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum, secara khusus mempunyai fungsi sebagai:

a.   Fungsi melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang.

b.   Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.

c.       Fungsi  mengatur  dan  membatasi  kekuasaan  negara  dalam  rangaka

menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.49

PENUTUP   ....



silahkan kunjungi ....


atau FB hartanto uwm


Comments

Popular posts from this blog

Jurnal PERLINDUNGAN HUKUM WARALABA SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA ( Hartanto & Erna Tri R R )

( Buku Monograf) PERSPEKTIF KEADILAN DAN KESEIMBANGAN PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK