EKSISTENSI DERADIKALISASI DALAM KONSEP PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA TERORISME
https://scholar.google.com/citations?user=CA_A13wAAAAJ&hl=en
Alasan solidaritas keagamaan untuk saudara sesama
muslim yang tertindas oleh kekuatan tertentu (non muslim) sering dijadikan kail
sentimen keagamaan untuk tujuan membangkitkan emosi keagamaan.
FB : Hartanto uwm
EKSISTENSI
DERADIKALISASI DALAM KONSEP PEMBEBASAN BERSYARAT BAGI NARAPIDANA TERORISME
Hartanto
Universitas
Widya Mataram Yogyakarta
Abstract
The existence of de-radicalization in an effort to reduce radical and
neutralizing radical ideas for the people involved in terrorism is carried out
as an attempt in parole for terrorism inmates, in implementing the
deradicalisation program there is no benchmark for the level of success so that
there is no achievement and is unclear about the subject or the target of a
deradicalisation program, this is due to the absence of strict rules set out in
Law No. 5 of 2018 concerning the Eradication of Crime of Terrorism to give
obligations to terrorist inmates to take part in deradicalisation programs. The
research method used is the normative legal research method. This study
discusses the Conditional Release Ratio (Voorwaardelijke Invrjheids Stelling)
for terrorism inmates and the Basic Principle of the theory of the fulfillment
of rights for terrorism prisoners in obtaining parole in review of Indonesian
criminal law and the responsibility for fulfilling terrorism prisoners'
Deradicalization programs.
Keywords:
Deradicalization, Parole, Terrorism
Abstrak
Eksistensi deradikalisasi dalam
upaya mereduksi kegiatan radikal dan menetralisasi faham radikal bagi
masyarakat yang terlibat tindak pidana terorisme program ini dilakukan sebagai
upaya dalam pembebasan bersyarat bagi narapidana terorisme, dalam pelaksanaaan
program deradikalisasi tidak memiliki tolak ukur mengenai tingkat keberhasilan
sehingga tidak adanya pencapai serta kurang jelas mengenai subjek atau sasaran
program deradikalisasi, hal ini di kerenakan tidak adanya aturan yang tegas
yang di tuangkan dalam UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme untuk memberikan kewajiban kepada narapidana teroris untuk mengikuti program
deradikalisasi. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian hukum
normatif. Penelitian ini membahas mengenai Ratio legis Pembebasan Beryarat (Voorwaardelijke Invrjheids Stelling)
bagi narapidana terorisme dan Prinsip Dasar teori pemenuhan hak bagi narapidana
terorisme dalam memperoleh pembebasan bersyarat di tinjau dari hukum pidana
indonesia serta Tanggung jawab pemenuhan program Deradikalisasi narapidana
terorisme.
Kata Kunci : Deradikalisasi, Pembebasan Bersyarat,
Terorisme
PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Hukum, yang secara
tegas tercantum dalam penjelasan pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945. Sebagai negara
hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi
untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga
negaranya. Di Negara Indonesia yang menjadi asas hukum pidananya adalah
semboyan yang berbunyi : “ Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali “ yang artinya, tindak
pidana tidak dapat dihukum kalau belum ada undang – undangnya lebih dahulu.
Semboyan tersebut berasal dari Von Feuerbach, dimaksudkan untuk melindungi
warga Negara dari tindakan sewenang – wenang penguasa ( hakim ). Semboyan
tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP ( Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana ), yang menyatakan : “ Tiada suatu perbuatan / tindakan yang dapat
dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang – undang yang
ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan itu “. Istilah “ undang
– undang “ di sini harus diartikan secara luas,
yaitu termasuk perundang – undangan yang dikeluarkan oleh yang berwajib (
misalnya : peraturan daerah yang mengandung ancaman hukuman ). Ketentuan di
dalam Pasal 1 ayat (1) itu bermakna dua :
1.
Sebagai kepastian, bahwa undang –
undang hanya berlaku untuk ke depan dan tidak berlaku surut.
2.
Sebagai kepastian, bahwa sumber
hukum pidana tiada lain dari Undang – undang ( di dalam arti luas ).
Ketentuan
dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP ( Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana ) di atas dikecualikan di dalam yang
tersebut dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP ( Kitab Undang – Undang Hukum Pidana ) yang
berbunyi : “ Jika terjadi perubahan dalam peraturan hukum sesudah waktu
dilakukan perbuatan itu, maka dipakailah ketentuan yang lebih baik / ringan
bagi tersangka “.1 Syarat suatu Undang – undang :
1.
Rumusannya harus jelas, cermat (
Asas Lex Certa ), artinya Pasal –
Pasal Undang – Undang ( UU ) tersebut tidak boleh menimbulkan penafsiran ganda.
2.
Batasan wewenang terhadap rakyat
( oleh penguasa harus tajam ( Pasal 1 ayat 1 KUHP ( Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana ) dan Pasal 3 KUHAP ( Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana ).
1 Samidjo, Pengantar
Hukum Indonesia, Bandung, Cv. Armico, 1993, hlm. 149.
|
|
|
Sifat
perundang – undangan Pidana
1.
Melindungi rakyat dari tindakan
pemerintah tanpa batas atau sewenang – wenang.
2.
Punya fungsi instrument dalam
melaksanakan pemerintahan, mana yang boleh dilakukan atau tidak boleh
dilakukan. segi timbul atau dicetuskannya Asas Legalitas
3.
Untuk melindungi rakyat ( dari
kesewenang – wenanganan penguasa Untuk melindungi penguasa dari rakyat ( Pasal
104, 154 KUHP ( Kitab Undang – Undang Hukum Pidana). Ajarannya : Von
Psichologische Zwang ( Paksaan Psikologis ) yang berarti bahwa :
a)
Untuk memaksa rakyat berbuat
menurut hukum, maka diberi ancaman bagi yang melawan.
b)
Agar ancaman pidana efektif dan
ada efeknya, tiap – tiap pelanggaran pidana harus dipidana.
c) Dalam penerapan
pidana berlaku asas “ Kesamaan
“ artinya dalam
keadaan
yang sama diperlakukan sama.
Rumusannya
:
1)
Noela Poena Sine Lege = tidak
ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut
undang – undang.
2) Noela Poena Sine Crimine = tidak
ada pidana tanpa perbuatan pidana.
3)
Nullum Crimen Sine Poena Legali = tidak
ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang – undang.25
Negara Indonesia adalah negara
yang berdasarkan atas Hukum dimana negara indonesia menjamin kepastian hukum
dalam memberikan proses keadilan dengan cara menuangkan semua bentuk ketentuan
pidana dalam perundang undangan. Dalam hukum pidana dikenal adanya sanksi
pidana berupa kurungan, penjara, pidana mati, pencabutan hak dan juga merampas
harta benda milik pelaku tindak pidana. Pidana penjara merupakan jalan terakhir
(ultimum remidium) dalam sistem hukum
pidana yang berlaku, untuk itu dalam pelaksanaannya harus mengacu pada hak
asasi manusia mengingat para narapidana memiliki hak-hak dasar yang harus
dilindungi, salah satunya hak untuk hidup bebas atau untuk merdeka yang harus
dijunjung tinggi keberadaannya. Mengenai tujuan pemidanaan di dalam hukum
pidana dikenal dengan adanya Teori Pembalasan, Teori Tujuan dan Teori Gabungan.
Van Bemmelen dalam Amir Hamzah seorang ahli pidana
menganut teori gabungan mengatakan, Pidana bertujuan membalas kesalahan dan
mengamankan masyarakat. Tindakan ini dimaksudkan mengamankan dan memeliharan
tujuan. Jadi pidana dan tindakan bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan
terpidana ke dalam kehidupan
bermasyarakat”.2 Dalam perjalanannya terori pemidanaaan bukan lagi sebagai pembalasan
melainkan sebagai pembinaan.
Penjatuhan pidana bukan
semata-mata sebagai upaya pembalasan dendam, namun yang paling penting ialah
sebagai upaya pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman kepadamasyarakat
sekaligus kepada terpidana sendiri agarmenjadi insaf dan dapat menjadi anggota
masyarakat yang baik. Demikianlah konsepsi baru mengenai pemidanaan bukan lagi
sebagai penjeraan berlaka namun sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi
sosial. Konsepsi tersebut di Indonesia disebut sebagai sistem Pemasyarakatan3 Sistem pemasyarakatan diatur
dalam
UU RI No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Adapun pengertian sistem
pemasyarakatan menurut UURI No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut
sebagai berikut:“Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan
mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga
binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu
antara pembina, yang dibinadan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga
binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam
pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab4. Munculnya radikalisme tidak terlepas dari faktor-faktor yang
melatar-belakanginya. Terdapat beberapa faktor dalam hal ini, yaitu:
1. Proses
individu
Setiap individu selalu mengalami proses fase-fase
kehidupan. Pada fase usia muda, anak muda pada umumnya mengalami suatu proses
masa pencarian identitas diri, ini merupakan bagian dari proses mendefinisikan hubungan
seseorang dengan dunia. Pada kondisi seperi inilah seseorang mudah sekali
terpengaruh doktrin radikalisasi.
2. Pengaruh
lingkungan
Kelompok-kelompok radikal tertentu sering
menggunakan orasi dan narasi politis melalui organisasi keagamaan yang memiliki
pengaruh besar di masyarakat untuk memasukkan doktrin-doktrin radikal.
3. Emosi
keagamaan
2 Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita,
hlm 32
3 Bahrudin Agung Permana Putra, Paham Triyoso, Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Pengawasan terhadap Narapidana
Yang Memperolehpembebasan Bersyarat(Studi Di Kejaksaan Negeri Malang) ,
Malang, ,jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya hlm 1
4 Ibid.,
4. Perihal
ideologis
Ketidakmampuan dalam memposisikan diri sebagai
pesaing dalam budaya dan peradaban maju yang mendominasi, membuat kelompok
tertentu menempuh jalur keras dan radikal untuk menunjukkan hegemoni mereka
5. Sosial
dan politik
Perkembangan dalam kehidupan ini telah dipandang
penuh dengan kenistaan, kemaksiatan dan kedzaliman, sehingga satu-satunya jalan
keselamatan adalah kembali kepada agama dengan militansi tinggi. Demikian juga
peristiwa-peristiwa ketidakadilan, semena-mena dan kecongkakan menimbulkan
antipati sekelompok orang untuk menjadi radikal. Praktik politik yang cenderung
korup, hanya berpihak kepada pemilik modal, kekuatan asing dan tidak
mempedulikan rakyat kecil, akan melahirkan sikap skeptis masyarakat, memunculkan
kelompok anti pemerintah dan melahirkan radikalisme (Mughni). Radikalisme telah
lahir dengan berbagai faktor yang melatarbelakanginya. Radikalisme wacana
tampak lebih dilatarbelakangi oleh faktor emosional keagamaan dan perihal
ideologi. Mereka melandasi pendirian mereka dengan hasil interpretasi versinya
dan klaim kebenaran terhadap pemahamannya. Sedangkan radikalisme perilaku
tampak lebih dilatarbelakangi oleh faktor kekecewaan (sosial politik),
ketidakpuasan terhadap keadaan tertentu (proses individu) serta emosional
keagamaanngkungan5
Faktor-faktor diatas merupakan
suatu alasan yang melatar-belakanginya gerakan radikalisme ini terus berkembang
untuk itu perlunya aturan yang tegas agar dapat mempertanggungjawabkan setiap
perbuatannya Friedrich August von Hayek mengatakan tanggung jawab
kolektif mengacu pada tanggung jawab individu.
Istilah tanggung jawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi
tanggung jawab itu sendiri.6 untuk itu perlunya tanggungjawab ( individu) hukum tindak pidana
terorisme antara lain sebagai berikut:
a)
bersedia bekerja sama dengan
penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang
dilakukannya;
b)
telah menjalani paling sedikit
2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana
tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;
c)
telah menjalani Asimilasi paling
sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib dijalani; dan
5Jurnal hukum Zainul Muhibbin1 dan Moh. Saifulloh , Strategi Deradikalisasi Keagamaan Dengan Gerakan Reinterpretasi,
Kontekstualisasi dan Rasionalisasi, Surabaya, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) hlm 8
6 Widiyono, Wewenang
Dan Tanggung Jawab, Bogor, Ghalia Indonesia, 2004, Cetakan Pertama, hlm. 27
d)
telah menunjukkan
kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan
menyatakan ikrar:
1)
kesetiaan kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana warga negara
Indonesia; atau
2)
tidak akan
mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana
warga negara asing.
Selain itu
Narapidana yang dipidana
karena melakukan tindak
pidana
terorisme juga harus melampirkan surat keterangan
telah mengikuti Program Deradikalisasi dari Kepala Lapas dan/atau Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme.7program Deradikalisasi merupakan suatu upaya mereduksi kegiatan kegiatan
radikal dan menetralisasi faham faham radikal bagi mereka yang terlibat teroris
dan simpatisannya serta anggota masyarakat yang terespose paham paham radikal
teroris. Program deradikalisasi merupakan program yang dianggap gagal dalam
menangani perkara tindak pidana terorisme dapat di lihat program deradikalisasi
tidak menyentuh idiologi pada objeknya. Program deradikalisasi yang di lakukan
oleh pemerintah hanya dapat mengubah perilaku radikal dan tidak dapat
menghilangkan idiologi radikal. Progam
deradikalisasi dinilai gagal dengan adanya serangan bom Surabaya Rentetan aksi
teror menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas program deradikalisasi.
Ditahun 2017 ada 400 eks anggota
kelompok terorisme di indonesia yang belum tersentuh program deradikalisasi eks
anggota kelompok terorisme tersebut menolak mengikuti program deradikalisasi
hal ini di karenakan dalam yang undang undang terorisme tidak diatur mengenai
kewajiban terorisme dalam mengikuti program deradikalisasi8. bahkan dalam aturan yang baru
UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak secara
eksplisit memberikan kewajiban kepada narapidan teroris untuk mengikuti program
deradikalisasi
Eksistensi deradikalisasi dalam
upaya mereduksi kegiatan radikal dan menetralisasi faham radikal bagi
masyarakat yang terlibat tindak pidana terorisme program ini dilakukan sebagai
upaya dalam pembebasan bersyarat bagi narapidana terorisme, dalam pelaksanaaan
program deradikalisasi tidak memiliki tolak ukur mengenai tingkat keberhasilan
sehingga tidak adanya pencapai serta kurang jelas mengenai subjek atau sasaran
program deradikalisasi.
Perlunya eksistensi Kajian hukum dalam pelaksanaan
program deradikalisasi hal ini di karenakan kejahatan terorisme merupakan
kejahatan luar biasa yang menimbulkan dampak negatif baik bagi negara maupun
bagi masyarakat, peningkatan intensitas dapat berdampak pada disentegrasi
sosial yang mengakibatkan ketahanan masyarakat menjadi lemah dan rentan akan
hasutan
7 Pasal 88 ayat (1) Peraturan
Menteri Hukum dan HAM No 3 Tahun 2018
8 Kegagalam
Program Deradikalisasi,
Http/Www.Bbc.Com. diAkses pada tanggal 20
Februari 2019 Pukul 16;44 Wib.
hasutan negatif yang dapat memecah belah NKRI dan
kehidupan berbangsa dan bernegara9. sehingga kajian tersebut dapat dituangkan dalam aturan yang
mencerminkan keadilan. Pandangan Roscoe
Pound tentang law as a tool of social
engineering10 dapat di jadikan sebagai fungsi
hukum yang merupakan sarana yang dapat
menciptakan suatu kepastian hukum serta sarana penjamin terciptanya keadilan. Theo Huijbers hukum harus terjalin
terjalin erat dengan keadilan, hukum merupakan undang-undang yang adil bila
suatu hukum konkrit yakni undang-undang yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip keadilan, maka tidak dapat di katakan hukum lagi.
PEMBAHASAN
A. Ratio
legis Pembebasan Beryarat(Voorwaardelijke
Invrjheids Stelling) bagi narapidana terorisme
Pembebasan bersyarat merupakan
proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua
per tiga) masa pidana tersebut minimal 9 (sembilan) bulan11. Pembebasan bersyarat tersebut
merupakan bagian dari fungsi Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah satu
dari bagian sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu Kepolisian,Kejaksaan, dan
Pengadilan12. Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah pelepasan bersyarat di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan KUHP dibuat
berdasarkan Wetboek van straftrecht voor
Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri13.
Keberadaan ketentuan pelepasan
bersyarat dalam Wetboek van straftrecht
voor Nederlandsch-Indieter pengaruh
oleh sistem pidana penjara di Inggris (progressive
system), dimana pembebasan bersyarat tersebut dimaksudkan sisa pidana terakhir dalam rangka pengembalian
terpidana dengan baik ke
9 Reza Yoga Hatmoko, Kebijakan Pemberian Pembebasab Besyarat Terhadap Narapidana Terorisme Di Lembaga
Pemasyarakatan, semarang, Diponegoro Law Jurnal, Volume
5 Nomor 3 Fakultas Hukum universitas Diponegoro,
hlm 7.
10Lily
Rasijidi, Dasar Dasar Filsafat Hukum,
Bandung, Citra Aditya, 1990, hlm 47.
11
Indonesia
[g],Peraturan Pemerintahtentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan HakWarga
Binaan Pemasyarakatan,PP No. 32 Tahun 1999, LN No. 69 Tahun 1999, TLN No.
3846,ps.1 bagian 7
12Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty,Pembaharuan pemikiran
DR.Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, (Jakarta: Indhill Co, 2008),
hlm. 23
13 R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli
Atmasasmita,Sistem Pemasyarakatan Di Inodonesia, (Bandung: Penerbit Binacipta,
1979), hlm. 17
masyarakat14. Pelepasan bersyarat tidak secara tersurat dituliskan dalam KUHP.
Ketentuan pelepasan bersyarat dalam KUHP yang ditetapkan dengan K.B. No.33
tanggal 15 Oktober 1955 yang berlaku diIndonesia pada tanggal 1 Januari 1918
(vide Stb. 1917-497 jo 645)15, mengalami perubahan melalui Stb. 1926-251 jo 48616. Pada Pasal 15 lama ditentukan
bahwa pelepasan bersyarat diterapkan kepada penjatuhan pidana penjara yang
panjang. Pelepasan bersyarat akan diberikan apabila tiga perempat dari
pidananya telah dijalani dalam penjara, yang sekurang - kurangnya harus tiga
tahun. Sedangkan pada Pasal 15 KUHP yang diubah dengan Stb 1926 - 251 jo 486,
yang merupakan Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang berlaku hingga sekarang,
pelepasan bersyarat dapat diberikan kepada terpidana yang telah menjalani 2/3
(dua per tiga) dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang
sekurang - kurangnya harus 9 (sembilan) bulan, dimana ketentuan ini juga
berlaku pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan. Selanjutnya, dalam
peraturan perundang undangan yang mengatur mengenai pelepasan bersyarat, yaitu
KUHP dan Ordonansi Pelepasan Bersyarat (Voorwaardelijke
Invrijheidsteeling) S. 1917-749, tidak terdapat ketentuan mengenai
bimbingan dan pembinaan terhadap terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat.
Hal tersebut berbeda pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan, yakni
terdapat pengaturan mengenai bimbingan dan pembinaan dalam ketentuan pembebasan
bersyarat, yaitu dalam Undang -Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat
wajib mengikuti bimbingan yang diberikan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
Berdasarkan dari tujuan daripada
penjatuhan pidana selain pembinaan kepada pelaku atas kejahatannya juga
bermaksud mengamankan masyarakat, dari kedua tujuan tersebut juga
bermaksuduntuk mempersiapkan dan memberikannarapidana tersebut bekal saat
dikembalikan ke dalam masyarakat. Pembinaan narapidana yang dilaksanakan
berdasarkan sistem kemasyrakatan diharapkan mampu untuk mencapai tujuan -tujuan
dari pemidanaan, untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satu upayanya adalah
dengan pemberian pembebasan bersyarat. Pelepasan bersyarat pada awalnya dikenal
di dalam Wetboek Van Strafrecht (WvS) Belanda, kemudian dirubah dengan Stb.
1926 No. 251 jo 486 yang merupakan kelanjutan dari Stb. 1917 No. 749 yang saat
ini dikenal sebagai Ordonnantie Op De
Voorwaardelijke Invrjheids Stelling. Lamintang
mengatakan bahwa pembebasan bersyarat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :17
14 E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi,Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,cet. 3, Jakarta, Storia
Grafika, 2002, hlm. 473
15 Bambang Poernomo,Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,
Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 87
16E.Y.
Kanter dan S. R. Sianturi, Op. Cit., hlm. 476
17P.A.F.
Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia,
Bandung: Armico, 1984, hlm 247 -
248.
1)
Pembebasan bersyarat dari
kewajiban untuk menjalankan pidana penjara dalam suatu lembaga pemasyarakatan
seperti yang diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 17 KUHP, lebih lanjut setelah
diatur dalam ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Stb nomor 749 yang juga
dikenal sebagai ordonansi de voor wardelijjke invrijheidstelling atau peraturan
mengenai Pembebasan bersyarat.
2)
Pembebasan bersyarat dari
kewajiban untuk mendapatkan pendidikan dalam suatu lembaga pendidikan suatu
Negara seperti yang dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (1) dari
ordonansi pada tanggal 21 Desember 1917, Stb nomor 741 yang juga dikenal
sebagai dwangopveding regeling atau
peraturan
mengenai
pendidikan paksa.
Terkait dengan fenomena kejahatan
terorisme maka proses pemidanaan terhadap pelaku untuk menjaga stabilitas
keamanan. Untuk itu di berlakukannya syarat umum pembebasan bersyarat untuk di
atur dalam pidana khusus Niewenhuis berpendapat
bahwa pembentuk produk hukum perlu mempengaruhi hukum positif sehingga suatu penegakan hukum yang baik tidak akan
ada tanpa adanya prinsip prinsip keadilan yang di tuangkan dalam produk hukum18 selain syarat umum diatas, ada juga syarat khusus bagi tindak pidana tertentu,
antara lain sebagai berikut:19
a)
bersedia bekerja
sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang
dilakukannya;
b)
telah menjalani
paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per
tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;
c)
telah menjalani
Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib
dijalani; dan
d)
telah menunjukkan
kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan
menyatakan ikrar:
3)
kesetiaan kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana warga negara
Indonesia; atau
4)
tidak akan
mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana
warga negara asing.
Asimilasi adalah proses pembinaan Narapidana yang dilaksanakan dengan
membaurkan Narapidana dalam kehidupan masyarakat20 yang dalam hal ini
18 Yohanes
Sogar Simamora, Hukum Perjanjian Prinsip
Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan
Jasa Oleh Pemerintah, Yogyakarta, Laksbang Pressindo, 2009, hlm 36-37.
19
20Psl. 1
angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 Tentang
Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat
proses asimilasi ini belum di gambarkan secara
jelas di karenakan Pemberian pembebasan bersyarat dan asimilasi dalam
pembentukannya tidak hanya di latar belakangi oleh hukum melainkan dari aspek
aspek sosial, sehingga muncul keresahan dalam masyarakat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara selain itu syarat khusus dengan mengikuti
Deradikalisasi yang merupakan suatu upaya mereduksi kegiatan kegiatan radikal
dan menetralisasi faham faham radikal bagi masyarakat yang terlibat teroris dan
simpatisannya serta anggota masyarakat yang terespose paham paham radikal
teroris. Program deradikalisasi merupakan program yang dianggap gagal dalam
menangani perkara tindak pidana terorisme dapat di lihat program deradikalisasi
tidak menyentuh idiologi pada objeknya. Deradikalisasi yang di lakukan oleh
pemerintah hanya dapat mengubah perilaku radikal dan tidak dapat menghilangkan
idiologi radikal selain itu tidak ada kewajiban yang mengikuti Deradikalisasi
sehingga menghilangkan esensi fungsi hukuman bagi pelaku kejahatan terorisme
dan memiliki orientasi penegakan hukum yang jelas dan memiliki nilai keadilan,
kepastian dan kemanfaatan sepertihalnya di kemukan oleh Gustav Radbruch bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut
memuat nilai keadilan, kepastian dan kemanfatan.21yang merupakan upaya yang positif
dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.
B. Prinsip
Dasar teori pemenuhan hak bagi narapidana terorisme dalam memperoleh pembebasan
bersyarat di tinjau dari hukum pidana indonesia
1. Hak narapidana dalam proses pembinaan di
lembaga pemasyarakatan.
Pembebasan bersyarat merupakan
hak asasi manusia yang kemudian hak asasi tersebut dituangkan dalam produk
hukum yang di atur dalam UU No 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Seiring
dengan perubahan penjara menjadi lembaga pemasyarakatan, penekanan perlakuan
terhadap narapidana dan anak pidana seharusnya telah berubah secara total,
karena dasar pijakannya sudah berubah dari pembalasan menjadi pembinaan. Oleh
karena perubahan itu, kepada narapidana dan anak pidana telah diberikan
berbagai macam hak, seperti hak untuk melakukan ibadah, mendapat perawatan
(rohani dan jasmani),pendidikan dan pengajaran, pelayanan kesehatan dan makanan
yang layak, menyampaikan keluhan, menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum,
atau orang tertentu lainnya, pengurangan masa pidana (remisi), berasimilasi
(termasuk cuti mengunjungi keluarga), pembebasan bersyarat, dan cuti menjelang
bebas. Hak-hak tersebut diberikan seiring dengan proses pembinaan atau
pemasyarakatan yang telah dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan Pembinaan dalam
sistem
21Sidharta, Reformasi Peradilan Dan
Tanggung Jawab Negara, Jakarta, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010,
hlm 3
pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas
pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan,
penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan
satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan
keluarga dan orang-orang tertentu. Sistem pemasyarakatan telah dirancang
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konsep pencetus lembaga pemasyarakatan
itu sendiri, yaitu Sahardjo bahwa kehilangan kemerdekaan (kebebasan) merupakan
satu-satunya pen-deritaan yang dialami narapidana dan anak pidana, sedangkan
hak-hak lain tidak boleh dikurangi22
hal ini perlunya kajian
pembatasan hak narapidana dalam menolak program deradikalisasi yang di atur
dalam UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal ini
di karenakan pembatasan hak seseorang hanya boleh di lakukan oleh undang undang
pembatasan-pembatasan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal
28J ayat (2) yang menyatakan, pembatasan dapat dilakukan dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat.
2.
Dasar teori pemenuhan hak bagi narapidana terorisme dalam memperoleh
pembebasan bersyarat
Van Eikema Homes mengemukakan
bahwa prinsip bukan norma hukum
yang konkret, tetapi sebagai dasar dasar umum atau
penunjuk penunjuk bagi hukum yang berlaku. Jadi merupakan dasar-dasar petunjuk
arah dalam pembentukan hukum positif sehingga dalam pembentukan hukum praktis
harus berorientasi pada prinsip prinsip hukum yang mana dasar dasar yang di
jadikan sebagai petunjuk dalam pembentukan hukum pidana yang beorientasi pada
prinsip prinsip hukum yang menjamin hak seluruh masyarakat. Van Bemmelen dalam
Amir Hamzah seorang ahli pidana menganut teori gabungan mengatakan, Pidana
bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan ini
dimaksudkan mengamankan dan memeliharan tujuan. Jadi pidana dan tindakan
bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan
bermasyarakat”.23 Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai upaya pembalasan dendam,
namun yang paling penting ialah sebagai upaya pemberian bimbingan dan
pengayoman. Pengayoman kepada masyarakat sekaligus kepada terpidana sendiri
agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang
22 Jurnal, Berlian Simarmata, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Koruptor dan Teroris, yogyakarta, Mimbar Hukum Volume
23, Nomor 3, Oktober 2011, hlm 433
23Andi
Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan
Pemidanaan Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm 32
baik. Dalam literatur berbahasa Inggris kerap kali
dikemukakan bahwa hak berdasarkan hukum (legal
right) dibedakan dari hak yang timbul dari norma lain. Menurut Paton, hak
berdasarkan hukum biasanya diartikan sebagai hak yang diakui dan dilindungi
oleh hukum. Menurut Jeremy Bentham, hak adalah anak dari hukum. Dari hukum yang
nyata timbul hak yang nyata. Sebaliknya dari hukum yang imajiner yaitu hukum
alam, timbul hak yang bersifat imajiner. Hak-hak alamiah benar-benar tidak
masuk akal. Sebelum Bentham, David Hume juga berpendapat bahwa hukum alam dan
hak-hak alamiah bersifat meta-fisis dan tidak nyata. Oleh karena itu Bentham
berpendapat bahwa hukum yang nyata bukanlah hukum alam, melainkan hukum yang
dibuat oleh lembaga legislatif.24
Menurut M.D.A Freeman terdapat
dua teori mengenai hukum pidana, yaitu teori kehendak yang menitikbetkan kepada
kehendak atau pilihan dan lain teori kepentingan atau teori kemanfaatan. Kedua
teori tersebut berkaitan dengan tujuan hukum. Teori kehendak dianut oleh mereka
yang berpandangan bahwa tujuan hukum memberikan kebebasan apa yang
dikehendakinya. Apa yang akan ia lakukan merupakan suatu pilhan. Dengan
demikian, diskresi individu merupakan ciri khas paling menonjol dari konsep
hak. Penganut teori kehendak pada dewasa ini adalah H.L.A. Hart. 25
Adapun teori kepentingan atau
kemanfaatan pertama kali dijumpai dalam karya Bentham yang kemudian diadopsi
oleh Rudolf von Campbell, dan lain-lain. Dalam menelaah kedua teori tersebut,
Paton berpendapat bahwa esensi hak bukanlah kekuasaan yang dijamin oleh hukum,
melainkan kekuasaan yang dijamin oleh hukum untuk merealisasi suatu
kepentingan. Untuk menopang pendapat tersebut, Paton mengemukakan bahwa
kehendak manusia tidak bekerja tanpa maksud apa-apa tetapi mengingatkan
tujuan-tujuan tertentu, yaitu kepentingan. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa
kepentingan-kepentingan adalah objek keinginan manusia.26
Suatu negara pasti memiliki
hubungan dengan warga negaranya. Hubungan inilah yang melahirkan hak dan
kewajiban. Negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya, dan
warga negara wajib mendapatkan
24Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana, 2016, hlm.
142.
25Lord
Lloyd of Hampstead dan M.D.A. Freeman, An
Introduction To Jurisprudence .
London: English Language Book Society, 1985, Di kutip dari Peter Mahmud Marzuki, Ibid., hlm. 150.
26Ibid., hlm. 290.
perlindungan hukum. Indonesia telah mengukuhkan
dirinya sebagai negara hukum yang tercantum di dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat 3
yang berbunyi “Indonesia adalah negara hukum”. Perlindungan hukum menjadi unsur
esensial serta menjadi konsekuensi dalam negara hukum, negara wajib menjamin
hak-hak hukum warganya. Merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum Indonesia
yang berlandaskan kepada pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara.
Perlindungan hukum tidak dapat
dipisahkan dari konsep tentang hak dan hukum. Secara etismologi antara hukum
dan hak adalah sama. Istilah dalam bahasa-bahasa Eropa Kontinental, hak dan
hukum dinyatakan dalam istilah yang sama, yaitu ius dalam bahasa latin, droit
dalam bahasa Prancis, recht dalam
bahasa Jerman dan Belanda. Untuk membedakan hak dan hukum, dalam literatur
berbahasa Belanda digunakan istilah subjectief
recht untuk hak dan objectief recht
untuk hukum.27
Hans Kelsen sebagaimana dikutip
dalam disertasi Winner Sitorus,28 mengartikan objectief recht
atau objective law is norm, a complex norms, a system, sedangkan sebagai
subjectief recht atau subjective
rights is intersest or will. Teori perlindungan hukum dari Telders, Van der
Grinten dan Molengraff sebagaimana
dikutip Misahardi Wilamarta menyebutkan bahwa suatu norma dapat dilanggar
apabila suatu kepentingan yang dimaksud untuk dilindungi oleh norma itu
dilanggar. Teori ini menjadi pegangan yang kuat untuk menolak suatu tuntutan
dari seseorang yang merasa dirugikan kepentingannya oleh suatu perbuatan
melanggar hukum.29 Prajudi Atmosudirjo menyebutkan bahwa tujuan perlindungan hukum
merupakan tercapainya keadilan. Fungsi hukum tidak hanya dalam upaya mewujudkan
kepastian hukum saja, tetapi juga agar tercapainya jaminan dan keseimbangan
yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, akan tetapi berfungsi juga
untuk menciptakan keseimbangan antara pelaku tindak pidana teroris dan,
pemerintah dengan rakyat. Hukum sangat dibutuhkan untuk melindungi mereka yang
lemah atau belum kuat untuk memperoleh keadilan sosial.30
27Peter Mahmud Marzuki , Op Cit., hlm.165-166.
28Winner Sitorus, Kepentingan
Umum Dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual,
Disertasi, Surabaya, Doktor, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2004,
hlm. 24.
29Mishardi
Wilamarta, Hak Pemegang Saham Monoritas
dalam Rangka Good Corporte
Gorvernance, Jakarta, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2002, hlm. 20.
30L.J. Van
Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum,
diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Jakarta, Pradnya Paramitha, 2001, hlm .52.
3.
Tanggung jawab pemenuhan program Deradikalisasi narapidana terorisme.
a. Program deradikalisasi
Deradikalisasi berasal dari kata “radikal”
dengan imbuhan “de” yang berarti mengurangi atau mereduksi, dan kata “asasi”,
di belakang kata radikal berarti proses, cara atau perbuatan. deradikalisasi
merupakan suatu kegiatan untuk mereduksi faham faham radikal dan menetralisasi
tindakan radikal bagi masyarakat yang terlibat teroris dan simpatisannya serta
anggota masyarakat yang telah terekspose paham-paham radikal teroris. Program
deradikalisasi merupakan sebuah kegiatan yang memberikan pembinaan dengan
maksud agar narapidana tidak mengulangi perbuatannya kembali dengan memasukan
faham idiologi bangsa dan menjunjung tinggi pancasila serta menunjukan kesetiaan
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi serta tidak akan
mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme yang dibuat secara tertulis bagi
Narapidana warga negara asing.
Deradikalisasi merupakan semua
upaya untuk mentransformasi dari keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak
radikal dengan pendekatan multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan
selainnya) bagi orang yang terpengaruh oleh keyakinan radikal. Atas dasar itu,
deradikalisasi lebih pada upaya melakukan perubahan kognitif atau memoderasi
pemikiran atau keyakinan seseorang. Dengan demikian, deradikalisasi memiliki
program jangka panjang guna membangun ideologi dan mengubah doktrin dan
interpretasi pemahaman keagamaan teroris 31
Pelaksanaan deradikalisasi di Indonesia
dirumuskan sebagai suatu program yang utuh, integratif, dan berkesinambungan
dengan dua klasiifikasi, yaitu Deradikalisasi di Luar Lapas dan Deradikalisasi
di Dalam Lapas. Deradikalisasi di Luar Lapas mencakup tahap identifikasi,
pembinaan kontra radikalisasi, dan monitoring dan evaluasi. Sementara
Deradikalisasi di Dalam Lapas meliputi tahap identifikasi, rehabilitasi,
reedukasi, resosialisasi, dan monitoring dan evaluasi. Program Deradikalisasi
dilaksanakan secara bertahap agar tujuan dan sasaran dapat dicapai secara
efektif.
Deradikalisasi di dalam Lapas
memiliki sasaran para Narapidana tindak pidana terorisme yang tersebar di
berbagai lapas di Indonesia. Sementara, deradikalisasi di luar Lapas memiliki
sasaran :
1)
Individu, yaitu seseorang yang diindikasikan
berpikiran radikal-teroris;
2)
Kelompok, yaitu sekumpulan orang
yang bergabung dalam oraganisasi yang diindikasikan berpikiran radikal-teroris;
3)
Keluarga, yaitu keluarga inti
dari individu atau kelompok yang terindikasi radikal. Keluarga ini juga dapat
diperluas pada keluarga
31 Suroto, Harkat
Dan Martabat Manusia Dalam Pandangan Kenegaraan Pancasila Dan UUD NRI Tahun 1945, Dosen
Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Semarang, jurnal Pembaharuan Hukum Volume II No.3 September - Desember 2015
terdekatnya jika dipandang bahwa keluarga terdekat
tersebut juga terindikasi berpaham radikal atau memberikan dukungan terhadap
paham/aksi radikal terorisme;
Upaya untuk mentransformasi dari
keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan multi
dan interdisipliner (agama, sosial, budaya, dan selainnya) bagi orang yang
terpengaruh oleh keyakinan radikal, upaya yang selama ini di lakukan melalui
program deradikalisasi tidak memiliki tolak ukur mengenai tingkat keberhasilan
sehingga tidak adanya pencapai terhadap pelaksanaan program ini selain itu
pelaksanaan program ini kurang jelasnya mengenai subjek atau sasaran program
deradikalisasihal ini di karena tidak ada payung hukum atau regulasi hukum yang
tepat mengenai kewajiban pelaku terorisme yang wajib di ikuti.
4.
Tanggung jawab badan pelaksanaan program deradikalisasi Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
bertanggung jawab dalam upaya mereduksi
kegiatan-kegiatan radikal dan menetralisasi paham radikal bagi pelaku yang
terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota masyarakat yang telah
terekspose paham-paham radikal teroris. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
berfungsi32 sebagai:
a.
menyusun dan menetapkan
kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan Terorisme;
b.
menyelenggarakan koordinasi
kebijakan, strategi dan program nasional di bidang penanggulangan Terorisme;
dan
c.
melaksanakan kesiapsiagaan
nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.
Adapun program Deradikalisasi yang di lakukan oleh BNPT berdasarkan
fungsi yang di berikan oleh undang- undang anatar alin sebagai berikut33:
a. Membina narapidana terorisme agar
meninggalkan pandangan, pemikiran, sikap, dan tindakan radikal terorisme
melalui pendekatan agama, sosial, budaya, dan ekonomi;
b. Memberikan pencerahan pemikiran kepada
narapidana terorisme dengan pengetahuan agama yang damai dan toleran serta
wawasan kebangsaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. Membina kemandirian kepada narapidana
terorisme berupa pembekalan keterampilan, keahlian, dan pembinaan kepribadian;
32Pasal 43F
UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
33Pasal 43D
UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
d.
Mempersiapkan narapidana
terorisme sebelum kembali dan hidup berdampingan dengan masyarakat;
e.
Membina dan memberdayakan
keluarga narapidana terorisme dan masyarakat agar dapat menerima kembali mantan
narapidana teroris untuk dapat bersosialisasi di tengah masyarakat;
f.
Memberdayakan mantan narapidana
terorisme, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan agama, sosial,
pendidikan, budaya, dan ekonomi;
g. Memberdayakan
masyarakat dalam rangka meninggalkan paham dan
sikap
radikal terorisme yang berkembang di tengah masyarakat;
Pelaksanaan deradikalisasi di
Indonesia dirumuskan sebagai suatu program yang utuh, integratif, dan
berkesinambungan dengan dua klasiifikasi, yaitu Deradikalisasi di Luar Lapas
dan Deradikalisasi di Dalam Lapas. Deradikalisasi di Luar Lapas mencakup tahap
identifikasi, pembinaan kontra radikalisasi, dan monitoring dan evaluasi.
Sementara Deradikalisasi di Dalam Lapas meliputi tahap identifikasi,
rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, dan monitoring dan evaluasi. Program
Deradikalisasi dilaksanakan secara bertahap agar tujuan dan sasaran dapat
dicapai secara efektif. Progam deradikalisasi dinilai gagal dengan adanya
serangan bom Surabaya Rentetan aksi teror menimbulkan pertanyaan mengenai
efektivitas program deradikalisasi. Seyogyannya program ini mengunakan beberapa
komponen yaitu rehabilitasi psikologis, rehabilitasi agama, rehabilitasi
sosial, serta keterlibatan masyarakat dan dukungan keluarga. Proses
rehabilitasi psikologis dimulai di penjara dengan mengevaluasi narapidana
secara teratur. mencakup pula unsur dialog teologis, di mana narapidana
terorisme terlibat dalam suatu dialog teologis. Serta dengan mengunakan model
dialog karena segala bentuk faham radikal bisa dikalahkan oleh ide intelektual.
5. Pengaturan
hukum mengenai tanggung jawab pelaku tindak pidana terorisme
Dalam hal pertanggungjawaban
dalam hukum pidana menganut asas “ tiada pidana tanpa kesalahan “ ( geen straf zonder schuld ). Walaupun
tidak dirumuskan dalam undang – undang, tetapi dianut dalam praktik. Tidak
dapat dipisahkan antara kesalahan dan pertanggung jawaban atas perbuatan. Orang
yang melakukan dengan kesalahan saja yang dibebani tanggung jawab atas tindak
pidana yang dilakukannya.34 Dahulu dalam hal tindak pidana pelanggaran, pernah dianut paham
pertanggung jawab pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan pada pembuatnya (
leer van het materiele fait ). Paham
ini disebut juga dengan paham perbuatan materiil ( fait materielle ). Seperti contoh dalam hukum pidana fiskal tidak
memakai kesalahan. Kalau orang telah melanggar ketentuan, dia
34Chazawi,
Adami,
Op.,Cit,, hlm. 151
diberi pidana denda atau rampas.35 Ridwan Halim berpendapat bahwa
tanggung jawab hukum merupakan sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan
peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara
umum tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu
atau berperilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang
telah ada.36
Extraordinary crime diartikan sebagai kejahatan luar
biasa. Kejahatan luar biasa merupakan
suatu kejahatan yang dilakukan dengan mempergunakan suatu keahlian khusus,
terorganisir/sistematis serta memiliki dampak yang sangat luas. Jadi, berbeda
dengan kejahatan konvensional (umum) seperti yang diatur dalam KUHP yang dapat
dilakukan dengan cara-cara konvensional dan dampak yang relatif terbatas37 pemberian hak kepada pelaku kejahatan Extraordinary crime berbeda
dengan kejahatan konvensional (umum). Salah satunya pemberian hak terhadap Pemberian pembebasan
bersyarat yang merupakan hak wajib yang berlandaskan kepada pancasila sebagai
ideologi dan falsafah negara. Pembebasan bersyarat merupakan proses pembinaan
narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya
2/3 (duaper tiga) masapidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana
tersebut minimal 9 (sembilan) bulan. Pembebasan bersyarat bagi narapidana Extraordinary crime yang di tuangkan
dalam Permenkumham No 3 Tahun 2018, antara lain sebagai berikut:
a. Tindak
pidana terorisme (Pasal 84);
b.
Tindak pidana narkotika dan
prekursor narkotika serta psikotropika (Pasal 85);
c.
Tindak pidana korupsi, tindak
pidana kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang
berat dan kejahatan
transnasional
terorganisasi lainnya (Pasal 86);
Adapun tanggung jawab khusus bagi
pelaku kejahatan Extraordinary crime khusus nya Narapidana terorisme, adapun tanggung
jawab yang di lakukan sebagai berikut38:
a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum
untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
35Moeljatno,
Op.,Cit.,
hlm 165
36Khairunnisa, Kedudukan, Peran dan
Tanggung Jawab Hukum Direksi, Medan, Pasca Sarjana, 2008, Cetakan Pertama,,
hlm. 4
37Bahrudin
Agung Permana Putra, Paham Triyoso.,Op.,Cit., hlm 4
38Pasal 84
Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 3
Tahun 2018
b.
telah menjalani
paling sedikit 2/3 (dua per tiga) masa pidana, dengan ketentuan 2/3 (dua per
tiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan;
c.
telah menjalani
Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa masa pidana yang wajib
dijalani; dan
d.
telah menunjukkan
kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan
menyatakan ikrar:
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara
tertulis bagi Narapidana warga negara Indonesia; atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme
secara tertulis bagi Narapidana warga negara asing.
Selain ketentuan di atas, bagi
Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme juga harus
melampirkan surat keterangan telah mengikuti Program Deradikalisasi dari Kepala
Lapas dan/atau Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.39 pelaku tindak pidana terorisme
yang mengikuti program Deradikalisasi40antaralain sebagai berikut:
a.
tersangka
b. terdakwa
c. terpidana
d. narapidana
e. mantan
narapidana Terorisme; atau
f.
orang atau kelompok orang yang
sudah terpapar paham radikal Terorisme.
program Deradikalisasi merupakan
suatu upaya mereduksi kegiatan kegiatan radikal dan menetralisasi faham faham
radikal bagi mereka yang terlibat teroris dan simpatisannya serta anggota
masyarakat yang terespose paham paham radikal teroris. Program deradikalisasi
merupakan program yang dianggap gagal dalam menangani perkara tindak pidana
terorisme dapat di lihat program deradikalisasi tidak menyentuh idiologi pada
objeknya. Program deradikalisasi yang di lakukan oleh pemerintah hanya dapat
mengubah perilaku radikal dan tidak dapat menghilangkan idiologi radikal, sehingga
perlunya kajian yang mendalam mengenai program deradikalisasi. selain itu perlu
diatur kewajiaban pelaku tindak pidana terorisme dalam UU No 5 Tahun 2018
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hal ini di maksud agar memberikan
kepastian hukum dalam pelaksanaan program deradikalisasi tersebut program
deradilakaisasi di lakukan seyogyanya bukan sebagi upayah dalam pemberian
bebeas bersyarat melainkan sebagai upaya yang wajib kepada
39Pasal 88
ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 3
Tahun 2018
40 Pasal 43D
ayat (2) UU No 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme
setiap prang yang terlibat dalam tindakan
terorisme, dan memberikan batasan terhadap hak terorisme dalam penolakan
mengikuti program deradikaliasi.
Secara umum,
pemberian Pembebasan Bersyarat dilaksanakan melalui sistem informasi
pemasyarakatan. Sistem informasi pemasyarakatan merupakan sistem informasi
pemasyarakatan yang terintegrasi antara Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan,
Kantor Wilayah, dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.41 adapun tata cara
pemberian Pembebasan Bersyarat:
1.
Petugas
pemasyarakatan mendata Narapidana yang akan diusulkan Pembebasan Bersyarat.
Pendataan dilakukan terhadap syarat pemberian Pembebasan Bersyarat dan
kelengkapan dokumen42.
2.
Kelengkapan dokumen
wajib dimintakan setelah 7 (tujuh) hari Narapidana berada di Lapas/LPKA.
Kelengkapan dokumen wajib terpenuhi paling lama 1/2 (satu per dua) masa pidana
Narapidana berada di Lapas.43
3.
Selanjutnya, Tim
pengamat pemasyarakatan Lapas merekomendasikan usul pemberian Pembebasan
Bersyarat bagi Narapidana kepada Kepala Lapas berdasarkan data Narapidana yang
telah memenuhi persyaratan.44
4.
Dalam hal Kepala
Lapas menyetujui usul pemberian Pembebasan Bersyarat, Kepala Lapas menyampaikan
usul pemberian Pembebasan Bersyarat kepada Direktur Jenderal dengan tembusan
kepada Kepala Kantor Wilayah.45
5.
Kemudian, Kepala
Kantor Wilayah melakukan verifikasi tembusan usul pemberian Pembebasan
Bersyarat yang hasilnya disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah kepada Direktur
Jenderal Pemasyarakatan.46
6.
Direktur Jenderal
Pemasyarakatan melakukan verifikasi usul pemberian Pembebasan Bersyarat paling
lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal usul pemberian Pembebasan Bersyarat
diterima dari Kepala Lapas.47
7.
Dalam hal Direktur
Jenderal Pemasyarakatan menyetujui usul pemberian Pembebasan Bersyarat,
Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan HAM menetapkan
keputusan pemberian Pembebasan Bersyarat. Keputusan pemberian Pembebasan
Bersyarat
41Pasal 94
Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 3 Tahun 2018
42Pasal 95
ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Hukum dan
HAM No
3 Tahun 2018
43Pasal 95
ayat (3) dan (4) Peraturan Menteri Hukum dan
HAM No
3 Tahun 2018
44Pasal 96
ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 3
Tahun 2018
45Pasal 96
ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 3
Tahun 2018
46Pasal 97
Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 3
Tahun 2018
47Pasal 98
ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 3
Tahun 2018
disampaikan kepada Kepala Lapas untuk
diberitahukan kepada Narapidana atau Anak dengan tembusan kepada Kepala Kantor
Wilayah.48
Ketentuan yang diatur dalam
Permenkumham No 3 Tahun 2018 tersebut bertujuan untuk membangun ideologi bangsa
dalam menciptakan masyarakat yang madani. Secara
umum, hukum berfungsi untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat
agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum, secara khusus mempunyai
fungsi sebagai:
a. Fungsi melindungi kepentingan hukum dari perbuatan
yang menyerang.
b. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam
rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang
dilindungi.
c. Fungsi mengatur
dan membatasi kekuasaan
negara dalam rangaka
menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.49
PENUTUP ....
silahkan kunjungi ....
atau FB hartanto uwm
Comments
Post a Comment