ABORSI DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

META-YURIDIS http://journal.upgris.ac.id/index.php/meta-yuridis/article/view/4373

ABORSI DALAM PERSPEKTIF AGAMA DAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Hartanto
Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta

Email: hartanto.yogya@gmail.com


Abstrak
Aborsi Dan Agama Dari Sudut Pandang Hukum Positif di Indonesia". Aborsi adalah sebuah fenomena yang ada di masyarakat, tetapi solusi dari hukum dan agama masih meninggalkan perdebatan, dari hal paling sederhana mengenai definisi aborsi, aborsi dapat dipenuhi jika janin sudah dinyatakan, maka unsur-unsur kehidupan ini pun waktu dapat ditentukan mulai. Jadi dari sudut pandang melibatkan agama dan hukum positif. Menulis bermasalah didasarkan pada aborsi khususnya ulasan agama dan hukum yang positif di Indonesia. Memahami aborsi, menjadi pedoman bagi kita untuk berperilaku, atau bahkan menjadi melakukan aborsi hukum dan mendorong pembentukan positif dan mengakomodasi norma agama. Fakta tentang realitas aborsi menunjukkan bahwa terus terjadi di sekitar kita dikaitkan dengan dasar-dasar / teori. Pada kesimpulannya dalam pikiran bahwa aborsi adalah tindakan jahat, namun perasaan seorang ibu sebagai subjek hukum patut dipertimbangkan untuk memilah bahwa tidak semua aborsi ilegal, dan harus terus dikembangkan untuk memenuhi realitas realitas rasa keadilan dalam masyarakat.

Kata kunci: Aborsi, Agama, Hukum Positif

PENDAHULUAN
Persoalan aborsi atau pengguguran secara sengaja merupakan persoalan yang terdapat dalam sepanjang sejarah manusia. Seiring perkembangan teknologi yang pesat, memicu pula aborsi berkembang dengan pesat. Kita semua tahu bahwa ledakan pertumbuhan penduduk dunia menjadi masalah yang dihadapi seluruh umat di bumi ini. Apalagi Indonesia, dengan kwalitas penduduk yang tergolong rendah, penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 300 juta jiwa pada tahun 2012 ini, hal tersebut sudah termasuk upaya Keluarga Berencana yang menghambat 80% kelahiran, menurut pendapat Prof. Sri Moertiningsih yang dikutip Dr. Sumarjati Arjoso, SKM (Kepala BKKBN). Jumlah penduduk kita berarti peringkat ketiga setelah China dan India.
Badan Pusat Statistik tahun 2016 yang menunjukkan bahwa terdapat 69,4 juta perempuan usia 15-49 tahun, maka di tahun yang sama terdapat setidaknya 1.526.800 perempuan Indonesia yang diestimasikan melakukan aborsi tidak aman. Perkiraan ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia yang dalam skala regional diestimasikan sebesar 17 aborsi terjadi untuk setiap 1,000 perempuan usia reproduksi [1]
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2017, terutama yang terkait degan kesehatan reproduksi remaja menunjukkan perilaku pacaran menjadi titik masuk pada praktik perilaku berisiko yang menjadikan remaja rentan mengalami kehamilan di usia dini, kehamilan di luar nikah, kehamilan tidak diinginkan, dan terinfeksi penyakit menular seksual hingga aborsi yang tidak aman. Survei tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar remaja wanita (81%) dan remaja pria (84%) telah berpacaran. Empat puluh lima persen remaja wanita dan 44 persen remaja pria mulai berpacaran pada umur 15-17. Sebagian besar remaja wanita dan remaja pria mengaku saat berpacaran melakukan aktivitas berpegangan tangan (64% wanita dan 75% pria), berpelukan (17% wanita dan 33% pria), cium bibir (30% wanita dan 50% pria) dan meraba/diraba (5% wanita dan 22% pria). Meskipun 99 persen persen wanita dan 98 persen pria berpendapat keperawanan perlu dipertahankan, namun terdapat delapan persen pria dan 2 persen wanita yang melaporkan telah melakukan hubungan seksual, dengan alasan antara lain: 47 persen saling mencintai, 30 persen penasaran/ingin tahu, 16 persen terjadi begitu saja, masing-masing 3 persen karena dipaksa dan terpengaruh teman. Di antara wanita dan pria yang telah melakukan hubungan seksual pra nikah, 59 persen wanita dan 74 persen pria melaporkan mulai berhubungan seksual pertama kali pada umur 15-19. Di antara wanita dan pria, 12 persen kehamilan tidak diinginkan dilaporkan oleh wanita dan 7 persen dilaporkan oleh pria yang mempunyai pasangan dengan kehamilan tidak diinginkan. Dua puluh tiga persen wanita dan 19 persen pria mengetahui seseorang teman yang mereka kenal yang melakukan aborsi, satu persen di antara mereka menemani / mempengaruhi teman / seseorang untuk menggugurkan kandungannya.[2] Aborsi secara umum ditolak oleh seluruh lapisan masyarakat dan seluruh pemeluk agama apapun, namun dalam hal ini penulis merumuskan permasalahan untuk meneliti dan/ mengetahui lebih dalam, varian perspektif berdasarkan latar belakang pandangan agama dan hukum positif di Indonesia dewasa ini.

RUMUSAN MASALAH :
Dari beberapa uraian diatas, maka rumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai bagaimana Aborsi menurut perpektif filosofi, Aborsi Menurut Hukum Positif, menurut Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, dari Sudut Pandang Islam, Konferensi Wali Gereja Indonesia ( Katholik ), Agama Kristen, menurut Pernyataan Bersama Gabungan Agama-agama, dan juga dari sisi Medis ?

PEMBAHASAN

1. Aborsi Menurut Perspektif Filosofis
Secara umum agama manapun melarang tindakan aborsi karena melanggar perikemanusiaan dan memberikan dasar pemahaman bahwa nyawa manusia adalah menjadi hak penciptanya, dikarenakan Dialah yang memberi dan Dialah yang akan menentukan kapan akan dipanggil kembali menghadapNya. Aborsi dipersamakan dengan melakukan tindakan melanggar hak Tuhan Yang Maha Esa. Kontribusi cabang ilmu filsafat dalam memahami aborsi adalah mendefiniskan adanya unsur terpenting dalam debat aborsi, yaitu pemahaman “kesucian kehidupan”. Frase ini adalah cara singkat untuk menunjukkan nilai kehidupan serta harkat yang melekat padanya. Pemahaman nilai kehidupan ini dapat dipahami sebagai eksternal yaitu kehidupan adalah pemberian Tuhan, atau pemahaman nilai kehidupan sebagai internal sejauh persona mempunyai nilai sendiri. Paham kesucian hidup ini adalah sederhana dalam perumusannya, namun menjadi kompleks juga jika kita mencoba menjelaskannya, seperti yang diungkapkan oleh Bonaventura yang mengaskan bahwa jejak Tuhan Pencipta membekas pada ciptaan-Nya. Apa yan diciptakan itu mencerminkan Perbuatannya dan karenanya harus dianggap berharga. Jika kita melakukan aborsi maka kita sudah turut campur dalam kehendak Tuhan atau proses penciptaan-Nya. Teilhard de Chardin mengatakan bahwa kehidupan personal adalah ciptaan yang menjadi sadar akan dirinya sendiri. Ciri-ciri manusiawi yang khas adalah akal budi dan kehendak, mencerminkan apa yang secara tradisional disebut citra ilahi yang masuk ke dalam persona, artinya kemampuan untuk memahami dan memilih itu mencerminkan sifat-sifat ilahi yang diberikan ketika kita diciptakan, dan martabat seperti itu hadir dalam setiap anggota spesies manusia dari saat pertama keberadaannya.
Perdebatan mengenai problematik aborsi sebenarnya sudah bukan hal baru, sejak jaman kuno sudah ada dasar-dasar aborsi yang juga diperdebatkan, sebagai contoh pendapat Aristoteles dalam buku History of Animal menerangkan, jiwa masuk badan janin (ensoulment) laki-laki pada hari ke-40, dan 90 hari untuk janin perempuan (sumber: mirifica.net) pendapat ini mempengaruhi filsuf, agamawan, dan orang umum hingga kini. Pendapat mengenai aborsi yang dilakukan sebelum berumur 40 hari tidaklah berdosa, karena pada waktu itu janin belum memiliki jiwa/ruh, salah satunya didasari oleh pendapat Aristoteles.

Lebih dalam diurai mengenai embrio pendapat Aristoteles:
Embriologi Aristotelian, pendapat Aristoteles ini berdasarkan pada embriologi saat itu, dalam buku Generation of Animals, menerangkan faktor-faktor keturunan menusia diturunkan dari generasi ke generasi lain melalui semen. Yang mempunyai semen hanya laki-laki, sedangkan perempuan punya darah menstruasi yang merupakan materi yang akan dihidupkan oleh semen. Semen tumbuh dalam rahim. Pertama-tama dalam fase vegetatif yang mempunyai nutritive soul, lalu menuju tahap sensitive soul, tahap binatang, menyusul rational soul yang menjadikannya manusia, semua tahap perkembangan itu perlu waktu. Menurut Aristoteles, badan janin itu berasal dari ibu, sedangkan jiwa dari bapak. Mengingat jiwa lebih tinggi daripada badan, maka dalam perhitungan generasi, yang dihitung hanya garis keturunan bapak, dan bukan ibu. Pendapat ini berdampak besar dalam keputusan moral soal aborsi. Banyak tokoh masyarakat dan agamawan berpendapat,, aborsi yang dilakukan sebelum berumur 40 hari tidaklah berdosa, sebab waktu itu janin belum jiwa. Aborsi hanya dilarang atau berdosa jika dilakukan setelah janin berumur 40 hari.
Embriologi Modern, paham ini menentang embriologi Aristitelian. Embriologi modern dengan kepastian tinggi menolak pendapat, hanya bapak yang punya andil bagi anaknya. Ayah-ibu masing-masing menyumbangkan separuh dari keseluruhan faktor genetis anaknya, yakni 23 kromosom yang dibawa ovum dan sperma. Penahapan perkembangan embrio Aristotelian juga ditolak, dalam tahapan ini terjadi lompatan kualitas amat besar, yakni yang semula tidak ada tiba-tiba ada. Misalnya pada hari ke-40 terjadi lompatan revolusioner karena tiba-tiba jiwa masuk ke dalam badan. Embriologi modern menolak keras penahapan dan lompatan kualitas ini sebab perkembangan embrio terjadi secara kontinu tanpa penahapan dan tidak terjadi peningkatan “martabat” .
Pengertian mengenai aborsi menurut Fact About Abortion, Info Kit on Women`s Health oleh institute for Social. Studies dan Action, Maret 1991, dalam istilah kesehatan, aborsi didefinisikan sebegai penghentian setelah tertanamnya sel telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahim (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu.
Pengertian aborsi di Indonesia menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, “abortus didefinisikan sebagai terjadi keguguran janin; melakukan abortus sebagai melakukan pengguguran (dengan sengaja karena tidak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu). Secara umum diartikan pengguguran kandungan, yaitu dikeluarkannya janin sebelum waktunya, baik itu secara sengaja maupun tidak. Biasanya dilakuakn saat janin berusia muda.
Para pejuang aborsi sering menggunakan dasar yang sama yaitu hak asasi manusia, yaitu hak asasi manusia sang ibu dilain pihak hak asasi manusia dari janin. Berarti dalam tinjauan filsafat hak asasi manusia sebenarnya tergantung sudut pandang/cakrawala. Jika kita tinjau mengenai dua pemahaman diatas mengingatkan bahwa hak asasi manusia juga selalu berkembang, misalnya pada abad 17-18, Marx mengkritik tentang HAM yang berkembang masa itu. Kritik tersebut ditulis dalam sebuah esai yang berjudul On the Jewish Question (1844) . Ia menolak dengan membuat pernyataan, “bahwa apa yang disebut dengan HAM … itu tidak ada apa-apanya. Kecuali hak asasi manusia yang egois, yaitu manusia yang terpisah dari manusia lainnya atau dari komunitasnya.”
Larangan terhadap aborsi merupakan pelanggaran terhadap hak asasi sang ibu untuk menentukan kemerdekaan masa depannya, namun berlaku pula sebaliknya karena janin yang ada di rahim seorang ibu juga memiliki hak asasi untuk hidup dan dilahirkan secara layak, dengan kata lain dilakukan diskriminasi terhadap ibu atau janin. Tujuan hukum yang berlandaskan pada hak asasi manusia ini merupakan tujuan hukum berdasarkan padanngan John Locke, “manusia dalam kondisi alami adalah baik, hanya mengkonsumsi sesuai kebutuhannya. Supaya manusia tertib kehidupannya maka hak-hak asasinya harus dilindungi oleh hukum”[3]

2. Aborsi Menurut Hukum Positif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Aborsi adalah Pengguguran kandungan. Dalam kamus ini diterangkan ada 2 macam tindakah aborsi, yaitu yang bersifat kriminal, yaitu aborsi yang dilakukan dengan sengaja karena suatu alasan dan bertentangan dengan undang-undangan yang berlaku. Dan aborsi yang sifatnya legal, yaitu aborsi yang dilakukan dengan sepengetahuan pihak yang berwenang.
Menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”
Beberapa pasal dalam KUHP yang terkait adalah:
Pasal 229:
1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
2. Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3. Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 341 :
Seorang ibu yang dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan, karena takut akan ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak dihukum, karena maker mati terhadap anak (kinderdoodslag), dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun. (KUHP 37, 308, 338, 342s 350, 487).
Pasal 342 :
Seorang ibu yang, untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 343 :
Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang, bagi orang lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana.
Pasal 346:
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347:
1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348:
1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349:
Jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan
Yang dapat dikenai sangsi hukuman adalah:
1. Ibu yang melakukan aborsi.
2. Dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi
3. Orang-orang yang mendukung atau mengetahui terlaksananya aborsi.
Aborsi Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 tahun 1999, hak asasi manusia diartikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Mengutip pendapat Suryono, St. Harum dan G. Widiartana dalam bukunya “Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana” yang menyatakan bahwa, logikanya suatu hak dibebankan kepada manusia yang mampu menyandangnya. Menurut ketiga penulis, manusia yang mampu menyandang hak dan kewajiban adalah manusia yang hidup. Manusia yang hidup berarti ia telah dilahirkan didunia. Hak asasi manusia berfungsi sebagai pelindung bagi manusia untuk tetap bisa eksis di dunia, tidak kehilangan sifat dan martabatnya. Oleh karena itu, ketiga penulis tetap mempertahankan argumentasi bahwa hak asasi manusia adalah hak yang paling hakiki, berasal dari Allah Yang Maha Esa sebagai wujud kasih-Nya kepada manusia, yang melekat pada manusia sejak ia lahir didunia. Embrio atau janin dalam kandungan bukanlah penyandang hak dan kewajiban, kecuali jika kepentingannya menghendaki. Embrio dan janin dikatakan bukan sebagai penyandang hak dan kewajiban karena mereka belum lahir di dunia. Adapun pernyataan “jika kepentingannya menghendaki” berlaku apabila janin yang ada dalam kandungan tersebut membutuhkan keberadaannya sebagaimana manusia dewasa. Namun menurut hukum, ia hanya akan menyandang hak dan kewajiban jika lahir hidup. Sedangkan selama dalam kandungan, embrio belum bernyawa (usia kehamilan sampai dengan trisemester pertama), maka embrio ini dianggap tidak memiliki hak hidup karena belum bernyawa. Peneliti berpendapat berbeda dengan ketiga penulis diatas, karena peneliti mengambil contoh hukum perdata, yang mengatur bahwa sejak dalam kandungan seorang bayi sudah memiliki hak keperdataan, artinya meski masih dalam bentuk embrio atau janin, hak-haknya sudah ada, dan bukan mempermasalahkan “kepentingannya menghendaki atau tidak”. Peneliti juga tidak setuju dengan pendapat bahwa janin/embrio dianggap hidup setelah memasuki trisemester pertama, tentunya berdasar pendapat agama, filsafat dan perlindungan khusus bagi kaum wanita baik dalam hal pekerjaan, kesehatan, maupun hak reproduksi sesuai pasal 49 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kaedah hukum berisi kenyataan normatif (apa yang seyogyanya dilakukan) disebut juga das Sollen, bukan berisi kenyataan alamiah atau peristiwa konkrit disebut juga das Sein.[4]. Aborsi melanggar kaedah kesusilaan maupun agama, das Sein aborsi di Indonesia 2,3 juta [5]. Namun hukum kadang-kadang membolehkan apa yang dilarang kesusilaan (dengan pengecualian), walaupun hukum sebagian besar merupakan peraturan kesusilaan yang yang oleh penguasa diberi sanksi hukum (heteronom), kaedah hukum dapat berubah-ubah, sekalipun Undang-undangnya tetap.
Asas hukum/pikiran dasar, pada umumnya berubah mengikuti kaedah hukumnya, ada lima asas yang berlaku universal menurut P.Scholten yang [6], yaitu: asas kepribadian, persekutuan, kesamaan, kewibawaaan, pemisahan antara baik dan buruk. Perempuan yang melakukan aborsi dapat ditinjau berdasar asas kepribadian karena setiap perempuan memiliki hak dan kewajiban sama dengan wanita lain atau laki- laki, sedang dalam asas kesamaan berlaku equality before the law. Dari kedua asas tersebut kita amati dalam KUHP atau Undang-undang Kesehatan, nampak hanya perempuan, tubuh perempuan, lebih khusus lagi fungsi/hak reproduksi perempuan yang menjadi sorotan/diatur. Bagaimana dengan laki-laki yang memperkosa perempuan sehingga timbul kehamilan dan berakhir dengan aborsi, atau suami yang menyuruh istrinya aborsi, kenyataannya hal tersebut hanya diatur dalam beberapa KUHP. Pasal-pasal dalam KUHP tentang aborsi:Pasal 346, ”seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”
Pasal 347, (1) “barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan sesorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. (2) “jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Pasal 348, (1) “jika seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, 347, 348, … maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu ditambah sepertiga dan dicabut hak …” (2) “jika mengakibatkan matinya wanita tersebut dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Undang-Undang Hak Asasi Manusia, pasal 53 ayat 1(1): Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup & meningkatkan taraf kehidupannya.
Undang-undang tentang Penghapusan Kekedarasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 5: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumahtangganya dengan cara:
a. Kekerasan fisik
b. Kekerasan psikis
c. Kekerasan seksual
d. Penelantaran rumah tangga
Aborsi tidak ditegaskan dalam Undang-undang nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 nomor 100. Namun pada Pasal 15 (1) dianggap masyarakat merupakan dasar/legalisasi untuk melakukan aborsi, “dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu”, namun di ayat (2) tidak disebutkan bentuk dari tindakan medis tersebut, hanya disebut indikasi medis, tenaga medis, persetujuan ibu dan suami/keluarga, sarana medis. (3) Dalam peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal ini dijabarkan antara lain mengenai keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian & kewenangan bentuk persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk.
Penafsiran ini memang rancu dan sengaja dirancukan pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang melakukan praktik aborsi, sedangkan menurut penulis ini merupakan penghormatan terhadap hak wanita jika mengalami kehamilan yang membahayakan secara medis dan atau kehamilan karena diperkosa. Setidaknya dalam penjelasan pasal, ditetapkan mengenai batasan tindakan medis misalnya dilakukan aborsi aman. Undang-undang Kesehatan sebenarnya nampak memberi pelunakan terhadap kerasnya ancaman sanksi yang ditetapkan KUHP.
Menurut penulis Pasal-pasal dalam KUHP maupun Undang-undang Kesehatan harus direvisi, agar memenuhi asas kepribadian, kesamaan (tidak bias gender), keadilan, dll. Dalam pasal-pasal kedua Undang-undang diatas, tampak bahwa:
a. Wanita hamil berkurang haknya sebagai subyek hukum, karena pembatasan dan ancaman sanksi-sanksi.
b. Lebih spesifik mengenai hak reproduksi, upaya untuk menentukan yang terbaik bagi

- silahkan klik link diatas untuk versi lengkap nya -


9.Analisa Penulis Tentang Aborsi
Definisi aborsi menurut kamus kriminologi (Soekanto) adalah penghentian kehamilan secara melawan hukum. Aborsi samadengan pengguguran kandungan, ketika menyebut pengguran kandungan, tentu berarti kandungan yang hidup (janin hidup), maka kita harus menelaah kapan janin hidup, berdasar pendapat pemuka-pemuka agama diatas maupun medis. Saat sependapat bahwa ketika zigote bertemu sel telur tentu sudah terjadi pembuahan saat itu, karena kalau tidak terjadi pembuahan mana mungkin zigote menembus sel telur, namun adanya kehidupan/nyawa, sangat sulit ditafsir secara medis, analoginya bagaimana mungkin ilmu kedokteran mempu memahami kapan kedatangan nyawa dan berbentuk apa. Penulis lebih setuju jika diambil jalan tengah, nyawa/kehidupan ada tidak bertepatan saat zigote bertemu sel telur dalam rahim, tetapi beberapa saat kemudian dengan ditafsir melalui tinjauan agama dan medis
Penulis mencoba melakukan interpretasi, proses interpretasi itu berlangsung dalam proses lingkaran pemahaman yang disebut lingkaran hermeneutik (hermeneutische zirkel), yakni gerakan bolak-balik antara bagian atau unsur-unsur
Berdasar latar belakang dan pembahasan diatas, disimpulkan bahwa tidak ada agama maupun kelompok manapun yang setuju aborsi, termasuk pemerintah, sekalipun produknya berupa Undang-undang Kesehatan yang memiliki kelemahan, yaitu diijinkannya aborsi dengan indikasi medis dilengkapi dengan syarat-syarat.
Penulis berpendapat bahwa aborsi sebaiknya diijinkan dengan memperhatikan perkembangan masyarakat seperti diuraikan dalam data-data pada bagian pendahuluan diatas, mengenai angka kematian ibu (AKI), remaja yang melakukan aborsi, merebaknya seks bebas, undang yang ada banyak dilanggar oleh masyarakat, dll. Aborsi sering dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan pada kenyataannya itu justru tidak aman, umumnya disebabkan karena tidak tersedianya layanan kesehatan yang memadai.
Dari pembahasan yang ada berdasar fakta dilapangan dapat pula kita simpulkan bahwa kaum wanita yang mengalami kehamilan tidak dikehendaki, secara khusus jika menjadi korban perkosaan, dapat dikesampingkan dari ancaman hukuman pidana, mengacu pada pendapat Moeljanto yang membagi daya paksa menjadi dua, yaitu dalam arti sempit (overmacht) dan keadaan darurat (noodtoestand), noodtoestand terdiri dari tiga kemungkinan, yakni:
1. Orang terjepit antara dua kepentingan, dalam hal ini ada konflik antara 2 (dua) kepentingan.
2. Orang terjepit antara kepentingan dan kewajiban
3. Orang terjepit antara 2 (dua) kewajiban
Kita dapat ambil contoh bahwa hukum belum mampu mengakomodir masalah aborsi, misal pada peristiwa “Kerusuhan Mei 1998” dimana banyak perkosaan sehingga secara fisik, batin, masa depannya hancur dan mengalami trauma yang berkepanjangan untuk diri mereka maupun keluarganya, apakah calon-calon ibu ini dapat dengan kasih penulisng merawat kandungannnya, atau secara umum berlaku sebaliknya.
Menurut surat kabar (Harian Jawa Pos, 11 Januari 1995:5) yang dikutip [12] seorang perempuan menjadi korban perkosaaan setiap enam jam sekali di negeri ini.
Penulis menyarakan kepada kaum wanita, bahwa aborsi bukan merupakan solusi namun justru kejahatan yang akan menimbulkan traumu/penyesalan di kemudian hari. Meski masih didalam kandungan, seorang bayi telah memiliki hak asasi dari Tuhan, bahkan hak keperdataan pula. Jika saudara/saudari tetap tidak menginginkan kelahiran seorang bayi ini, sebaiknya berkonsultasi kepada orang tua, keluarga, sahabat, organisasi keagamaan, ataupun organisasi social (panti asuhan).
Suryono, Harum dan Widiartana menyarankan jika terjadi kehamilan tidak dikehendaki (KTD) khususnya karena perkosaan dapat ditanggulangi dengan salah satu cara yaitu mengkonsumsi pil kontrasepsi darurat / Emergency Contraceptive Pills (ECP). Pil tersebut akan efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki jika dimakan tidak kurang dari 72 jam segera setelah perkosaan. Namun yang harus diperhatikan sebagian besar korban tidak mengetahui hal tersebut, sedangkan pihak yang diharapkan peduli atau dapat memberikan solusi seringkali bersikap pasif, dengan berlindung dinalik etika medis
Berdasar analisis-analisis diatas, maka penulis berpendapat tentang cita-cita hukum yang mewakili perkembangan rasa keadilan masyarakat, yaitu : 
A. Aborsi dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok berdasarkan penyebabnya:
1. Aborsi karena terjadi kehamilan atas hubungan badan tanpa unsur paksaan.
2. Aborsi karena terjadi kehamilan atas paksaan dari luar (orang lain)
Menurut penulis point A.1 dilarang melakukan aborsi kecuali kehamilan tersebut dapat membahayakan nyawa ibu dan/ janin. Sedangkan point A.2 diijinkan aborsi demi pertimbangan beban moral sang Ibu selama menanggung dan jika ternyata hingga melahirkan akan selalu terbayang “trauma” atas masa lalunya dan dapat mempengaruhi kesehatan jiwa/psikologi/sosial sang ibu yang akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan/masa depan janin/anak.
B. Aborsi dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok berdasarkan status perkawinan :
1). Aborsi dalam ikatan perkawinan
2). Aborsi diluar ikatan perkawinan
Menurut penulis point B.1 aborsi dilarang, kecuali dengan alasan kehamilan tersebut dapat membahayakan nyawa ibu dan/ janin, pengecualian dapat diijinkan jika disepakati oleh kedua belah pihak dan orang tua kedua belah pihak di hadapan penegak hukum dan janin berusia dibawah 40 hari dibuktikan dengan keterangan dokter yang ditunjuk. Point B.2 diijinkan aborsi jika ada unsur paksaan yang mengakibatkan terjadinya kehamilan (dari orang lain), jika tidak ada unsur paksaan maka tetap dilarang.
Peneliti berpendapat 40 hari bukan semata-mata karena mengacu hukum Islam/ketetapan MUI tapi lebih karena mencoba mengakomodir tafsir agama dalam menentukan adanya kehidupan/nyawa pada janin, jadi jika ada agama yang menafsirkan lebih pendek/kecil dari 40 hari (<40 hari) penulis juga akan memilihnya, mengacu pada pendapat Sidharta dalam kuliah pasca sarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta, tanggal 8 Desember 2006, “Hukum adat/agama sebaiknya tidak dijadikan hukum positif kaedahnya, tetapi cukup nilai-nilainya yang diadopsi dalam hukum nasional”.
Peneliti menggunakan cakrawala pandang bahwa aborsi harus ditelaah kapan janin diinterpretasikan hidup, mengingat medis belum dapat jelas mendefinisikan. Maka kemungkinan besar janin hidup beberapa saat setalah bertemunya sperma dengan sel telur, tidak mungkin bertemu langusung hidup. Sehingga wanita masih ada kesempatan/tenggang waktu untuk berupaya mengeluarkan calon janin tersebut dengan cara medis, jika dibawah 40 hari/lebih pendek dari itu/sebelum ada tanda-tanda kehidupan. Tenggang waktu yang diberikan ini dianggap kesempatan/penghargaan terhadap seorang wanita untuk melindungi hak asasinya dalam menentukan reproduksi / masa depannya, serta masa depan calon janin (janin yang belum seutuhnya) tersebut, yang berarti pula penghargaan terhadap masa depan calon manusia. Aborsi diatas diprioritaskan untuk korban perkosaan/paksaan diluar ikatan perkawinan. Pendapat penulis ini untuk mengembangkan ilmu hukum nasional Indonesia, yang didalamnya terdapat tujuan : [13]
1). Menggiatkan studi Pancasila dan penelitian lapangan di bidang hukum adat, antropologi hukum, dan sosiologi hukum.
2). Pengembangan studi khusus tentang teori argumentasi yuridis
3). Menghidupkan Fora Dialogia Iuridika lewat jurnal dan pertemuan ilmiah.
4). Meningkatkan penerbitan jurnal ilmu hukum yang selain memuat artikel juga memuat putusan hakim (sedapat mungkin Gurubesar) bidang terkait.
5). Pembinaan pendidikan tinggi hukum.



Kesimpulan
Sebagai penutup, pemahaman aborsi ini seperti halnya ketika kita membahas/atau justru mempertentangkan peristiwa yang merupakan dilemma, yaitu tentang euthanasia, maka kita harus menelaah secara komprehensif dari sudut agama, hukum, hak asasi manusia, dan lebih dalam lagi dari cakrawala filsafat. Eutanasia adalah tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan [14] Budaya yang terbangun selama ini, menempatkan kesalahan aborsi pada perempuan, terkait status pernikahan ataupun belum berstatus. Bahkan dengan ukuran ukuran normatif, masyarakat berkuasa melakukan penghakiman atas dasar tatanilai dirinya sendiri. Konstruksi ini telah mempengaruhi keputusan para petugas kesehatan dalam memposisikan kasus kasus kehamilan tidak diinginkan yang terjadi pada kaum perempuan. Alasan agama dijadikan dasar kuat atas budaya yang berlaku, dimana sebenarnya telah terjadi penafsiran yang kembali ditafsirkan lagi hingga tafsir yang kesekian kali tanpa tersadari memberikan pemahaman yang kurang pas.
Persoalan aborsi bukanlah permasalahan individu semata, akan tetapi permasalahan sistem yang telah menciptakan dan mendorong dalam multi perspektif sehingga tidak hanya perspektif kesehatan, gender, maupun hukum, namun masih harus ditambah dengan kebijaksanaan. Penulis berpendapat dengan selesainya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS), maka seyogianya segera disahkan menjadi Undang- Undang.

Referensi :
[1] Data dari Department of Reproductive Health and Research, pada tahun 2011.
[2] Kesehatan Reproduksi Dan Penikahan Di Usia Dini www.bkkbn.go.id/detailpost/kesehatan-reproduksi-dan-nikah-dini) pada hari jumat 5 september 2019 pukul 11:00 wib
[3] Sidharta. A., 2006, Hand Out Filsafat Hukum, UAJY
[4] Mertokusomo, 1991, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta , hlm 16
[5] Kompas, berita harian mengenai aborsi pada tanggal 3 Maret 2000)
[6] Mertokusomo, 1991, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta hlm 35
[7] Suryono. Harum. Widiartana. 2001, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan, Andi Offset, Yogyakarta, hlm 176.
[8] Interpretasi Otentik Dewan Kepausan pada 23 Mei 1998 kajian mengenai aborsi, mirifica.net/wmview.php?ArtID=3096, download 18 Desember 2018
[9] Paus Fransiskus Tak Boleh Ada Alsan Mengambil Nyawa Orang, https://dunia.tempo.co/read/1209
[10] website BPK Penabur, pada hari jumat 5 september 2019 pukul 19:00 wib
[11] Topik Indonesia, http://topikindonesiasaumimansaud.blogspot.com/2005/06/aborsi.html, diakses pada hari jumat 5 september 2019 pukul 13:00 wib
[12] Wahid dan Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm 13
[13] Sidharta, B.A., 2002, Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung , hlm 220
[14] Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi revisi, 2005, hlm 136.

Comments

Popular posts from this blog

Urgensi Pembentukan Dewan Kehormatan Bersama (Menjaga Martabat Profesi Advokat Melalui Etika yang Terpadu dalam Era Distrubsi)

A Multidimensional Study of the Law of Goods and Services Procurement Contracts in Indonesia