PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PEMANFAATAN HUTAN MASYARAKAT HUKUM ADAT ( Journal )
http://103.98.176.9/index.php/meta-yuridis/article/view/5755
PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PEMANFAATAN HUTAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
ABSTRACT
Konsep pengakuan hak masyarakat hukum adat di tuangkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Masyarakat hukum adat merupakan kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan hukum. Masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip Perizinan Pemanfaatan Hutan Masyarakat Hukum Adat merupakan Keinginan pemerintah dalam mengarahkan ( mengendalikan “ sturen” ) aktivitas aktivitas tertentu, Izin mencegah bahaya dari lingkungan,Keinginan-keinginan melindungi objek tertentu, Izin hendak membagi bagi benda yang sedikit, Izin memberikan pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas- aktivitas. Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. mengenai eksistensi penghormatan terhadap hak- hak masyarakat adat. Dalam hal ini negara tidak memiliki kekuasaan hukum untuk menjadikan hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat menjadi hutan negara
Keywords: Licensing, Forest, Customary Law Community
PENDAHULUAN
Konsep negara hukum yang meletakkan kewenangan pada suatu aturan-aturan harus di berikan berdasarkan melalui perundang-undangan yang di dasarkan pada asas legalitas, yang mana setiap tindakan pemerintahan yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat hukum adat, harus di dasarkan pada asas legalitas untuk itu setiap tindakan pemerintah harus tetap berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang memuat mengenai norma perilaku yang berisikan tentang perintah, larangan, izin dan dispensasi serta norma ketentuan wewenang dari instansi yang memberikan perintah.[1] Pemberian kewenangan di bidang kehutanan diatur dalam beberapa perundang-undangan yakni:
1) Undang--Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur pembagian urusan pemerintahan termasuk bidang kehutanan dengan klasifikasi urusan pemerintahan konkuren-pilihan. Pasal 14 menyatakan “pembagian kewenangan hanya dibagi menjadi dua yaitu kewenangan pemerintah pusat dan daerah provinsi kecuali yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/ kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota”.
2) Undang Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 66 menyakatan bahwa “dalam rangka penyelengaraan kehutanan pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah dengan maksud untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah”.
3) Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus provinsi Papua memberikan kewenangan pemerintah provinsi untuk mengatur pemerintahan daerah yang dituangkan dalam Pasal 4 menyatakan “kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, peradilan serta kewenangan tertentu dibidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” .
Soewoto Mulyo Soedarmo berpendapat bahwa “Kewenangan dapat diperoleh melalui pengakuan kekuasaan (attributie), ataupun pelimpahan kekuasaan (overdracht).” Pelimpahan kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pemberian kuasa (mandaatsverlening) dan pendelegasian (delegatie)[2], Sejalan dengan itu Philipus M Hadjon menyatakan bahwa “kewenangan dapat diperoleh melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.[3] Kewenangan yang di peroleh melalui atribusi, delegasi dan mandat yang diatur pada suatu regulasi aturan dengan maksud agar adanya kekuasaan formal, pelimpahan kewenangan tersebut di tuangkan dalam perundang-undangan. Pengaturan kegiatan usaha pemanfaatan hutan masyarakat hukum adat harus dapat dilakukan dengan berbagai sarana hukum administrasi yang tersedia bagi pemerintah, baik yang di wujudkan dalam tindakan nyata atau tindakan hukum[4]. Salah satu tindakan hukum yang di lakukan dalam bidang hukum kehutanan adalah penerapan izin dalam melaksanakan tugas tersebut pemerintah di berikan wewenang yang termuat dalam instrumen yuridis berupa perizinan. Salah satu wujud dalam instrumen yuridis adalah ketetapan perizinan yang sebelumnya tidak di perkenankan menjadi di perkenankan ( beschikkinge welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd).
Pengaturan, penerbitan, pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap perizinan sebagai sarana untuk melindungi dan menjaga kelestarian hutan masyarakat dari kegiatan pengelolaan hasil hutan serta dampaknya terhadap lingkungan harus mengimplementasikan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik sebagai standart bagi pemerintah terhadap Pemanfaatan Hutan Masyarakat Hukum Adat[5]. tujuan perizinan menurut Prajudi Atmosudirjo yang secara umum dapat di uraikan sebagai berikut:
1. Keinginan mengarahkan ( mengendalikan “ sturen” ) aktivitas aktivitas tertentu.
2. Izin mencegah bahaya dari lingkungan
3. Keinginan-keinginan melindungi objek tertentu.
4. Izin hendak membagi bagi benda yang sedikit.
5. Izin memberikan pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas- aktivitas[6].
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah terkahir dengan PP Nomor 3 Tahun 2008, telah diatur mengenai kegiatan pemanfaatan hutan melalui kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan hasil hutan dan hasil hutan bukan kayu yang dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan, baik hutan konservasi (kecuali cagar alam, zona rimba, dan zona inti pada taman nasional), hutan lindung, dan hutan produksi. Adapun jenis-jenis Izin Pemanfaatan Hutan, meliputi:
1. IUPK (Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan) adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan kawasan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi.
2. IUPJL (Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan) adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan jasa lingkungan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi.
3. IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) dan/atau IUPHHBK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu) adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran.
4. IUPHHK Restorasi Ekosistem dalam hutan alam adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
5. IUPHHK dan/atau IUPHHBK dalam hutan tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.
6. IPHHK (Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu) adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, pengangkutan, dan pemasaran untuk jangka waktu dan volume tertentu.
7. IPHHBK (Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu) adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung dan/atau hutan produksi antara lain berupa rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, tanaman obat-obatan, untuk jangka waktu dan volume tertentu.
Selain itu, masih terdapat izin lainnya baik izin untuk pengolahan hasil hutan kayu maupun bukan kayu seperti Izin Usaha Industri Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dan Izin Usaha Industri Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK), Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada kawasan di luar hutan seperti APL (Areal Penggunaan Lain), juga Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPHHK) pada kawasan hutan produksi yang ditujukan untuk kegiatan diluar bidang kehutanan yang diatur dalam peraturan tersendiri. Untuk itu penerapan IUPHHK MHA (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat) yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat tidak kenal polisi kehutanan dalam PP Nomor 3 Tahun 2008 dan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. yang berisikan mengenai pengertian hutan adat, dari semula dikatakan sebagai “hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” menjadi “hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, kata “negara”-nya dihapus. Atas dasar itu sekarang dikenal tiga pengertian hutan berdasarkan statusnya, yaitu:
1. Hutan Negara : Hutan negara adalah hutan yang berada di atas tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan negara ini kepemilikannya ada pada negara. Segala bentuk penguasaan dan pengelolaan harus seijin dari negara.
2. Hutan Hak : Hutan hak merupakan hutan yang berada di atas tanah yang dibebani hak atas tanah, dalam terminologi undang-undang kehutanan sebelumnya disebut hutan milik. Kepemilikan hutan hak ini bisa ditangan individu atau badan hukum.
3. Hutan Adat : Hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat.
Kelemahan dalam pelaksanaan pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat adalah mengenai tafsiran masyarakat hukum adat menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang belum ada penjelasan secara rinci mengenai masyarakat hukum adat, sehingga maksud masyarakat hukum adat menimbulkan multitafsir apakah yang dimaksud masyarakat hukum adat merupakan individu, atau badan hukum ataupun kelompok masyarakat. Hal inilah yang menjadi kelemahan dalam pemberian izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat ( IUPHHK MHA).
Jaminan terhadap kepastian hukum dalam pemenuhan hak masyarakat hukum adat dengan melaksanakan Penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat ( IUPHHK MHA) dimaksud agar Masyarakat adat mendapatkan legitimasi hukum atas pengakuan pemerintah terhadap hak pemanfaatan hutan adat oleh masyarakat hukum adat, legitimasi hukum tersebut dimaksut agar hak dan kewajiban masyarakat hukum adat dalam pemanfaatan hutan diakui secara legal oleh pemerintah. Pemanfataan hutan tersebut dapat menjamin hak- hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hukum dan memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat serta menjamin berjalannya pengelolaan hutan yang berkelanjutan pada hutan masyarakat hukum adat.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal tersebut diatas maka pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini ialah :
1. Bagaimana Konsep pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat dalam Perpektif Hukum ?
2. Apa Prinsip Perizinan Pemanfaatan Hutan Masyarakat Hukum Adat ?
METODE PENELITIAN
Metode yang di guanakan adalah metode Legal Research dengan mengunakan pendekatan Pendekatan masalah yang di bahas dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan beberapa pendekatan yaitu, pendekatan perundang – undangan (Statute Aprroach), pendekatan konseptual (Conceptual Approach).[7]
Dalam pembahasan pertama penulis menjelaskan mengenai pendekatan perundang – undangan ( Statute Aprroach ), dalam metode ini penulis perlu memahami hierarki, dan asas – asas dalam peraturan perundang – undangan. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang – Undang No. 12 Tahun 2011, peraturan perundang – undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang – undangan. Dari pengertian tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai statute berupa legislasi dan regulasi. Jika demikian, pendekatan peraturan perundang – undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi’[8]
Pembahasan kedua penulis menjelaskan mengenai pendekatan konseptual (Conceptual Aprroach), pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi. Dalam membangun konsep hukum dengan beranjak dari pandangan – pandangan dan doktrin – doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum.[9]
Ini merupakan PENDAHULUAN jurnal, untuk isi lengkapnya silahkan klik :
https://scholar.google.co.id/citations?user=CA_A13wAAAAJ&hl=en
Comments
Post a Comment