PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PEMANFAATAN HUTAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
http://103.98.176.9/index.php/meta-yuridis/article/view/5755
FB: hartanto uwm
PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PEMANFAATAN
HUTAN
MASYARAKAT HUKUM ADAT
Cunduk Wasiati
Fakultas Hukum
Universitas Widya Mataram, Yogyakarta, Indonesia
Hartanto
Fakultas Hukum
Universitas Widya Mataram, yogyakarta, Indonesia
hartanto.yogya@gmail.com
Abstrak : Konsep pengakuan hak masyarakat hukum adat di
tuangkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
18B ayat (2) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Masyarakat
hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip Perizinan
Pemanfaatan Hutan Masyarakat Hukum Adat merupakan Keinginan pemerintah dalam
mengarahkan ( mengendalikan “ sturen”
) aktivitas aktivitas tertentu, Izin mencegah bahaya dari
lingkungan,Keinginan-keinginan melindungi objek tertentu, Izin hendak membagi
bagi benda yang sedikit, Izin memberikan pengarahan dengan menyeleksi
orang-orang dan aktivitas- aktivitas. Penguasaan hutan oleh negara tetap
memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
mengenai eksistensi penghormatan terhadap hak- hak masyarakat adat. Dalam hal
ini negara tidak memiliki kekuasaan hukum untuk menjadikan hutan adat adalah
hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat menjadi hutan negara.
Kata
Kunci : Perizinan, Hutan, Masyarakat Hukum Adat
Abstract: The concept of the recognition of the rights of
indigenous and tribal peoples is set
forth in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia Article 18B
paragraph
(2) of the 1945 Constitution
which explains that the State recognizes and respects the units of customary
law communities along with their traditional rights as long as they are alive
and in accordance with the development of society. Indigenous and tribal
peoples will be recognized as long as they are still alive and in accordance
with community development and the principles of the Unitary State of the
Republic of Indonesia. Principle of Licensing for the Utilization of Customary
Community Forest Forest is the government's desire to direct (control
"sturen") certain activities, Permit to prevent danger from the
environment, Desires to protect certain objects, Permit to divide for small
objects, Permit to give direction by selecting people people and activities.
Forest control by the state still takes into account the rights of indigenous
and tribal peoples, as long as in reality it still exists and its existence is
recognized, and it does not conflict with national interests. regarding the
existence of respect for the rights of indigenous peoples. In this case the
state does not have the legal power to make customary forests are forests that
are within the territory of customary law communities into state forests.
Keywords: Licensing, Forest, Customary Law Community
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
PENDAHULUAN
Konsep negara hukum yang meletakkan kewenangan pada suatu
aturan-aturan
harus di berikan berdasarkan melalui perundang-undangan yang di dasarkan pada
asas legalitas, yang mana setiap
tindakan pemerintahan yang
berkaitan
dengan pengaturan masyarakat hukum adat, harus di dasarkan pada asas legalitas
untuk itu setiap tindakan pemerintah harus tetap berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang memuat mengenai norma perilaku yang berisikan tentang
perintah, larangan, izin dan dispensasi serta norma ketentuan wewenang dari
instansi
yang memberikan
perintah.[1] Pemberian kewenangan di bidang kehutanan diatur dalam beberapa
perundang-undangan yakni:
1) Undang--Undang
Nomor 23
Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur pembagian urusan pemerintahan
termasuk bidang kehutanan dengan klasifikasi urusan pemerintahan
konkuren-pilihan. Pasal 14 menyatakan
88
“pembagian
kewenangan hanya dibagi menjadi dua yaitu kewenangan pemerintah pusat dan
daerah provinsi kecuali
yang berkaitan
dengan pengelolaan taman hutan raya
kabupaten/ kota menjadi
kewenangan
daerah kabupaten/kota”.
2) Undang Undang No 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan pasal
66 menyakatan bahwa “dalam
rangkapenyelengaraan
kehutananpemerintah
menyerahkansebagian
kewenangan
kepada pemerintah daerah dengan maksud untuk meningkatkan efektifitas
pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah”.
3) Undang-Undang No 21 Tahun
2001 tentang otonomi khusus
provinsi Papua memberikan
kewenangan pemerintah
provinsi untuk
mengatur pemerintahan daerah yang
dituangkan dalam Pasal 4
menyatakan “kewenangan
Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
bidang
pemerintahan kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, moneter dan fiskal, agama, peradilan serta kewenangan tertentu
dibidang lain yang ditetapkan sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan” .
Soewoto Mulyo Soedarmo
berpendapat
bahwa “Kewenangan dapat diperoleh melalui pengakuan kekuasaan (attributie), ataupun pelimpahan
kekuasaan (overdracht).”
Pelimpahan
kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
pemberian kuasa
(mandaatsverlening) dan pendelegasian (delegatie)[2], Sejalan dengan itu Philipus M Hadjon menyatakan bahwa “kewenangan
dapat diperoleh melalui tiga sumber,
yaitu atribusi,
delegasi, dan mandat.[3] Kewenangan yang di peroleh melalui atribusi, delegasi
dan mandat yang diatur pada suatu regulasi aturan dengan maksud agar
adanya
kekuasaan formal, pelimpahan kewenangan tersebut di
tuangkan dalam
perundang-undangan.
89
Pengaturan kegiatan usaha
pemanfaatan hutan masyarakat hukum adat harus dapat dilakukan dengan berbagai
sarana hukum administrasi yang tersedia bagi pemerintah, baik yang di wujudkan
dalam tindakan nyata atau tindakan hukum[4]. Salah satu tindakan hukum yang di
lakukan dalam bidang hukum kehutanan adalah penerapan izin dalam melaksanakan
tugas tersebut pemerintah di berikan wewenang yang termuat dalam instrumen
yuridis berupa perizinan. Salah satu wujud dalam instrumen yuridis adalah
ketetapan perizinan
yang sebelumnya tidak di
perkenankan menjadi di
perkenankan ( beschikkinge welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd).
Pengaturan, penerbitan,
pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap perizinan sebagai sarana untuk
melindungi dan menjaga kelestarian hutan masyarakat dari kegiatan pengelolaan
hasil hutan
serta dampaknya terhadap
lingkungan harus
mengimplementasikan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
sebagai standart bagi pemerintah
terhadap
Pemanfaatan Hutan Masyarakat Hukum Adat[5].
tujuan
perizinan
menurut Prajudi Atmosudirjo yang secara umum
dapat di uraikan sebagai berikut:
1. Keinginan
mengarahkan ( mengendalikan “ sturen”
) aktivitas aktivitas tertentu.
2. Izin mencegah bahaya dari
lingkungan
3. Keinginan-keinginan
melindungi objek tertentu.
4. Izin hendak membagi bagi
benda yang sedikit.
5. Izin memberikan pengarahan
dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas- aktivitas[6].
BerdasarkanPeraturan
Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan
Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah terkahir dengan PP
Nomor 3 Tahun 2008, telah diatur mengenai kegiatan pemanfaatan hutan melalui
kegiatan pemanfaatan
kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan hasil hutan dan hasil hutan bukan
kayu
90
yang dapat dilakukan pada seluruh
kawasan hutan, baik hutan
konservasi (kecuali cagar alam, zona rimba, dan zona inti pada taman nasional),
hutan lindung, dan hutan produksi. Adapun jenis-jenis Izin Pemanfaatan Hutan,
meliputi:
1. IUPK (Izin Usaha
Pemanfaatan Kawasan) adalah izin usaha
yang diberikan
untuk memanfaatkan kawasan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi.
2. IUPJL (Izin Usaha
Pemanfaatan Jasa Lingkungan) adalah izin usaha yang diberikan untuk
memanfaatkan jasa lingkungan pada hutan
lindung dan/atau hutan
produksi.
3. IUPHHK (Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) dan/atau IUPHHBK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Bukan Kayu) adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil
hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi
melalui kegiatan pemanenan atau penebangan,
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
pengayaan, pemeliharaan dan
pemasaran.
4. IUPHHK Restorasi Ekosistem
dalam hutan alam adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam
hutan alam pada hutan
produksi yang
memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan
keterwakilannyamelalui
kegiatan
pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk
penanaman,pengayaan,
penjarangan,
penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur
hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi)
pada suatu kawasan kepada jenis yang
asli, sehingga
tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
5. IUPHHK dan/atau IUPHHBK
dalam hutan tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil
hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan tanaman
91
pada hutan
produksi melalui kegiatan penyiapan lahan,
pembibitan,
penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.
6. IPHHK (Izin Pemungutan
Hasil Hutan Kayu) adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa kayu pada
hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, pengangkutan, dan pemasaran untuk
jangka waktu dan volume tertentu.
7. IPHHBK (Izin Pemungutan
Hasil Hutan Bukan Kayu) adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa bukan
kayu pada hutan lindung dan/atau hutan produksi antara lain berupa rotan, madu,
buah-
buahan,
getah-getahan, tanaman obat-obatan, untuk jangka waktu dan volume
tertentu.
Selain itu, masih terdapat
izin lainnya baik izin untuk pengolahan hasil hutan kayu maupun bukan kayu
seperti Izin Usaha Industri
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dan Izin Usaha Industri Pemanfaatan
Hasil Hutan Bukan
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
Kayu
(IUIPHHBK), Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada kawasan di luar
hutan seperti
APL (Areal Penggunaan Lain), juga Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPHHK) pada
kawasan hutan produksi yang ditujukan untuk kegiatan diluar bidang kehutanan
yang diatur dalam peraturan tersendiri. Untuk itu penerapan IUPHHK MHA (Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat) yang dilakukan oleh
masyarakat hukum adat tidak kenal polisi kehutanan dalam PP Nomor 3 Tahun 2008
dan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor
35/PUU-X/2012. yang berisikan mengenai pengertian hutan adat, dari semula
dikatakan sebagai “hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”
menjadi “hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, kata “negara”-nya
dihapus. Atas dasar itu sekarang dikenal tiga
pengertian
hutan berdasarkan statusnya, yaitu:
1. Hutan Negara : Hutan negara
adalah hutan yang berada di
92
atas tanah yang
tidak dibebani hak atas tanah. Hutan negara ini kepemilikannya ada pada
negara. Segala
bentuk penguasaan dan pengelolaan harus seijin dari negara.
2. Hutan Hak : Hutan hak
merupakan hutan yang berada di atas tanah yang dibebani hak atas tanah, dalam
terminologi
undang-undang
kehutanan sebelumnya disebut hutan milik. Kepemilikan hutan hak ini bisa
ditangan individu atau badan hukum.
3. Hutan Adat : Hutan adat
adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat.
Kelemahandalam
pelaksanaan pemanfaatan
hutan oleh masyarakat hukum adat adalah
mengenai tafsiran
masyarakat hukum adat menurut Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012 yang belum ada penjelasan secara rinci mengenai masyarakat hukum
adat, sehingga maksud masyarakat hukum adat menimbulkan multitafsir apakah yang
dimaksud masyarakat hukum adat merupakan individu, atau badan
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
hukum ataupun
kelompok masyarakat. Hal inilah yang menjadi kelemahan dalam pemberian izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat ( IUPHHK MHA).
Jaminan terhadap kepastian hukum dalam pemenuhan hak masyarakat hukum
adat dengan
melaksanakan
Penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat (
IUPHHK MHA) dimaksud agar Masyarakat adat mendapatkan legitimasi hukum atas
pengakuan
pemerintah
terhadap hak pemanfaatan hutan adat oleh masyarakat hukum adat, legitimasi
hukum tersebut dimaksut agar hak dan kewajiban masyarakat hukum adat dalam
pemanfaatan hutan diakui secara legal oleh pemerintah. Pemanfataan hutan
tersebut dapat menjamin hak- hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan dan
pemanfaatan
hukum dan memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil dan
lestari bagi kesejahteraan masyarakat serta menjamin berjalannya pengelolaan
93
hutan yang berkelanjutan
pada hutan masyarakat hukum adat.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal tersebut
diatas maka pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini ialah :
1. Bagaimana Konsep pengakuan
hak Masyarakat Hukum Adat dalam Perpektif Hukum ?
2. Apa Prinsip Perizinan
Pemanfaatan Hutan Masyarakat Hukum Adat ?
METODE PENELITIAN
Metode
yang di guanakan adalah metode Legal
Research dengan mengunakan pendekatan Pendekatan masalah yang di bahas
dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan beberapa pendekatan yaitu,
pendekatan perundang –
undangan (Statute Aprroach), pendekatan konseptual
(Conceptual Approach).[7]
Dalam pembahasan pertama
penulis
menjelaskan mengenai pendekatan perundang – undangan ( Statute Aprroach ), dalam metode ini penulis perlu memahami hierarki, dan asas – asas dalam peraturan
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
perundang –
undangan. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang – Undang No. 12 Tahun 2011, peraturan
perundang – undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam peraturan
perundang –
undangan. Dari pengertian tersebut, secara singkat
dapat dikatakan
bahwa yang dimaksud sebagai statute
berupa legislasi dan regulasi. Jika demikian, pendekatan peraturan perundang –
undangan adalah pendekatan dengan
menggunakan legislasi dan
regulasi’[8]
Pembahasan kedua penulis menjelaskan mengenai pendekatan konseptual (Conceptual Aprroach), pendekatan
konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang
ada. Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk
masalah yang dihadapi. Dalam membangun konsep hukum dengan beranjak dari
pandangan – pandangan
94
dan doktrin – doktrin yang
berkembang didalam ilmu hokum.[9]
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.
Konsep pengakuan hak
Masyarakat Hukum Adat dalam Perpektif Hukum
Masyarakat
hukum adat merupakan sekelompok masyarakat
yang secara
turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada
asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta
adanya sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial,dan hukum
Peraturan
perundang-undangan yang secara yuridis
memberikan
pengakuan baik mengenai eksistensi keberadaannya maupun mengenai hak-hak yang
yang melekat pada masyarakat hukum adat. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 (amandemen) menyatakan bahwa:
“Negaramengakuidan
menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pengakuan
eksitensi hukum adat tanpa adanya kondisional sebelumnya telah tercantum di
dalam penjelasan Pasal 18 angka II UUD 1945, sebagai berikut: “Dalam teritoir
Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landschappen dan volksgemeenshappen seperti
desa di
Jawa dan Bali, negeri di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu
mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang
bersifat istimewa.
Negara
Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan
segala peraturan negara yang mengenai daerahdaerah itu akan mengingat hak asal
usul daerah itu. Salah satu
bentuk pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat adalah
ditetapkannya sebagai subyek
95
hukum, sebagai
pihak yang dapat mengajukan permohonan pengkajian undang-undang terhadap UUD
1945. Namun demikian konsepnya masih terlalu umum dan yang memerlukan
penjelasan lebih lanjut[10]· Pasal 28I ayat (3) berbunyi: “Identitas budaya dan
hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan
perkembangan
zaman dan peradaban.”
Dalam pasal ini diakui adanya
kebudayaan
sebuah kelompok masyarakat, walaupun belum jelas masyarakat mana yang dimaksud.
Ketika pasal ini dihubungannya dengan Pasal 18 B ayat 2 maka ada kemungkan
bahwa yang dimaksud
dengan
masyarakat tradisional dalam Pasal 28 I ayat 3 adalah masyarakat hukum adat
dengan hak tradisionalnya.
Masyarakat hukum adat
menurut UU No. 32 tahun
2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan
hidup, Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun
temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal
usul leluhur, adanya
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
hubungan yang
kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata
ekonomi, politik, sosial,dan hukum. Masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sementara unsur-unsur untuk adanya pengakuan
sebagai berikut.
1. Masyarakatnya masih dalam
bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap).
2. Ada kelembagaan dalam
bentuk perangkat penguasa adatnya.
3. Ada wilayah hukum adat yang
jelas.
4. Ada pranata dan perangkat
hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati.[11]
2.
Prinsip Perizinan
Pemanfaatan Hutan Masyarakat Hukum Adat.
Dalam hukum perizinan yang menjadi tugas utama pemerintah dalam
mewujudkan tujuan negara salah satunya melalui pelayanan publik dan turut
sertanya pemerintah dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan semakin
meningkatnya pembangunan di berbagai bidang
96
sektoral makan ikut
campurnya pemerintah pun semakin aktif dan intensif dalam berbagai segi
kehidupan masyarakat.[12]
Menurut N.M Spelt Dan J.B.J.M Ten Berge [13] izin dalam istilah di bagi menjadi 2 antara lain dalam arti sempit di sebut
izin sedangkan izin dalam arti luas yang berarti perizinan ialah suatu
persetujuan dari penguasa
berdasarakan undang-undang dan peraturan pemerintahuntuk dalam keadaan tertentu
dari ketentuan-ketentuan perundang-undanganan. Lebih lanjut di bedakan dengan
bentuk perizinan yang di kemukan
oleh Tatiek Sri Djatmiati mengemukakan bahwa perizinan
dapat berupa pendaftaran,
rekomendasi, sertifikat, menentukan kuato dan izin untuk melakukan kegiatan
usaha[14]. A.M Doneer
menyatakan perizinan (vergununningen) yang dibedakan menjadi
tiga kategori yaitu lisensi, dispensasi dan konsentrasi.[15]
Prajudi Atmosudirjo
menyatakan bahwa izin
(vergunning) adalah penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan
oleh
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
Undang-Undang. Pada umumnya
Pasal Undang-Undang yang
bersangkutan berbunyi “dilarang
tanpa izin dan seterusnya”.
Selanjutnya larangan tersebut diikuti dengan perincian syarat-syarat, kriteria
dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk
memperoleh dispensasi dari
larangan, disertai dengan penetapan prosedur dan petunjuk pelaksanaan kepada
pejabat-pejabat administrasi negara yang bersangkutan.[16] Adapun mengenai
tujuan perizinan menurut Prajudi
Atmosudirjo yang secara umum dapat di uraikan sebagai berikut:
1) Keinginan mengarahkan (
mengendalikan “ sturen” ) aktivitas
aktivitas tertentu.
2) Izin mencegah bahaya dari
lingkungan
3) Keinginan-keinginan
melindungi objek tertentu.
4) Izin hendak membagi bagi
benda yang sedikit.
5) Izin memberikan pengarahan
dengan menyeleksi orang-
orang dan
aktivitas-aktivitas[17].
97
Penguasaan sumber daya alam
Indonesia selalu terikat dan tidak dapat dilepaskan dari ketentuan dalam Pasal
33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 33 ayat 3
UUD 1945 menjadi landasan konstitusional mengenai penguasaan negara atas sumber
daya alam. Frasa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menjadi frasa doctrinal yang menjadi landasan
filosofis dan yuridis dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia.
Penguasaan oleh negara
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam konteks konstitusi secara mandiri
tanpa adanya tafsiran atas pasal tersebut memang menjadi kelemahannya dari
Pasal 33 ayat 3 tersebut. Pasal tersebut memang tidak dibuat untuk memberikan
batas-
batas yang rinci mengenai
bagaimana konsep penguasaan
negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Hal inilah yang kemudian banyak terbentuk suatu
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
undang-undang yang
melenceng dari penguasaan negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam
penjelasan pasal 33 UUD 1945 sebelum diamandemen bahwa prinsip penguasaan
negara dan perusahaan
(produksi) didasarkan pada
kolektifitas, yaitu dikerjakan oleh semua, dibawah pimpinan atau
anggota-anggota masyarakat yang pada diakhirnya ditujukan guna mewujudkan
kemakmuran rakyat[18].
Berdasarkan
ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD NKRI 1945 secara sederhana dapat diuraikan
beberapa
unsur yang menjadi dasar
penguasaan dan pengusahaan
sumber daya alam yaitu unsur :
1. sumber daya alam dikuasai
negara, terutama cabang-cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak
2. cabang-cabang produksi
dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau
pemilikan anggota-anggota
masyarakat
3. dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran orang perorang[19].
98
Mahkamah Konstitusi pun
melalui Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 memberikan tafsir atas frasa “dikuasai
oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945: “Perkataan “dikuasai oleh negara”
haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang
bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala
sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya”,
termasuk
pula didalamnya pengertian
kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan yang
dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan
mandate kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad)
dan pengawasan (toezichthoudensdaad)
untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.”
Di bidang kehutanan sesuai
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa semua hutan di dalam
wilayah
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
Republik Indonesia termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara
memberi wewenang kepada
pemerintah untuk:
a. mengatur dan mengurus segala
sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan
b. menetapkan status wilayah
tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan
c. mengatur dan menetapkan
hubungan-hubungan hukum
antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai
kehutanan.
Berdasarkan peraturan
perundang-undangan
tersebut, makna dikuasai negara secara jelas
memberikan batasan terhadap
perbuatan dan hubungan hukum yang dapat dilakukan oleh negara. Penguasaan oleh
negara secara utilitas berdampak pada kemakmuran rakyat sehingga penguasaan
oleh negara harus berkausalitas dengan kemakmuran, walau pengusaan
99
dilakukan oleh negara namun apabila
penguasaan tersebut tidak
memberikan kemakmuran maka penguasaan tersebut tidak sesuai
dengan penguasaan yang
diamanahkan dalam Pasal 33 UUD 1945[20].
Berdasarkan
Putusan Nomor 35/PUU-X/ 2012 yang menjelaskan
bahwa Mahkamah
Konstitusi mengabulkan sebagian Judicial
Review Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang
diajukan oleh masyarakat adat nusantara. Putusan MK menegaskan hutan adat bukan
merupakan hutan negara. Hal ini di karenakan negara dalam Pasal 1 angka 6
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar NRI 1945 pasal 18 B ayat (2) mengenai eksistensi
penghormatan terhadap hak- hak masyarakat adat. Dalam hal ini negara tidak
memiliki kekuasaan hukum untuk menjadikan hutan adat adalah hutan yang berada
di wilayah masyarakat hukum adat menjadi hutan negara. Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang
Kehutanan juga bertentangan dengan UUD NRI 1945
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
sepanjang tidak dimaknai
penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup
dan sesuai perkembangan
masyarakat dan prinsip negara yang di atur dalam Undang-Undang. Padal 5 ayat 1
dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
tetap[21].
Undang-Undang
Otsus papua Pasal 43 menjelaskan bahwa pemerintah provinsi wajib mengakui,
menghormati, melindungi,
memberdayakan dan
mengembangkan hak-hak
masyarakat adat yang berpedoman kepada peraturan hukum yang
berlaku. Selanjutnya Undang
Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 67 Masyarakat hukum adat
sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak
melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-
hari masyarakat adat yang
bersangkutan, dan melakukan
kegiatan pengelolaan hutan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan
100
dengan undang-undang serta
mendapatkan pemberdayaan dalam
rangka meningkatkan
kesejahteraannya.
Penguasaan hutan oleh
negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya
masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional. Sesuai dengan asas
penyelenggaraan kehutanan
sebagaimana dituagkan dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan
dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan
dan keterpaduan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung gugat maka konsepsi
penguasaan oleh negara
menjadi jiwa dari asas-asas
penyelenggaraan kehutanan tersebut. Penguasaan oleh negara tersebut
berkaitan dengan pemahaman
mengenai prinsip
kepemilikan. Pengusahaan hutan leh negara bukan merupakan pemilikan oleh
negara.
Kemakmuran rakyat harus
menjadi keharusan dalam setiap
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
penguasaan dan pengusahaan
sumber daya alam Indonesia sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Konteks
penguasaan sumber daya alam harus mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi
seluruh rakyat Indonesia yang merupakan
bagian terpenting daripada
penguasaan sumber daya alam. Kesejahteraan bukan berarti bahwa sumber daya alam
harus dieksploitasi dan menghasilkan secara ekonomis akan tetapi sumber daya
alam yang merupakan titipan anak cucu harus memberikan manfaat untuk jangka
panjang keberadaannya sehingga manfaat yang diterima merupakan manfaat tidak
hanya intergenerasi namun juga manfaat antar generasi. Kemakmuran rakyat dalam
dimensi falsafat dalam perspektif pemikiran Jeremy Bentham dengan teorinya
mengenai utilitarisme yang tidak lazim digunakan dalam menganalisis kemanfaatan
melalui kaca filsafat. Menurut teori ini perbuatan yang memang bermaksud baik
tetapi tidak menghasilkan apa-apa tidak pantas
disebut baik. Bentham berpendapat[22]:
101
“Nature has placed mankind under
the governance of two sovereign masters, pain and pleasure. It is for them
alone to point out what we ought to do, as well as to determine what we shall
do. On the one hand the standard of right and wrong, on the other the chain of
causes and effects, are fastened to their throne. They govern us in all we do,
in all we say, in all we think: every effort we can make to throw off our
subjection, will serve but to demonstrate and confirm it. In word a man may
pretend to abjure their empire: but in reality he will remain. Subject to it
all the while. The principle of utility recognizes this subjection, and assumes
it for the foundation of that system, the object of which is to rear the fabric
of felicity by the hands of reason and of law. Systems which attempt to
question it, deal in sounds instead of sense, in caprice instead of reason, in
darkness instead of light.”
Berdasarkan pernyataan
Bentham tersebut alam telah
menempatkan umat manusia
dibawah kendali dua penguasaan, rasa sakit (pain)
dan rasa senang
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
(pleasure). Hanya keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya
manusia lakukan, dan menentukan apa yang akan manusia lakukan. Standar benar
dan salah disatu sisi, maupun sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada
dua kekuasaan tersebut. Terkait dengan prinsip
utilitas Bentham
mendasarkan keseluruhan filsafatnya pada dua
prinsip yaitu prinsip
asosiasi (association principle) dan
prinsip
kebahagiaan terbesar (greates happiness principle). Prinsip asosiasi berakar pada psikologi tentang adanya reflex yang dikondisikan.
Dalam konteks ini Bentham
menunjukkan bahwa hukum memiliki kemampuan sebagai stimulus untuk
mengondisikan ide-ide
tentang kebaikan[23]. Sedangkan prinsip
kedua yaitu prinsip tentang
kebahagiaan terbesar.
Kesenangan
atau kemanfaatan sebagaimana dimaksud diatas dapat diraih dengan ukuran
akibat (konsekuensi).
Dengan demikian hukum yang baik adalah hukum yang bisa memberikan akibat yang
paling bermanfaat atau menimbulkan kebahagiaan terbesar
102
untuk jumlah orang terbesar
(the greatest happiness of the greatest number). Kebahagiaan tersebut muncul tidak lepas dari fungsi hukum
itu sendiri. Menurut Bentham “All the
functions of law may be referred to these
four heads: to provide subsistence; to produce abudance; to favour equality;
and to maintain
security.” selanjutnya dalam memaknai hukum, menurut Bentham hukum
yang merupakan sekumpulan tanda (assemblage
of sign)[24]. tanda yang dimaksud oleh bentam adalah ungkapan kehendak (the expression of will) yang muncul dari kehendak yang di pahami dan di serap oleh penguasa negara.
lebih lanjut Bentham
menyatakan bahwa: “A law may be defined as an assemblage of sign declarative
of a volition conceived or adopted by the sovereign in a state, concerning the
conduct to be observed in acertain case by a certain person or class of persons,
who in the case in question are or are supposed to be subject to his power:
such
volition trusting for its accomplishment to the expectation of certain
events which it is intended
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
such declaration should upon occasion be a means
of bringing to pass, and the prospect of which it is intended should act as a
motive upon those whose conduct is in question”[25].
Menurut Bentham hukum diartikan sebagai suatu tanda (sign) dari kehendak (volition) yang harus dinyatakan oleh
penguasa dalam bentuk tertentu, sehingga setiap orang dapat bertindak sesuai
dengan hukum yang telah diungkapkan tersebut. Sebagaimana pendapat Bentham[26]:
“According to this definition, a
law can be considered in eight different
respect. (1) In respect to its source: that is in respect to the person or
persons of whose will it is the expression. (2) In respect to the quality of
its subjects: by which I mean the person and things to which it may apply. (3)
In respect to its object: by which I mean the act, as characterized by the
circumstances, to which it may apply. (4) In respect to its extend, the
generality or the amplitude of its applications: that is in respect to the
determinateness of the persons whose conduct it may seek
103
to regulate. (5) In respect to its aspect: that
is in respect to the various manners in which the will whereof it is the
expression may apply itself to the act and circumstances which are its object.
(6)
In respect to it force:
that is, in respect to the motives it relies on for enabling it to produce the
effect it aims at, and the laws or other means which it relies on for bringing
those motives into play: such laws may be styled its corroborative appendages.
(7)
In respect to its
expression: that is in respect to the nature of the sign by which the will
whereof it is the expression may be made known. (8) In respect to it remedial
appendages, where it has any: by which I mean certain other laws which may
occasionally come to be subjoined to the principal law in question: and of
which the design it to obviate the mischief that stands connected with any
individual act of the number of those which are made efficacy of the subsidiary
appendages to which it stands indebted for its force”.
Menurut
Bentham terdapat 8
pertimbangan
sebagaimana di uraikan diatas yang ada dasarnnya
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
tidak hanya
menaruh perhatian pada
pembentukan hukum yang
merupakan tanda ungkapan
kehendak dan perintah penguasa yang berdaulat, namun Bentham sebagai penganut
teori kehendak dalam hukum ( the will
theory of law) juga menyakini bahwa penerapan hukum akan sangat berpengaruh
dalam menentukan kualitas dari hukum yang di hasilkan. untuk itulah kehendak
harus di upayakan datang dari berbagai unsur masyarakat tanpa terkecuali,
sehingga dapat dihasilkan apa yang disebut dengan kesatuan
kehendak (unity of wiil) yang selanjutnya oleh
penganut teori kehendak di sebut dengan the
unity of enforcement entails the
unity of will.
Pemikiran
bahwa utilitarianisme menganut konsep konsekuensionalis, artinya setiap
perbuatan dilihat dari sebab akibat secara moral sebagai dampak dari perbuatan
tersebut, tentunya akibat yang paling bermanfaat merupakan perbuatan yang baik.
Prinsip utilitarian yang di
kemukana bentham antara lain sebagai berikut:
104
“ an action is right from an ethical point of
view if and only the sum total of utilities produced by that act is greater
than the sum total of utilities produced by any other act the agent could have
performed in its place.”
Bentham membagi
utilitarianisme menjadi 2 jenis, yaitu
utilitarianisme tindakan (act utilitarianism)
dan utilitarianisme aturan ( rule utilitarianism), untuk
membedakankeduajenis
utilitarianisme Peter Prevos menjelaskan
“in act utilitarianism, we are required to promote those acts which will result in
the greatest good for the greatest number of people. the consequences of the
act of giving money to charity would be considered righat in act utilitarianis,
because the money increases the happiness of many people, rather that just
yourself. to see the utility of an action as only a criterion for
rightnes is to regard the maximisation of
utility as what make an action right. This leaves open the question of how one
is to incorporate utilitarianism into one’s life. Rule utilitarianism is a r
resction to that
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
objection. The principle of utility ini rule
utilitarianism is a reaction to that objection. The principle of utility in
rule ulitarianism is to folow those rules which will result in the greatest
good for the greatest number of people. In the example above, the general rule
would be:’Share your wealth’. Utilitarianism holds that whatever produces the
greatest utility (pleasure or any other such value as defined and justified by
the utilitarian) is good and that which produces the greatest nett utility, is
considered right. Both theories count as utilitarian because both define that
which produces the greatest utility as good and seek for the greatest nett
amount of utility, be it either through actions or indirectly through rules.
One objection to rule-utilitarianism is that in some situations the utility of
breaking a certain rule could be greater than keeping it. It is, for example,
not difficult to imagine that a rule-utilitarian who lives by the rule ‘Tell
the truth’, sometimes will find him or herself forced to lie in order to
increase utility.[27]”
Secara umum utilitarianisme tindakan ditekankan pada tindakan
105
yang harus dipilih dari dua atau lebih
pilihan yang paling mampu
mendatangkan kebahagiaan yang maksimal. Sedangkan utilitarianisme aturan lebih
menekankan pada perihal norma yang harus diikuti dengan asumsi bahwa norma yang
akan diikuti tersebut memiliki kemanfaatan yang paling besar terhadap
masyarakat.
Menurut John Stuart Mill,
moral harus diharmonisasikan dalam dua prinsip yaitu: (1) each person ought to act
to maximize individual happiness and (2) each person ought to act to maximize
the collective happiness of everyone. Berdasarkan hal tersebut, John Stuart Mill berpendapat bahwa utilitarianisme
tidak mensyaratkan agar setiap orang mencari “general good” di
setiap perbuatan, namun
maksimalisasi kebahagiaan
individual dan
maksimalisasi kebahagiaan kolektif pada setiap orang menjadi dasar tindakan
seseorang.
Pemikiran Bentham dan John
Stuart Mill tersebut dalam
pelaksanaan pengelolaan kehutanan sangat relevan digunakan sebagai
Jurnal Meta
Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020
landasan pemikiran filosofi
dan teoretis. Pemikiran Bentham yang
sangat mengedepankan suatu
kemanfaatan dari suatu pengaturan (hukum) akan berkorelasi dengan tujuan bangsa
Indonesia dalam aspek pengelolaan sumber daya alam sebagaimana tertuang dalam
Pasal 33 UUD NRI 1945 yang menjadikan sumber daya alam digunakan sebagai untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Prinsip
“the greatest happines of the greatest number” merupakan pokok pemikiran Bentham yang sangat
relevan dalam kondisi
Pemerintah Indonesia yang
membuka pintu pengusahaan pada sektor kehutanan. Dengan demikian, akan dilihat
apakah pengusahaan dibidang kehutanan tersebut akan
memberikan kemanfaatan
(kesenangan) yang
sebesar-besarnya bagi mayoritas rakyat
Indonesia sebagai pendapat
Bentham tentang “the greatest happines of the greatest number”. [28]
Kesenangan
(kemanfaatan) yang dimaksud Bentham merupakan kemanfaatan yang terpositifkan dalam suatu
peraturan (hukum) yang memiliki empat fungsi yaitu: “to provide subsistence; to
produce abudance: to favour equality; and to maintain security”. Dari
fungsi hukum menurut Bentham
tersebut, apabila dikaitkan dengan pengusahaan kehutanan dapat memberikan “penghidupan”, “kesejahteraan”,
“kesetaraan”, dan “keamanan”. Melalui fungsi
hukum yang dikemukakan oleh Bentham akan dilihat apakah
pengusahaan kehutanan secara umum dapat memberikan mata pencarian (penghidupan),
kesetaraan, kemakmuran, dan keamanan.
Kebahagiaan/kemakmuran yang
dimaksud Bentham dan John Stuart Mill dapat dilihat secara filsafati mengenai
pengusahaan sumber daya alam digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Kemakmuran rakyat sebagai tujuan dari
pengusahaan sumber daya alam menjadi sangat penting karena sumber daya alam
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa menjadi komoditas yang wajib memberikan
manfaat bangsa rakyat Indonesia[29].
PENUTUP ....
|
DAFTAR
PUSTAKA
|
|
|
|
|
||||||||||
|
|
[1] Arief
Sindharta, Refleksi Tentang
|
|||||||||||||
|
|
Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti,
|
|||||||||||||
|
1996, hlm 100
|
|
|
|
|
|
|||||||||
|
[2] Soewoto Mulyo Soedarmo, Otonomi Daerah Suatu Kajian Historik, Teoritik dan Yuridik Pelimpahan Kekuasaan,
Yuridika, 1990, hlm 275
[3] Philipus M Hadjon, Fungsi Normatif
Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan
Yang Bersih, Pidato Peresmiaan Jabatan Gurus Besar
Unair 10 okt 1994,yang di kutip dalam bukunya Emanuel
Sojatmoko, Bentuk Hukum Kerjasama Antar Daerah, Surabaya, Revka Petra Media, 2016, hlm 21.
[4]
Siti Sundari
Rangkuti, Hukum
Lingkingan dan Kebijakan Lingkungan Nasional, Surabaya,
Airlangga University Press,
2003, hlm 115.
[5]Lilik Pudjiastuti, Prinsip Hukum Pengaturan Perizinan Kefarmasian, Disertasi Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2013,
hlm 25.
[6] Prajudi
Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983, hlm 96.
[7] Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Banyumedia, 2010, Hlm 93
[8] Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian hukum, Edisi Revisi, Jakarta,
Kencana, 2005, hlm 136.
[9] Ibid, hlm 177.
[10] Jimly Asshiddiqie dalam
buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis. di kutip dalam artikel Riwanto Tirto
Sudarmo dkk, Tim
Pengkajian
Hukum tentang Perlindungan Masyarakat Adat di
Daerah
Perbatasan dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor
PHN-30.LT.02.01 tahun 2011, hlm 20
[11] Bekti, Awaludin Gusti
Restu,dkk, eksistensi masyarakat hukum adat, makalah,http://ahendrikpangerang.bl ogspot.com/2017/12/makalah-eksistensi-masyarakat-hukum-adat.html diakses pada tanggal 20 februari 2020 pukul
12;45 wib
[12] I Gde Astawa, Hubungan Fungsional Antar Hukum Administrasi Negara Dengan
Undang-Undang No 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup Dan Pelaksanaannya Dalam
Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Uii Press, Cet Kedua, 2002, hlm 308-309.
[13] N.M Spelt dan J.B.J.M Ten Berge,
Pengantar Hukum Perizinan, Disunting Oleh Philipus M Hadjon, Surabaya, Yuridika, 1993, hlm
1-2.
[14] Tatiek Sri Djatmiati, Loc.,Cit.,hlm 16.
[15] I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan
HidupDalamMewujudkan
Pembangunan Daerah Yang Berkelanjutan, Bandung, Jurnal
Hukum, Program Pasca
Sarjana Unpad, 2006.
[16]Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983, hlm 94
[17] ibid., hlm 96.
[18] Redi Ahmad, Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor Kehutanan, Jakarta,
Sinar Grafika, 2015, hlm 6
[19] Ibid.,Hlm 7
[20] Ibid.,Hlm 13-14.
[21]Lihat dalam isi Putusan Mahkama Konstitusi Nomor 35/PUU-X/ 2012
[22] Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles Of Morals and Legislation, Kitchener, Batoche
Books, 2000,
Hlm 15
[23]Shindarta, Utilitarianisme, Jakarta,
Penerbit UPT Universitas
Tarumanegara, 2007, Hlm 19
[24] Jeremy Bentham, Op.,Cit.,hlm 96
[25] M.D.A. Freeman, Lloyds Introduction to Jurisprudence, London, Steven
And Sons, 2001, Hlm 187-188.
[26] Jeremy Bentham, Op.,Cit.,hlm
102 [27]Peter Prevos, Rule and Act
Utilitarianism, Makalah Pada Khursus Ethics, Oleh Monash University Melbourne, 2014.
[28] Redi Ahmad, Op.,Cit.,hlm 49
Silahkan Klik tautan dibawah untuk penelusuran lebih luas : ......
http://sinta.ristekbrin.go.id/home/search?search=1&q=PERIZINAN+SEBAGAI+INSTRUMEN+PEMANFAATAN+HUTAN+MASYARAKAT+HUKUM+ADAT
https://scholar.google.com/citations?user=CA_A13wAAAAJ&hl=en
Terima Kasih
Bagus bpk sangat pembantu sbg pedoman dan refrerensi utk kerja dilapangan.
ReplyDeleteamien, terima kasih. Terus berkomunikasi ya .. utk saling berbagi pengetahuan
ReplyDelete