PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PEMANFAATAN HUTAN MASYARAKAT HUKUM ADAT



http://103.98.176.9/index.php/meta-yuridis/article/view/5755

FB: hartanto uwm


PERIZINAN SEBAGAI INSTRUMEN PEMANFAATAN

 HUTAN MASYARAKAT HUKUM ADAT


Cunduk Wasiati
Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram, Yogyakarta, Indonesia

Hartanto
Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram, yogyakarta, Indonesia
hartanto.yogya@gmail.com

Abstrak : Konsep pengakuan hak masyarakat hukum adat di tuangkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip Perizinan Pemanfaatan Hutan Masyarakat Hukum Adat merupakan Keinginan pemerintah dalam mengarahkan ( mengendalikan “ sturen” ) aktivitas aktivitas tertentu, Izin mencegah bahaya dari lingkungan,Keinginan-keinginan melindungi objek tertentu, Izin hendak membagi bagi benda yang sedikit, Izin memberikan pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas- aktivitas. Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. mengenai eksistensi penghormatan terhadap hak- hak masyarakat adat. Dalam hal ini negara tidak memiliki kekuasaan hukum untuk menjadikan hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat menjadi hutan negara.

Kata Kunci : Perizinan, Hutan, Masyarakat Hukum Adat

Abstract: The concept of the recognition of the rights of indigenous and tribal peoples is set forth in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia Article 18B paragraph

(2)   of the 1945 Constitution which explains that the State recognizes and respects the units of customary law communities along with their traditional rights as long as they are alive and in accordance with the development of society. Indigenous and tribal peoples will be recognized as long as they are still alive and in accordance with community development and the principles of the Unitary State of the Republic of Indonesia. Principle of Licensing for the Utilization of Customary Community Forest Forest is the government's desire to direct (control "sturen") certain activities, Permit to prevent danger from the environment, Desires to protect certain objects, Permit to divide for small objects, Permit to give direction by selecting people people and activities. Forest control by the state still takes into account the rights of indigenous and tribal peoples, as long as in reality it still exists and its existence is recognized, and it does not conflict with national interests. regarding the existence of respect for the rights of indigenous peoples. In this case the state does not have the legal power to make customary forests are forests that are within the territory of customary law communities into state forests.

Keywords: Licensing, Forest, Customary Law Community








Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020






PENDAHULUAN

Konsep negara hukum yang meletakkan kewenangan pada suatu

aturan-aturan harus di berikan berdasarkan melalui perundang-undangan yang di dasarkan pada asas legalitas, yang mana setiap

tindakan            pemerintahan            yang

berkaitan dengan pengaturan masyarakat hukum adat, harus di dasarkan pada asas legalitas untuk itu setiap tindakan pemerintah harus tetap berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang memuat mengenai norma perilaku yang berisikan tentang perintah, larangan, izin dan dispensasi serta norma ketentuan wewenang dari instansi

yang memberikan perintah.[1] Pemberian kewenangan di bidang kehutanan diatur dalam beberapa perundang-undangan yakni:

1)    Undang--Undang   Nomor   23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur pembagian urusan pemerintahan termasuk bidang kehutanan dengan klasifikasi urusan pemerintahan konkuren-pilihan. Pasal 14 menyatakan

88


“pembagian kewenangan hanya dibagi menjadi dua yaitu kewenangan pemerintah pusat dan daerah provinsi kecuali

yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya

kabupaten/         kota          menjadi

kewenangan daerah kabupaten/kota”.

2)    Undang Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal

66  menyakatan  bahwa  “dalam

rangkapenyelengaraan

kehutananpemerintah

menyerahkansebagian

kewenangan kepada pemerintah daerah dengan maksud untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah”.

3)    Undang-Undang No 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus

provinsi  Papua        memberikan

kewenangan                     pemerintah

provinsi untuk mengatur pemerintahan daerah yang

dituangkan   dalam         Pasal    4

menyatakan “kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




bidang pemerintahan kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, peradilan serta kewenangan tertentu dibidang lain yang ditetapkan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan” .

Soewoto   Mulyo    Soedarmo

berpendapat bahwa “Kewenangan dapat diperoleh melalui pengakuan kekuasaan (attributie), ataupun pelimpahan kekuasaan (overdracht).”

Pelimpahan kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu

pemberian                                                   kuasa

(mandaatsverlening) dan pendelegasian (delegatie)[2], Sejalan dengan itu Philipus M Hadjon menyatakan bahwa “kewenangan dapat diperoleh melalui tiga sumber,

yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.[3] Kewenangan yang di peroleh melalui atribusi, delegasi dan mandat yang diatur pada suatu regulasi aturan dengan maksud agar

adanya kekuasaan formal, pelimpahan kewenangan tersebut di

tuangkan dalam perundang-undangan.

89


Pengaturan kegiatan usaha pemanfaatan hutan masyarakat hukum adat harus dapat dilakukan dengan berbagai sarana hukum administrasi yang tersedia bagi pemerintah, baik yang di wujudkan dalam tindakan nyata atau tindakan hukum[4]. Salah satu tindakan hukum yang di lakukan dalam bidang hukum kehutanan adalah penerapan izin dalam melaksanakan tugas tersebut pemerintah di berikan wewenang yang termuat dalam instrumen yuridis berupa perizinan. Salah satu wujud dalam instrumen yuridis adalah ketetapan perizinan

yang          sebelumnya          tidak           di

perkenankan menjadi di perkenankan ( beschikkinge welke iets toestaan wat tevoren niet geoorloofd).

Pengaturan, penerbitan, pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap perizinan sebagai sarana untuk melindungi dan menjaga kelestarian hutan masyarakat dari kegiatan pengelolaan hasil hutan

serta              dampaknya              terhadap

lingkungan harus mengimplementasikan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




sebagai          standart          bagi    pemerintah

terhadap Pemanfaatan Hutan Masyarakat Hukum Adat[5]. tujuan

perizinan menurut Prajudi Atmosudirjo yang secara umum dapat di uraikan sebagai berikut:

1.  Keinginan mengarahkan ( mengendalikan “ sturen” ) aktivitas aktivitas tertentu.

2.    Izin mencegah bahaya dari lingkungan

3.    Keinginan-keinginan melindungi objek tertentu.

4.    Izin hendak membagi bagi benda yang sedikit.

5.    Izin memberikan pengarahan dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas- aktivitas[6].

BerdasarkanPeraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah terkahir dengan PP Nomor 3 Tahun 2008, telah diatur mengenai kegiatan pemanfaatan hutan melalui kegiatan pemanfaatan

kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan hasil hutan dan hasil hutan bukan kayu

90


yang  dapat dilakukan pada  seluruh

kawasan hutan, baik hutan konservasi (kecuali cagar alam, zona rimba, dan zona inti pada taman nasional), hutan lindung, dan hutan produksi. Adapun jenis-jenis Izin Pemanfaatan Hutan, meliputi:

1.    IUPK (Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan) adalah izin usaha

yang diberikan untuk memanfaatkan kawasan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi.

2.    IUPJL (Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan) adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan jasa lingkungan pada hutan

lindung dan/atau hutan produksi.

3.    IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) dan/atau IUPHHBK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu) adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan,




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




pengayaan, pemeliharaan dan pemasaran.

4.    IUPHHK Restorasi Ekosistem dalam hutan alam adalah izin usaha yang diberikan untuk membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan

produksi yang memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan

keterwakilannyamelalui

kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk

penanaman,pengayaan,

penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang

asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.

5.    IUPHHK dan/atau IUPHHBK dalam hutan tanaman adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan tanaman

91


pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan lahan,

pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.

6.    IPHHK (Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu) adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan, pengangkutan, dan pemasaran untuk jangka waktu dan volume tertentu.

7.    IPHHBK (Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu) adalah izin untuk mengambil hasil hutan berupa bukan kayu pada hutan lindung dan/atau hutan produksi antara lain berupa rotan, madu, buah-

buahan, getah-getahan, tanaman obat-obatan, untuk jangka waktu dan volume

tertentu.

Selain itu, masih terdapat izin lainnya baik izin untuk pengolahan hasil hutan kayu maupun bukan kayu

seperti Izin Usaha Industri Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) dan Izin Usaha Industri Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




Kayu (IUIPHHBK), Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada kawasan di luar

hutan seperti APL (Areal Penggunaan Lain), juga Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPHHK) pada kawasan hutan produksi yang ditujukan untuk kegiatan diluar bidang kehutanan yang diatur dalam peraturan tersendiri. Untuk itu penerapan IUPHHK MHA (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat) yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat tidak kenal polisi kehutanan dalam PP Nomor 3 Tahun 2008 dan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 35/PUU-X/2012. yang berisikan mengenai pengertian hutan adat, dari semula dikatakan sebagai “hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat” menjadi “hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, kata “negara”-nya dihapus. Atas dasar itu sekarang dikenal tiga

pengertian hutan berdasarkan statusnya, yaitu:

1.    Hutan Negara : Hutan negara adalah hutan yang berada di

92


atas tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Hutan negara ini kepemilikannya ada pada

negara. Segala bentuk penguasaan dan pengelolaan harus seijin dari negara.

2.    Hutan Hak : Hutan hak merupakan hutan yang berada di atas tanah yang dibebani hak atas tanah, dalam terminologi

undang-undang kehutanan sebelumnya disebut hutan milik. Kepemilikan hutan hak ini bisa ditangan individu atau badan hukum.

3.    Hutan Adat : Hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat.

Kelemahandalam

pelaksanaan pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat adalah

mengenai tafsiran masyarakat hukum adat menurut Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang belum ada penjelasan secara rinci mengenai masyarakat hukum adat, sehingga maksud masyarakat hukum adat menimbulkan multitafsir apakah yang dimaksud masyarakat hukum adat merupakan individu, atau badan




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




hukum ataupun kelompok masyarakat. Hal inilah yang menjadi kelemahan dalam pemberian izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat ( IUPHHK MHA).

Jaminan terhadap kepastian hukum dalam pemenuhan hak masyarakat hukum adat dengan

melaksanakan Penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Masyarakat Hukum Adat ( IUPHHK MHA) dimaksud agar Masyarakat adat mendapatkan legitimasi hukum atas pengakuan

pemerintah terhadap hak pemanfaatan hutan adat oleh masyarakat hukum adat, legitimasi hukum tersebut dimaksut agar hak dan kewajiban masyarakat hukum adat dalam pemanfaatan hutan diakui secara legal oleh pemerintah. Pemanfataan hutan tersebut dapat menjamin hak- hak masyarakat hukum adat dalam pengelolaan dan

pemanfaatan hukum dan memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat serta menjamin berjalannya pengelolaan

93


hutan yang berkelanjutan pada hutan masyarakat hukum adat.


RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan hal tersebut diatas maka pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini ialah :

1.    Bagaimana Konsep pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat dalam Perpektif Hukum ?

2.    Apa Prinsip Perizinan Pemanfaatan Hutan Masyarakat Hukum Adat ?


METODE PENELITIAN

Metode yang di guanakan adalah metode Legal Research dengan mengunakan pendekatan Pendekatan masalah yang di bahas dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan beberapa pendekatan yaitu, pendekatan perundang –

undangan (Statute Aprroach), pendekatan konseptual (Conceptual Approach).[7]

Dalam   pembahasan    pertama

penulis menjelaskan mengenai pendekatan perundang – undangan ( Statute Aprroach ), dalam metode ini penulis perlu memahami hierarki, dan asas – asas dalam peraturan




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




perundang – undangan. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang – Undang No. 12 Tahun 2011, peraturan perundang – undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang

ditetapkan              dalam               peraturan

perundang – undangan. Dari pengertian tersebut, secara singkat

dapat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai statute berupa legislasi dan regulasi. Jika demikian, pendekatan peraturan perundang – undangan adalah pendekatan dengan

menggunakan legislasi dan regulasi’[8]

Pembahasan kedua penulis menjelaskan mengenai pendekatan konseptual (Conceptual Aprroach), pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal itu dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi. Dalam membangun konsep hukum dengan beranjak dari pandangan – pandangan

94


dan doktrin – doktrin yang berkembang didalam ilmu hokum.[9]


HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1.  Konsep pengakuan hak Masyarakat Hukum Adat dalam Perpektif Hukum

Masyarakat hukum adat merupakan sekelompok masyarakat

yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang

menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan hukum

Peraturan perundang-undangan yang secara yuridis

memberikan pengakuan baik mengenai eksistensi keberadaannya maupun mengenai hak-hak yang yang melekat pada masyarakat hukum adat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 (amandemen) menyatakan bahwa:

“Negaramengakuidan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Pengakuan eksitensi hukum adat tanpa adanya kondisional sebelumnya telah tercantum di dalam penjelasan Pasal 18 angka II UUD 1945, sebagai berikut: “Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende

landschappen dan volksgemeenshappen seperti desa di

Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerahdaerah itu akan mengingat hak asal usul daerah itu. Salah satu

bentuk pengakuan terhadap masyarakat hukum adat adalah

ditetapkannya         sebagai          subyek

95


hukum, sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pengkajian undang-undang terhadap UUD 1945. Namun demikian konsepnya masih terlalu umum dan yang memerlukan penjelasan lebih lanjut[10]· Pasal 28I ayat (3) berbunyi: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional

dihormati               selaras                dengan

perkembangan zaman dan peradaban.”

Dalam pasal ini diakui adanya

kebudayaan sebuah kelompok masyarakat, walaupun belum jelas masyarakat mana yang dimaksud. Ketika pasal ini dihubungannya dengan Pasal 18 B ayat 2 maka ada kemungkan bahwa yang dimaksud

dengan masyarakat tradisional dalam Pasal 28 I ayat 3 adalah masyarakat hukum adat dengan hak tradisionalnya.

Masyarakat          hukum         adat

menurut       UU         No.        32        tahun

2009 tentang        perlindungan        dan

pengelolaan lingkungan hidup, Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial,dan hukum. Masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara unsur-unsur untuk adanya pengakuan sebagai berikut.

1.   Masyarakatnya       masih       dalam

bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap).

2.    Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.

3.    Ada wilayah hukum adat yang jelas.

4.    Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati.[11]

2.  Prinsip Perizinan Pemanfaatan Hutan Masyarakat Hukum Adat.

Dalam hukum perizinan yang menjadi tugas utama pemerintah dalam mewujudkan tujuan negara salah satunya melalui pelayanan publik dan turut sertanya pemerintah dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan semakin meningkatnya pembangunan di berbagai bidang

96


sektoral makan ikut campurnya pemerintah pun semakin aktif dan intensif dalam berbagai segi kehidupan masyarakat.[12]

Menurut N.M Spelt Dan J.B.J.M Ten Berge [13] izin dalam istilah di bagi menjadi 2 antara lain dalam arti sempit di sebut izin sedangkan izin dalam arti luas yang berarti perizinan ialah suatu

persetujuan dari penguasa berdasarakan undang-undang dan peraturan pemerintahuntuk dalam keadaan tertentu dari ketentuan-ketentuan perundang-undanganan. Lebih lanjut di bedakan dengan bentuk perizinan yang di kemukan

oleh Tatiek Sri Djatmiati mengemukakan bahwa perizinan

dapat berupa pendaftaran, rekomendasi, sertifikat, menentukan kuato dan izin untuk melakukan kegiatan usaha[14]. A.M Doneer

menyatakan perizinan (vergununningen) yang dibedakan menjadi tiga kategori yaitu lisensi, dispensasi dan konsentrasi.[15]

Prajudi                        Atmosudirjo

menyatakan bahwa izin (vergunning) adalah penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




Undang-Undang.   Pada    umumnya

Pasal Undang-Undang yang bersangkutan berbunyi “dilarang

tanpa izin dan seterusnya”. Selanjutnya larangan tersebut diikuti dengan perincian syarat-syarat, kriteria dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk

memperoleh dispensasi dari larangan, disertai dengan penetapan prosedur dan petunjuk pelaksanaan kepada pejabat-pejabat administrasi negara yang bersangkutan.[16] Adapun mengenai tujuan perizinan menurut Prajudi Atmosudirjo yang secara umum dapat di uraikan sebagai berikut:

1)   Keinginan mengarahkan ( mengendalikan “ sturen” ) aktivitas aktivitas tertentu.

2)     Izin mencegah bahaya dari lingkungan

3)     Keinginan-keinginan melindungi objek tertentu.
4)     Izin hendak membagi bagi benda yang sedikit.

5)     Izin memberikan pengarahan dengan menyeleksi orang-

orang dan aktivitas-aktivitas[17].

97


Penguasaan sumber daya alam Indonesia selalu terikat dan tidak dapat dilepaskan dari ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menjadi landasan konstitusional mengenai penguasaan negara atas sumber daya alam. Frasa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menjadi frasa doctrinal yang menjadi landasan filosofis dan yuridis dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia.

Penguasaan oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam konteks konstitusi secara mandiri tanpa adanya tafsiran atas pasal tersebut memang menjadi kelemahannya dari Pasal 33 ayat 3 tersebut. Pasal tersebut memang tidak dibuat untuk memberikan batas-

batas yang rinci mengenai bagaimana konsep penguasaan

negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal inilah yang kemudian banyak terbentuk suatu




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




undang-undang yang melenceng dari penguasaan negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 sebelum diamandemen bahwa prinsip penguasaan negara dan perusahaan

(produksi) didasarkan pada kolektifitas, yaitu dikerjakan oleh semua, dibawah pimpinan atau anggota-anggota masyarakat yang pada diakhirnya ditujukan guna mewujudkan kemakmuran rakyat[18].

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD NKRI 1945 secara sederhana dapat diuraikan beberapa

unsur          yang           menjadi          dasar

penguasaan dan pengusahaan sumber daya alam yaitu unsur :

1.    sumber daya alam dikuasai negara, terutama cabang-cabang produksi yang menguasai hidup orang banyak

2.    cabang-cabang produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau

pemilikan anggota-anggota masyarakat

3.    dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran orang perorang[19].

98


Mahkamah Konstitusi pun melalui Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 memberikan tafsir atas frasa “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945: “Perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya”, termasuk

pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandate kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan

(bestuursdaad),                         pengaturan

(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Di bidang kehutanan sesuai Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa semua hutan di dalam wilayah




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara

memberi wewenang kepada pemerintah untuk:

a.   mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan

b.   menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan

c.   mengatur         dan         menetapkan

hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Berdasarkan                    peraturan

perundang-undangan tersebut, makna dikuasai negara secara jelas

memberikan batasan terhadap perbuatan dan hubungan hukum yang dapat dilakukan oleh negara. Penguasaan oleh negara secara utilitas berdampak pada kemakmuran rakyat sehingga penguasaan oleh negara harus berkausalitas dengan kemakmuran, walau pengusaan

99


dilakukan oleh negara namun apabila

penguasaan tersebut tidak memberikan kemakmuran maka penguasaan tersebut tidak sesuai

dengan penguasaan yang diamanahkan dalam Pasal 33 UUD 1945[20].

Berdasarkan Putusan Nomor 35/PUU-X/ 2012 yang menjelaskan

bahwa Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian Judicial Review Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang diajukan oleh masyarakat adat nusantara. Putusan MK menegaskan hutan adat bukan merupakan hutan negara. Hal ini di karenakan negara dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI 1945 pasal 18 B ayat (2) mengenai eksistensi penghormatan terhadap hak- hak masyarakat adat. Dalam hal ini negara tidak memiliki kekuasaan hukum untuk menjadikan hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat menjadi hutan negara. Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Kehutanan juga bertentangan dengan UUD NRI 1945




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




sepanjang tidak dimaknai penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup

dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip negara yang di atur dalam Undang-Undang. Padal 5 ayat 1 dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap[21].

Undang-Undang Otsus papua Pasal 43 menjelaskan bahwa pemerintah provinsi wajib mengakui,

menghormati,                            melindungi,

memberdayakan                                           dan

mengembangkan hak-hak masyarakat adat yang berpedoman kepada peraturan hukum yang

berlaku. Selanjutnya Undang Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 67 Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-

hari         masyarakat           adat          yang

bersangkutan,         dan          melakukan

kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan

100


dengan undang-undang serta mendapatkan pemberdayaan dalam

rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui

keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Sesuai dengan asas

penyelenggaraan                           kehutanan

sebagaimana dituagkan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung gugat maka konsepsi penguasaan oleh negara

menjadi jiwa dari asas-asas penyelenggaraan kehutanan tersebut. Penguasaan oleh negara tersebut
berkaitan         dengan          pemahaman

mengenai prinsip kepemilikan. Pengusahaan hutan leh negara bukan merupakan pemilikan oleh negara.

Kemakmuran rakyat harus menjadi keharusan dalam setiap




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




penguasaan dan pengusahaan sumber daya alam Indonesia sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Konteks penguasaan sumber daya alam harus mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi seluruh rakyat Indonesia yang merupakan

bagian terpenting daripada penguasaan sumber daya alam. Kesejahteraan bukan berarti bahwa sumber daya alam harus dieksploitasi dan menghasilkan secara ekonomis akan tetapi sumber daya alam yang merupakan titipan anak cucu harus memberikan manfaat untuk jangka panjang keberadaannya sehingga manfaat yang diterima merupakan manfaat tidak hanya intergenerasi namun juga manfaat antar generasi. Kemakmuran rakyat dalam dimensi falsafat dalam perspektif pemikiran Jeremy Bentham dengan teorinya mengenai utilitarisme yang tidak lazim digunakan dalam menganalisis kemanfaatan melalui kaca filsafat. Menurut teori ini perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa tidak pantas

disebut baik. Bentham berpendapat[22]:

101


Nature has placed mankind under the governance of two sovereign masters, pain and pleasure. It is for them alone to point out what we ought to do, as well as to determine what we shall do. On the one hand the standard of right and wrong, on the other the chain of causes and effects, are fastened to their throne. They govern us in all we do, in all we say, in all we think: every effort we can make to throw off our subjection, will serve but to demonstrate and confirm it. In word a man may pretend to abjure their empire: but in reality he will remain. Subject to it all the while. The principle of utility recognizes this subjection, and assumes it for the foundation of that system, the object of which is to rear the fabric of felicity by the hands of reason and of law. Systems which attempt to question it, deal in sounds instead of sense, in caprice instead of reason, in darkness instead of light.”

Berdasarkan pernyataan Bentham tersebut alam telah

menempatkan umat manusia dibawah kendali dua penguasaan, rasa sakit (pain) dan rasa senang




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




(pleasure). Hanya keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya manusia lakukan, dan menentukan apa yang akan manusia lakukan. Standar benar dan salah disatu sisi, maupun sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan tersebut. Terkait dengan prinsip

utilitas Bentham mendasarkan keseluruhan filsafatnya pada dua

prinsip yaitu prinsip asosiasi (association principle) dan prinsip

kebahagiaan terbesar (greates happiness principle). Prinsip asosiasi berakar pada psikologi tentang adanya reflex yang dikondisikan.

Dalam konteks ini Bentham menunjukkan bahwa hukum memiliki kemampuan sebagai stimulus untuk

mengondisikan ide-ide tentang kebaikan[23]. Sedangkan prinsip

kedua yaitu prinsip tentang kebahagiaan terbesar.

Kesenangan atau kemanfaatan sebagaimana dimaksud diatas dapat diraih dengan ukuran

akibat (konsekuensi). Dengan demikian hukum yang baik adalah hukum yang bisa memberikan akibat yang paling bermanfaat atau menimbulkan kebahagiaan terbesar

102


untuk jumlah orang terbesar (the greatest happiness of the greatest number). Kebahagiaan tersebut muncul tidak lepas dari fungsi hukum itu sendiri. Menurut Bentham “All the functions of law may be referred to these four heads: to provide subsistence; to produce abudance; to favour equality; and to maintain

security.” selanjutnya dalam memaknai hukum, menurut Bentham hukum yang merupakan sekumpulan tanda (assemblage of sign)[24]. tanda yang dimaksud oleh bentam adalah ungkapan kehendak (the expression of will) yang muncul dari kehendak yang di pahami dan di serap oleh penguasa negara.

lebih lanjut Bentham menyatakan bahwa: “A law may be defined as an assemblage of sign declarative of a volition conceived or adopted by the sovereign in a state, concerning the conduct to be observed in acertain case by a certain person or class of persons, who in the case in question are or are supposed to be subject to his power: such
volition trusting for its accomplishment to the expectation of certain events which it is intended




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




such declaration should upon occasion be a means of bringing to pass, and the prospect of which it is intended should act as a motive upon those whose conduct is in question”[25].

Menurut Bentham hukum diartikan sebagai suatu tanda (sign) dari kehendak (volition) yang harus dinyatakan oleh penguasa dalam bentuk tertentu, sehingga setiap orang dapat bertindak sesuai dengan hukum yang telah diungkapkan tersebut. Sebagaimana pendapat Bentham[26]:

According to this definition, a law can be considered in eight different respect. (1) In respect to its source: that is in respect to the person or persons of whose will it is the expression. (2) In respect to the quality of its subjects: by which I mean the person and things to which it may apply. (3) In respect to its object: by which I mean the act, as characterized by the circumstances, to which it may apply. (4) In respect to its extend, the generality or the amplitude of its applications: that is in respect to the determinateness of the persons whose conduct it may seek

103


to regulate. (5) In respect to its aspect: that is in respect to the various manners in which the will whereof it is the expression may apply itself to the act and circumstances which are its object.

(6)    In respect to it force: that is, in respect to the motives it relies on for enabling it to produce the effect it aims at, and the laws or other means which it relies on for bringing those motives into play: such laws may be styled its corroborative appendages.

(7)  In respect to its expression: that is in respect to the nature of the sign by which the will whereof it is the expression may be made known. (8) In respect to it remedial appendages, where it has any: by which I mean certain other laws which may occasionally come to be subjoined to the principal law in question: and of which the design it to obviate the mischief that stands connected with any individual act of the number of those which are made efficacy of the subsidiary appendages to which it stands indebted for its force”.

Menurut  Bentham  terdapat  8

pertimbangan sebagaimana di uraikan diatas yang ada dasarnnya




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




tidak hanya menaruh perhatian pada

pembentukan              hukum              yang

merupakan tanda ungkapan kehendak dan perintah penguasa yang berdaulat, namun Bentham sebagai penganut teori kehendak dalam hukum ( the will theory of law) juga menyakini bahwa penerapan hukum akan sangat berpengaruh dalam menentukan kualitas dari hukum yang di hasilkan. untuk itulah kehendak harus di upayakan datang dari berbagai unsur masyarakat tanpa terkecuali, sehingga dapat dihasilkan apa yang disebut dengan kesatuan

kehendak (unity of wiil) yang selanjutnya oleh penganut teori kehendak di sebut dengan the unity of enforcement entails the unity of will.

Pemikiran bahwa utilitarianisme menganut konsep konsekuensionalis, artinya setiap perbuatan dilihat dari sebab akibat secara moral sebagai dampak dari perbuatan tersebut, tentunya akibat yang paling bermanfaat merupakan perbuatan yang baik.

Prinsip utilitarian yang di kemukana bentham antara lain sebagai berikut:

104


“ an action is right from an ethical point of view if and only the sum total of utilities produced by that act is greater than the sum total of utilities produced by any other act the agent could have performed in its place.”

Bentham membagi utilitarianisme menjadi 2 jenis, yaitu

utilitarianisme tindakan (act utilitarianism) dan utilitarianisme aturan ( rule utilitarianism), untuk

membedakankeduajenis

utilitarianisme Peter Prevos menjelaskan

in act utilitarianism, we are required to promote those acts which will result in the greatest good for the greatest number of people. the consequences of the act of giving money to charity would be considered righat in act utilitarianis, because the money increases the happiness of many people, rather that just yourself. to see the utility of an action as only a criterion for

rightnes is to regard the maximisation of utility as what make an action right. This leaves open the question of how one is to incorporate utilitarianism into one’s life. Rule utilitarianism is a r resction to that




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




objection. The principle of utility ini rule utilitarianism is a reaction to that objection. The principle of utility in rule ulitarianism is to folow those rules which will result in the greatest good for the greatest number of people. In the example above, the general rule would be:’Share your wealth’. Utilitarianism holds that whatever produces the greatest utility (pleasure or any other such value as defined and justified by the utilitarian) is good and that which produces the greatest nett utility, is considered right. Both theories count as utilitarian because both define that which produces the greatest utility as good and seek for the greatest nett amount of utility, be it either through actions or indirectly through rules. One objection to rule-utilitarianism is that in some situations the utility of breaking a certain rule could be greater than keeping it. It is, for example, not difficult to imagine that a rule-utilitarian who lives by the rule ‘Tell the truth’, sometimes will find him or herself forced to lie in order to increase utility.[27]

Secara umum utilitarianisme tindakan ditekankan pada tindakan

105


yang harus dipilih dari dua atau lebih

pilihan yang paling mampu mendatangkan kebahagiaan yang maksimal. Sedangkan utilitarianisme aturan lebih menekankan pada perihal norma yang harus diikuti dengan asumsi bahwa norma yang akan diikuti tersebut memiliki kemanfaatan yang paling besar terhadap masyarakat.

Menurut John Stuart Mill, moral harus diharmonisasikan dalam dua prinsip yaitu: (1) each person ought to act to maximize individual happiness and (2) each person ought to act to maximize the collective happiness of everyone. Berdasarkan hal tersebut, John Stuart Mill berpendapat bahwa utilitarianisme tidak mensyaratkan agar setiap orang mencari “general good” di

setiap                perbuatan,                namun

maksimalisasi                           kebahagiaan

individual dan maksimalisasi kebahagiaan kolektif pada setiap orang menjadi dasar tindakan seseorang.

Pemikiran Bentham dan John

Stuart Mill tersebut dalam pelaksanaan pengelolaan kehutanan sangat relevan digunakan sebagai




Jurnal Meta Yuridis Vol. 3 No (1) Maret 2020




landasan pemikiran filosofi dan teoretis. Pemikiran Bentham yang

sangat mengedepankan suatu kemanfaatan dari suatu pengaturan (hukum) akan berkorelasi dengan tujuan bangsa Indonesia dalam aspek pengelolaan sumber daya alam sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 yang menjadikan sumber daya alam digunakan sebagai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Prinsip “the greatest happines of the greatest number” merupakan pokok pemikiran Bentham yang sangat relevan dalam kondisi

Pemerintah Indonesia yang membuka pintu pengusahaan pada sektor kehutanan. Dengan demikian, akan dilihat apakah pengusahaan dibidang kehutanan tersebut akan

memberikan                            kemanfaatan

(kesenangan) yang sebesar-besarnya bagi mayoritas rakyat

Indonesia sebagai pendapat Bentham tentang “the greatest happines of the greatest number”. [28]

Kesenangan (kemanfaatan) yang dimaksud Bentham merupakan kemanfaatan yang terpositifkan dalam suatu peraturan (hukum) yang memiliki empat fungsi yaitu: “to provide subsistence; to produce abudance: to favour equality; and to maintain security”. Dari fungsi hukum menurut Bentham tersebut, apabila dikaitkan dengan pengusahaan kehutanan         dapat          memberikan “penghidupan”, “kesejahteraan”, “kesetaraan”, dan “keamanan”. Melalui fungsi hukum yang dikemukakan oleh Bentham akan dilihat apakah pengusahaan kehutanan secara umum dapat memberikan           mata            pencarian (penghidupan), kesetaraan, kemakmuran, dan keamanan.
Kebahagiaan/kemakmuran yang dimaksud Bentham dan John Stuart Mill dapat dilihat secara filsafati mengenai pengusahaan sumber daya alam digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran rakyat sebagai tujuan dari pengusahaan sumber daya alam menjadi sangat penting karena sumber daya alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa menjadi komoditas yang wajib memberikan manfaat bangsa rakyat Indonesia[29].

PENUTUP ....




DAFTAR PUSTAKA





[1]  Arief  Sindharta,  Refleksi  Tentang


Hukum,  Bandung, Citra Aditya Bakti,

1996, hlm 100






[2]   Soewoto Mulyo Soedarmo, Otonomi Daerah Suatu Kajian Historik, Teoritik dan Yuridik Pelimpahan Kekuasaan, Yuridika, 1990, hlm 275

[3]    Philipus M Hadjon, Fungsi Normatif

Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Pidato Peresmiaan Jabatan Gurus Besar Unair 10 okt 1994,yang di kutip dalam bukunya Emanuel

Sojatmoko, Bentuk Hukum Kerjasama Antar Daerah, Surabaya, Revka Petra Media, 2016, hlm 21.

[4]        Siti   Sundari   Rangkuti,   Hukum

Lingkingan dan Kebijakan Lingkungan Nasional, Surabaya,

Airlangga University Press, 2003, hlm 115.

[5]Lilik Pudjiastuti, Prinsip Hukum Pengaturan Perizinan Kefarmasian, Disertasi Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2013, hlm 25.

[6]   Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983, hlm 96.

[7]  Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Banyumedia, 2010, Hlm 93
[8]    Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian hukum, Edisi Revisi, Jakarta, Kencana, 2005, hlm 136.

[9]  Ibid, hlm 177.

[10] Jimly Asshiddiqie dalam buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis. di kutip dalam artikel Riwanto Tirto Sudarmo dkk, Tim

Pengkajian Hukum tentang Perlindungan Masyarakat Adat di

Daerah Perbatasan dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor PHN-30.LT.02.01 tahun 2011, hlm 20

[11] Bekti, Awaludin Gusti Restu,dkk, eksistensi masyarakat hukum adat, makalah,http://ahendrikpangerang.bl ogspot.com/2017/12/makalah-eksistensi-masyarakat-hukum-adat.html diakses pada tanggal 20 februari 2020 pukul 12;45 wib

[12] I Gde Astawa, Hubungan Fungsional Antar Hukum Administrasi Negara Dengan Undang-Undang No 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Dan Pelaksanaannya Dalam

Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Uii Press, Cet Kedua, 2002, hlm 308-309.

[13]   N.M Spelt dan J.B.J.M Ten Berge,

Pengantar Hukum Perizinan, Disunting Oleh Philipus M Hadjon, Surabaya, Yuridika, 1993, hlm 1-2.

[14] Tatiek Sri Djatmiati, Loc.,Cit.,hlm 16.

[15] I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan

HidupDalamMewujudkan

Pembangunan Daerah Yang Berkelanjutan, Bandung, Jurnal

Hukum, Program Pasca Sarjana Unpad, 2006.

[16]Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983, hlm 94

[17]  ibid., hlm 96.

[18] Redi Ahmad, Hukum Sumber Daya Alam Dalam Sektor Kehutanan, Jakarta, Sinar Grafika, 2015, hlm 6

[19]  Ibid.,Hlm 7

[20]  Ibid.,Hlm 13-14.

[21]Lihat dalam isi Putusan Mahkama Konstitusi Nomor 35/PUU-X/ 2012

[22] Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles Of Morals and Legislation, Kitchener, Batoche

Books, 2000,  Hlm 15

[23]Shindarta,     Utilitarianisme,     Jakarta,

Penerbit UPT Universitas Tarumanegara, 2007, Hlm 19

[24]  Jeremy Bentham, Op.,Cit.,hlm 96

[25] M.D.A. Freeman, Lloyds Introduction to Jurisprudence, London, Steven And Sons, 2001, Hlm 187-188.

[26]  Jeremy Bentham, Op.,Cit.,hlm 102 [27]Peter Prevos, Rule and Act

Utilitarianism, Makalah Pada Khursus Ethics, Oleh Monash University Melbourne, 2014.

[28]  Redi Ahmad, Op.,Cit.,hlm 49




Silahkan Klik tautan dibawah untuk penelusuran lebih luas : ......

http://sinta.ristekbrin.go.id/home/search?search=1&q=PERIZINAN+SEBAGAI+INSTRUMEN+PEMANFAATAN+HUTAN+MASYARAKAT+HUKUM+ADAT

https://scholar.google.com/citations?user=CA_A13wAAAAJ&hl=en

Terima Kasih

Comments

  1. Bagus bpk sangat pembantu sbg pedoman dan refrerensi utk kerja dilapangan.

    ReplyDelete
  2. amien, terima kasih. Terus berkomunikasi ya .. utk saling berbagi pengetahuan

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jurnal PERLINDUNGAN HUKUM WARALABA SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA ( Hartanto & Erna Tri R R )

( Buku Monograf) PERSPEKTIF KEADILAN DAN KESEIMBANGAN PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK