( Buku Monograf) PERSPEKTIF KEADILAN DAN KESEIMBANGAN PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
https://isbn.perpusnas.go.id/Account/SearchBuku?searchCat=Judul&searchTxt=PERSPEKTIF+KEADILAN+DAN+KESEIMBANGAN+PADA+UNDANG-UNDANG+NOMOR+19+TAHUN+2016+TENTANG+INFORMASI+DAN+TRANSAKSI+ELEKTRONIK+
FB hartanto uwm
PERSPEKTIF
KEADILAN DAN KESEIMBANGAN PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG
INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Penulis :
Hartanto, S.E., S.H., M.Hum
Editor :
Muhamad Rusdi
Disain sampul, Setting :
Aji
x, 54 hlm, 15,5 x 23 cm
Cetakan pertama, Desember 2019
monograf
Diterbitkan pertama kali dalam
bahasa Indonesia oleh
Penerbit C. Kanca Baba Adirasa
Babadan
617, RT 23, RW 17, Plumbon, Banguntapan, Bantul, 55198
0817 9609339
redaksikanca.publishing@gmail.com
ISBN :
978-623-92153-4-7
Hak Cipta Dilindungi
Undang-Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis
ini dalam bentuk dan dengan
cara apapun, tanpa izin tertulis
dari penulis
Perpustakaan Nasional: Katalog
Dalam Terbitan (KDT)
KATA
PENGANTAR
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, baik dari sisi kecepatan maupun
kemudahan dalam mengakses internet, telah menginspirasi dunia bisnis untuk
memanfaatkanya sebagai media utama dalam pemasaran produk dan jasa.
integrasi konektivitas antara internet dengan jejaring sosial (jejaring media
sosial dalam teori realitas sosial siber) memudahkan konsumen untuk mengetahui produk toko online melalui media online yang ada. Para penjual online dapat memengaruhi keputusan konsumen
dalam memilih produk yang ditawarkan dengan melakukan promosi khusus.
Problematika
muncul setelah adanya semangat perlindungan konsumen, hal ini dapat di lihat
bahwa dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
tidak mengatur sanksi bagi konsumen yang melakukan tindak pidana terhadap
produsen/penjual. Pembuat Undang-Undang membuat konstruksi kalimat/ frasa mengakibatkan
“kerugian konsumen”, merupakan ketidak seimbangan, mengingat dewasa ini yang
dapat melakukan tindak pidana tidak hanya produsen, melainkan juga para
konsumen yang memang memiliki itikad tidak baik, maka dalam Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang menitikberatkan
perlindungan kepada konsumen dalam porsi yang lebih besar justru merupakan
kriminalisasi berlebihan kepada produsen/ penjual, kriminalisasi harus
dilakukan secara hati-hati, sehingga menimbulkan kesan represif yang melanggar
prinsip keadilan, karena kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan
berpengaruh pula pada mindset penegak
hukum dalam penyidikan maupun
penuntutan dalam hukum pidana formil.
Berkembangnya
dunia bisnis menjadi semakin komplek dan dinamis, maka tidak tepat menggunakan doktrin
lama bahwa konsumen selalu pada posisi lemah, karena faktanya banyak konsumen
dalam hal ini sebagai pelaku kejahatan yang memiliki kemampuan menggunakan
media sosial yang lebih cakap dari produsen/penjual, sehingga rekonstruksi
terhadap Pasal 28 ayat (1) kedepannya diharapkan memberikan keadilan dan kesimbangan
pada posisi konsumen dan produsen/ penjual.
A. Latar Belakang
Perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, baik dari sisi kecepatan maupun
kemudahan dalam mengakses internet, fenomena ini menginspirasi dunia bisnis
untuk memanfaatkanya sebagai media utama dalam pemasaran produk dan jasa.
Beberapa keunggulan yang dimiliki internet terutama dari segi efisiensi mampu
mengubah cara menjual dan membeli. Ini jualah yang telah mempengaruhi perilaku
membeli konsumen dari yang dulunya bersifat offline menjadi online,
tidak terkecuali di Indonesia. Peralihan perilaku membeli ini pulalah yang
menyebabkan fenomena destructive innovation di pusat-pusat belanja di
beberapa kota di Indonesia, terlihat dari sepinya pembeli dan tutupnya
toko-toko pasa pusat-pusat belanja tersebut.[1]
Adanya integrasi konektivitas antara
internet dengan jejaring sosial (jejaring media sosial dalam teori realitas
sosial siber) memudahkan konsumen untuk
mengetahui produk toko online yang ada. Para pemilik toko online dapat
memengaruhi keputusan konsumen dalam memilih produk yang ditawarkan dengan
melakukan promosi khusus. Setiap promosi hanya bisa diakses oleh konsumen
tersebut sehingga ia dapatmelihat dan memilih sesuai dengan ke-butuhan mereka
dan berakhir dengan proses pembelian. Pemanfaatan internet sebagai media
pemasaran tentunya dapat meningkatkankeputusan pembelian yang dilakukan oleh
konsumen. Semakin ketat persaingan bisnis online,
konsumen akan lebih banyak memiliki referensi bisnis yang akan dipilih untuk
memenuhi kebutuhan, baik barang ataupun jasa[2]
Ada
beberapa faktor yang dapat memengaruhi
keputusan pembelian, seperti faktor-faktor yang dikemukakan menurut Kotler dan Keller) antara lain
sebagai berikut[3].
1) Faktor budaya terdiri atas
budaya, subbudaya, dan kelas sosial
2) Faktor sosial terdiri atas
kelompok referensi, keluarga, peran, dan status
3) Faktor pribadi terdiri atas
usia, pekerjaan, keadaan ekonomi, kepribadian, dan gaya hidup
4) Faktor psikologis terdiri
atas motivasi, persepsi, pembelajaran, dan memori
Perlindungan
konsumen merupakan hal yang terkaitan ekspansi dunia usaha yang menglobal.
Semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat globalisasi ekonomi harus
tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu,
jumlah, dan keamanan barang dan atau jasa yang diperoleh di pasar. Untuk
meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi
dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab[4]
Problematika muncul
setelah adanya perlindungan konsumen, hal ini dapat dapat di lihat bahwa dalam
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tidak menuraikan secara jelas mengenai sanksi
bagi konsumen yang melakukan tindak pidana, akan tetapi di kenakapan ketentuan
umum apabila konsumen melakukan tindak pidana padahal seperti di ketahui
bersama bahwa ini merupakan pidana khusus sehingga tidak tepat mengunakan hukum
pidana secara umum, mengacuh pada asas hukum lex spesialis drogat legi
generalis yang artinya hukum yang khusus mengenyampingan hukum yang umum, ini
menunjukan penegakan hukum yang di lakukan dengan mengunakan ketentuan umum
bagi konsumen yang melakukan tindak pidana sudah menciderai asas hukum pada
umumnya. Penulis
menduga semangat dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen ini menciptakan paradigm bahwa konsumen secara mutlak dianggap selalu
pada posisi lemah.
Senin
tanggal 12, bulan September tahun 2019 penulis mendapatkan kesempatan untuk
dimintai keterangan sebagai ahli atas perkara penipuan menggunakan media online di Ditreskrimsus Polda DIY,
perkara tersebut dimuat di harian Kedaulatan Rakyat maupun Tribun, baik versi
cetak maupun versi media online.
Judul berita dalam Tribun sebagai berikut: “Polda DIY Ringkus Sindikat Penipuan
Online dari Bandung dengan Nilai Transaksi Rp 107 Juta”[5]
kemudian di SKH Kedaulatan Rakyat “Modus Bukti Transfer Bodong, Pelaku Penipuan
Belanja Online Dibekuk”.[6]
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda DIY Kombes Pol Tony Surya Putra,
mengatakan, bahwa pelaku penipuan online
itu bisa dilakukan oleh komsumennya. Artinya korban bisa menimpa kepada
pembelinya bisa juga produsen/ penjualnya.
Penipuan
dengan modus yang sejenis di diwilayah hukum Polda DIY telah terjadi beberapa
kali, contoh yang diberitakan oleh Tribunnews: “Bermodus Screenshot Palsu Saat
Bertransaksi, Ibu Rumah Tangga Asal Tegal Lakukan Penipuan Online”[7],
harianjogja.com: “:Seorang Ibu Rumah Tangga Ditangkap karena Menipu Toko Online
dengan Bukti Transfer Palsu”[8].
Dalam
beberapa perkara penipuan melalui media online
yang terjadi ini menunjukkan bahwa perkembangan kejahatan dibidang ekonomi
mengikuti perkembangan para pelaku ekonomi, sehingga perilaku jahat juga
berkembang hingga merambah dunia jual-beli online.
Penulis
melakukan pendalaman terhadap permasalahan dengan kajian normatif tentang
perundang-undangan, namun tidak mendapatkan peraturan dalam undang-undang khusus
mengenai pelaku sebagai konsumen dalam penipuan secara “online” ini, disisi
lain dugaan awal penulis, seharusnya aturan mengenai hal ini diatur secara
khusus dalam Undang-Undang khusus.
Keseimbangan
dalam konstruksi Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transkasi
Elektronik Nomor 19 tahun 2016 harus dikaji ulang, hal ini mengacu semangat
dalam pembaharuan hukum pidana, mengutip pendapat Sri Endah Wahyuningsih dalam
Alia Maerani, “Pembaharuan Hukum Pidana nasional berorientasi pada ide
individualiasi pidana sebagai konsekuensi pentingnya pendekatan ke-manusiaan
dalam setiap langkah kebijakan pembangunan nasional yang berlandaskan pada
falsafah Pancasila dan di dalamnya ter-kandung sila kemanusiaan yang adil dan
beradab”.[9]
Kutipan
Pasal 28 ayat (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik, kemudian ancaman pidana dalam Pasal 45A Setiap Orang yang dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000. 000.000,00 (satu miliar rupiah).
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, konstruksi adalah susunan dan
hubungan kata dalam kalimat atau kelompok kata. Makna suatu kata ditentukan
oleh konstruksi dalam kalimat atau kelompok kata[10].
Sedangkan B.N. Marbun dalam Kamus Politik mengartikan rekonstruksi adalah
pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula, penyusunan atau penggambaran
kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau
kejadian semula[11]
Pengguna
internet di Indonesia selalu mengalami peningkatan, berdasarkan data Asosiasi
Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), terjadi peningkatan penggunaan
internet yang signifikan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 2015, APJII
menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta (34% dari
jumlah penduduk), pengguna media sosial 79 juta (31%), dan pengguna ponsel
318,5 juta (125%). Survei APJII tahun 2016 menunjukan sebanyak 132,7 juta orang
di Indonesia telah terhubung dengan internet dan pada tahun 2017 jumlah
pengguna internet meningkat menjadi 143,26 juta[12].
Perkembangan
e-commerce beberapa tahun ini membuat
e-commerce menjadi pasar yang besar
dalam dunia perdagangan. Hasil survei yang dilakukan A.T Kearney[13]
dengan jumlah penduduk yang hampir 240 juta jiwa, pasar e-commerce Indonesia pada tahun 2013 mencapai US$ 1,3 miliar.
Indonesia merupakan pasar potensial bagi bisnis e-commerce, pengguna internet di Indonesia mencapai 39 juta dan
sekitar 5 juta atau 12 % diantaranya menggunakan internet sebagai sarana transaksi. Dalam perspektif yang lain yakini dari
sisi victims orientied, untuk dan
atas nama perlindungan korban, terhadap semua perbuatan yang merugikan korban,
harus dituntut dan dipidana[14]
Penipuan
bisa timbul dari manapun baik dari penjual maupun konsumen. disini ketika
konsumen menipu .hal ini tentu menjadi ancaman bagi setiap usaha online, semakin
banyaknya penjual online yang tidak bertanggungjawab (menipu konsumen) membuat
banyak konsumen yang mulai ragu untuk membeli barang secara online. Untuk
mengatasinya maka pelaku usaha harus dapat meyakinkan konsumen bahwa toko
tempat konsumen berbelanja aman.[15]
Kutipan
berita di new.detik.com berjudul “Robby Si Penipu di Olshop Hidup Mewah dari
Hasil Kejahatan”. Robby Tanuwijaya (37), diduga telah meraup keuntungan yang
besar dari hasil menipu penjual di online shop (olshop). Ia bahkan hidup
bergelimang harta yang diduga berasal dari kejahatannya.[16]
Kasubdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Herry Heryawan mengatakan
bahwa kasus penipuan di olshop ini sudah sangat meresahkan karena sering
terjadi dan korbannya banyak, "Modusnya si pelaku cari korban pedagang di
olshop kemudian diajak ketemuan untuk transaksi. Dia ini mengedit foto m-banking, sesuai dengan harga jual
barang yang disepakati, seolah-olah pelaku telah mentransfer uangnya,"
jelas Herry.[17]
Banyaknya
pengguna media internet untuk melakukan pertukar informasi maupun transaksi
jual-beli/ bisnis telah membawa ruang lingkup baru dalam tuntutan pengaturan
hukum secara sempit yaitu Undang-Undang, dan dalam penelitian ini
dispesifikasikan pada Pasal 45 a ayat (1) dan
Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE yang mencantumkan
kata konsumen, sedangkan kata produsen/penjual tidak ada seakan tidak terlindungi.
Tujuan
teori hukum dalam penelitian ini untuk menjelaskan, menilai kebenaran dan
preskriptip (menyempurnakan nilai, budaya dan norma dimasa yang akan datang)[18],
sehingga penelitian ini yang akan direkonstruksi atau disusun kembali ialah
peraturan perundangan yang mengatur perlindungan hukum bagi produsen atau
penjual jika konsumen atau produsen
melakukan kejahatan menggunakan media elektronik (e-commerce).
Berdasarkan problematika yang ada di latar belakang,
kemudian penulis merumuskan permasalahan:
Bagaimana perspektif keadilan dan keseimbangan pada Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang Informasi dan Transkasi Elektronik Nomor 19 tahun 2016 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ?, lebih lanjut ancaman pidana dalam Pasal 45A yang mengatur bahwa “Setiap
Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000. 000.000,00
(satu miliar rupiah)”.
B.
Metode
Penelitian
Jenis penelitian
dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner,
juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen dengan titik
tolak pada perspektif keadilan dan keseimbangan Undang-Undang Informasi dan
Transkasi Elektronik Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Disebut
penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan
hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis misalnya Undang-Undang atau
bahan-bahan hukum yang lain, sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen
disebabkan penelitian ini banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder
yang ada di perpustakaan”[19] .
Sehubungan dengan tipe penelitiannya yuridis normatif maka pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan hukum yang berlaku di Indonesia (hukum positif).
Suatu analisis pada hakekatnya menekankan pada metode deduktif sebagai pegangan
utama, dan metode induktif sebagai tata kerja penunjang analisis normatif
mempergunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitiannya.[20]
C. Pembahasan
1.
Teori
Keadilan
Kekacauan hukum di negeri ini semakin lama semakin
memprihatinkan, Keadilan semakin tidak mencapai yang dicitakan sebagai tujuan
dibentuknya hukum. Gustav
Radbruch berpendapat bahwa hukum yang baik adalah
ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian dan kemanfatan.[21]
Secara filosofi
pancasila sebagai landasan negara dan idiologi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam sila yang ke 5 memiliki makna dan arti filosofis. Sila
Ke-5 yang berbunyi “Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” memiliki Lambang Padi dan kapas. Pada umumnya nilai
pancasila digali oleh nilai nilai luhur nenek moyang bangsa Indonesia termasuk
nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Karena digali oleh nilai
nilai luhur bangsa Indonesia. pancasila mempunyai kekhasan dan kelebihan,
sedangkan Prinsip keadilan yaitu berisi keharusan/ tuntutan untuk berkesesuaian
dengan hakikat adil. maka manusia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk
menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia Adil dalam sila keadilan sosial ini merupakan
khusus dalam artian adil terhadap manusia yang di dasari dan di jiwai oleh
kebenaran terhadap diri sendiri serta adil terhadap Tuhan. Perbuatan adil
menyebabkan seseorang meperoleh apa yang menjadi haknya dan dasar dari hak ini
ialah pengakuan kemanusian yang mendorong perbuatan manusia itu memperlakukan
sesama sebagai mestinya. Dengan demikian pelaksanaan keadilan selalu bertali
dengan dengan kehidupan bersama, berhubungan dengan pihak lain dalam hidup
bermasyarakat.[22]
Keadilan bagi Plato suatu perbuatan yang baik menolak
undang-undang diskriminatif, dan dengan itu membela keadilan, merupakan subjek
mendapatkan manfaat praktis dari itu atau tidak. Keadilan merupakan nilai yang
harus dibela tanpa harus dilihat apakah pembelaan terhadap keadilan secara
konkret memberi manfaat pada pembelaan atau tidak. Keadilan harus menjadi watak
manusia, orang baik adalah orang yang mampu bertindak adil. Hukum yang harus
ditaati demi keadilan itu bagi dalam hukum alam positif.[23]
Menurut Theo Huijbers, hukum harus terjalin
erat dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil bila suatu hukum
konkrit, yakni undang-undang yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan,
makna hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan hukum
lagi. Undang-undang hanya dapat menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip
keadilan. Adil merupakan unsur konstitusif segalam pengertian tentang hukum.[24]
Hukum dibuat oleh negara
untuk memenuhi rasa keadilan dan menciptakan kesejahteraan bagi warganya. Hal
ini tercermin dalam pembukaan UUD 1945 menggunakan perkataan “Kesejahteraan
Umum”. Pertama-tama negara wajib memajukan kesejahteraan umum dengan
menciptakan suatu basis kemakmuran bagi seluruh rakyat. Kemakmuran dimaksudkan
ialah suatu keadaan dimana kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan wajar secara
mantap atau terus menerus. Di
Indonesia penerapan Welfare State sebagai
bagian daripada tujuan negara artinya tanggung jawab negara terhadap
kesejahteraan warganya. Definisi
sederhana dari negara kesejahteraan adalah Bentuk pemerintahan yang demokratis
itu menempatkan Negara sebagai institusi itu bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan rakyat, melalui serangkaian kebijakan publik di kebijakan ekonomi
dan kebijakan sosial untuk pencapaian kesejahteraan dan keadilan sosial.[25]
Peranan pemeritah kepada kesejahteraan negara sangat luas sehingga membutuhkan
mekanisme yang terkontrol untuk membatasi tindakan pemerintah agar tetap dalam
lingkup tujuan negara dalam konstitusi.
Konsep kesejahteraan negara lebih dipahami sebagai pengaruh terhadap sumber
kesejahteraan pribadi warga negara sebagai bagian modal sosial. [26]
Salah satu karakteristik
konsep negara kesejahteraan adalah kewajiban pemerintah untuk mengupayakan
kesejahteraan umum atau bestuursorg.
Menurut E. Utrecht, bestuursorg ini menjadi suatu tanda yang
menyatakan adanya suatu welfare state.[27] Bagir
Manan mengemukakan bahwa dimensi sosial ekonomi dari negara berdasar atas hukum
adalah berupa kewajiban negara atau pemerintah untuk mewujudkan dan menjamin
kesejahteraan umum dalam suasana sebesar-besarnya kemakmuran menurut asas
keadilan sosial seluruh rakyat. Dimensi ini secara spesifik melahirkan paham
negara kesejahteraan (verorgingstaat,
welfare state).[28]
Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa
Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan, sebenarnya tekad negara
Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan umum bukan monopoli konsep welvarstaat.[29]
Lebih lanjut Sjachran Basah mengemukakan bahwa jika adanya kewajiban
pemerintahan untuk memajukan kesejahteraan umum untuk merupakan ciri konsep
kesejahteraan, Indonesia tergolong sebagai negara kesejahteraan, karena tugas
pemerintah tidaklah semata-mata hanya di bidang pemerintahan saja, melainkan
harus juga melaksanakan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan
negara yang dijalani melalui pembangunan nasional.[30]
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan ditujukan bagi keadilan
yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari
filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan
keadilan”.[31] Sangat
penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam
pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara
kesamaan numerik dan proposional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia
sebagai satu kesatuan. Inilah yang sekarang bisa kita pahami tentang kesamaan
dan yang dimaksud bahwa semua warga adalah sama didepan hukum. Kesamaan
proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan
kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Pembedaan oleh aristoteles
menimbulkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Keadilan
dibedakan menjadi jenis keadilan distributif dan korektif. Keadilan distributif
dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan
hanya bisa dipahami dalam kerangkanya.[32]
Hal yang paling penting
dalam peradilan distributif adalah bahwa imbalan yang sama rata diberikan atas
pencapaian yang sama rata. Kedua, yang menjadi persoalan ialah ketidaksetaraan
yang disebabkan oleh pelangaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.
Keadilan distibutif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika
suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan koreltif
berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika
suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan
kepada pelaku.[33] Sehingga
untuk mencapai suatu keadilan di perlukan adanya jaminan hukum yang di
konstruksi dan di akui oleh negara.
Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi[34],menjelaskan bahwa hukum pidana adat yang tidak dibuat oleh negara atau
political authority masih mendapat tempat dalam pengertian hukum pidana. Hukum
adat tumbuh dan berakar dalam kesadaran dan pergaulan hidup masyarakat.
Kenyataan masih berlakunya hukum adat di Indonesia sampai saat ini tidak dapat
dipungkiri, dengan demikian maka perumusan hukum pidana adalah bagian dari
hukum positif yang berlaku di suatu negara dengan memperhatikan waktu, tempat
dan bagian penduduk, yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai
tindakan larangan atau tindakan keha-rusan dan kepada pelanggarnya diancam
dengan pidana. Menurut penulis keadaan dimana pelaku pelanggaran dapat dibebani
pertanggungjawaban, serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyidikan,
penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang
bertitik berat kepada keadilan. Perumusan ini mencakup juga hukum (pidana)
adat, serta bertujuan mengadakan keseimbangan di antara pelbagai kepentingan
atau keadilan.[35]
Hukum atau keadilan
merupakan suatu kenyataan (sebagai these). Jika seseorang melakukan kejahatan
atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya
hukum (anti these), oleh karna itu harus diikuti oleh suatu pidana berupa
ketidakadilan bagi pelakunya (synthese) atau mengembalikan suatu keadilan atau
kembali tegaknya hukum (these)[36]
Tanggungjawab dalam
hukum pidana yang didasarkan asas legalitas ini menganut faham
monolistik/individualis karena berdasar harus adanya kesalahan, sedangkan untuk
mengikuti perkembangan rasa keadilan dan keberimbangan dalam masyarakat
diharapkan kedepannya tanggungjawab. pidana tertentu dapat diperluas menjadi
monodualis.[37] Theo Huijbers hukum harus
terjalin terjalin erat dengan keadilan, hukum merupakan undang-undang yang adil
bila suatu hukum konkrit yakni undang-undang yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip keadilan, maka tidak dapat di katakan hukum lagi. Selain itu Saint Augustine (354- 439) menyatakan
bahwa “unjust law is no law at all”
(Hukum yang tidak adil bukanlah hukum sama sekali) kata- kata ini menunjukkan
bahwa jika suatu peraturan tidak adil maka peraturan itu bukanlah hukum[38].Hukum dibuat oleh negara
untuk memenuhi rasa keadilan dan menciptakan kesejahteraan bagi wargannya.
Hukum itu mengatur perhubungan antara anggota masyarakat dengan
masyarakatnya. Artinya hukum itu mengatur hubungan antara manusia perseorangan
dengan masyarakat. Karena lapangan Hukum itu luas sekali, menyebabkan Hukum itu
tidak dapat diadakan suatu definisi singkat yang meliputi segalanya. Hubungan
hukum dan moralitas terlihat dari beberapa pertanyaaan sebagai berikut:
a.
Bahwa hukum faktanya hukum mewujutkan
cita- cita moral
b.
Moralitas dan hukum memiliki hubungan
independen
c.
Hukum harus dapat mewujudkan nilai
nilai moral
d.
Bahwa nilai nilai moral memengaruhi
hukum
e.
Hukum secara definisi mewujudkan
moralitas [39]
Penegakan hukum yang lebih luas, bukan hanya
berkaitan dengan tingkah laku para pejabat di wilayah yudisial saja, akan
tetapi juga berkaitan di wilayah eksekutif, administrasi dan
legislatif. Oleh karena itu, moral
pelaksanaan penegakan hukum yang baik, sangat di pengaruhi dati proses
bagaimana hukum itu dibuat dan dijalankan. Pentingnya pemahaman prinsip
penegakan hukum yang berkeadilan dengan pemahaman hak dan kewajiban oleh penentu keputusan dan
kebijakan, merupakan ukuran bagi masyarakat dalam menilai kinerja para pejabat
penegakan hukum, kemudian para penegak hukum harus secara efektif melaksanakan
kontrol sosial secara optimal, dengan harapan kualitas keputusan dan kebijakan
penegak hukum akan terjaga. Tingginya kualitas setiap keputusan para pejabat
penegak hukum yang dapat di ukur jika terpenuhinya prinsip prediktabilitas,
accountabilitas, transparency dan widely participated, prinsip-prinsip
tersebutmampu mengindikasikan tingginya kadar demokrasi di dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Pemahaman prinsip penegakan hukum secara baik, oleh para penegak
hukum dan para pejabat pemerintahan akan mempengaruhi kehati-hatian dalam
bertindak, untuk menjaga kualitas moral-politik dan
moral-legal pada
setiap keputusan-keputusannya. Selain itu masyarakat juga dapat
memberikan tolok-ukur dan menilai apakah badan legislatif, baik di pusat maupun
di daerah, telah menguasai dan mampu melaksanakan gaya moral penegakan hukum
yang baik atau belum. Masyarakat mampu menilai kepatuhan anggota-anggota
badan legislatif pada ketentuan-ketentuan yang ada yang berkaitan dengan mekanisme
dan prosedur yang telah ditetapkan demi terjaganya sistem hukum nasional. Kepatuhan pada
mekanisme dan prosedur sistem yang ada, pada akhirnya akan
menjamin terpenuhinya tuntutan prediktabilitas dan accountabilitas.
Permasalahan injustice
penegakan
hukum merupakan masalah gaya dan
moral pengelolaan proses, yang membutuhkan pemahaman pengertian tujuan dan makna yang
lebih substantif. permasalahan penegakan hukum adalah masalah yang terkait erat dengan kepentingan
masyarakat di suatu negara. Dari
perspektif paham demokrasi, persoalan penegakan hukum merupakan permasalahan publik predictability, publik akuntabilitas, publik transparansi, dan publik partisipasi. Permasalahan gaya moral
penegakan hukum yang baik, jika pemahaman penegakan hukum dimaksudkan untuk mengontrol
kepatuhan prosedural para pejabat pemerintahan dan dijadikan sebagai
norma hukum yang tertinggi, maka harus dipahami bahwa dalam penegakan hukum itu juga terdapat kepentingan dan akses masyarakat mengetahui informasi suatu range of predictability mengenai
tindakan-tindakan para pejabat penegak hukum.
Maka dari itu gaya moral
penegakan hukum yang baik dan relevan dengan kepentingan masyarakat, maka
sangat diperlukan kesadaran masyarakat atas kewajiban dan hak-hak yang dimiliki
untuk memantau dan menilai kinerja para pejabat penegak hukum di badan-badan
eksekutif beserta para pejabat
yang mengisi jajaran birokrasi, sipil atau militer, serta badan-badan
legislatif dan badan-badan yudisial. Kesadaran seperti ini perlu dipahami dan dikembangkan kepada masyarakat sehingga dapat mengevaluasi
berdasarkan tolok-ukur yang ada. Dengan demikian
maka masyarakat dapat mengevaluasi kinerja para pejabat
penegak hukum dan mencegahnya dari tindakan-tindakan yang menyimpang
2.
Teori
Keseimbangan
Pertimbangan dalam
penjatuhan hukum pidana, makan menurut Mackenzie
dalam buku Ahmad Rifai, bahwa dalam mempertimbangkan penjatuhan pidana,
maka dikenal beberapa teori atau pendekatan, diantaranya adalah teori
keseimbangan yang artinya keseimbangan disini adalah keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang kepentingan pihak-pihak yang
tersangkut-paut atau berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan
terdakwa dan kepentingan pihak korban[40] Dalam penelitian ini keseimbangan yang
ditentukan oleh Undang-Undang antara konsumen dan produsen tidaklah imbang,
mengingat aturan mengenai produsen yang melakukan kejahatan diatur, tetapi
ketika konsumen yang melakukan kejahatan tidak diatur (terdapat kekosongan
hukum).
Ketidak
seimbangan menimbulkan ketidakadilan, sehingga dalam Pasal 28 ayat (1) perumusan
kata “ … mengakibatkan kerugian konsumen” pada saat ini sudah tidak memenuhi
rasa keadilan masyarakat, hal ini menunjukkan teori keadilan hukum memiliki
bagian/ penjabaran dalam asas kesimbangan “Equality
Before The Law”.
Asas Equality Before The Law
adalah suatu asas kesamaan menghendaki adanya keadilan dalam arti setiap orang
adalah sama di dalam hukum, setiap orang diperlakukan sama kedudukannya, dalam
Undang-Undang Informasi dan Transkasi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam perspektif
keadilan, tampak ketidaksamaan dalam memandang perlunya perlindungan kepada
konsumen maupun produsen. Persepsi terhadap hukum penting artinya dalam rangka
untuk memahami adil tidaknya hukum, dan ada tidaknya kepatuhan terhadap hukum[41]
Ramly telah mewariskan sebuah buku ‘sederhana’ tetapi sangat berguna:
‘Persamaan di Hadapan Hukum (Equality
Before the Law) di Indonesia’.
Negara
Indonesia bersistem konstitusi atau berdasarkan hukum dasar, sehingga hirarki perundangan, dimana UUD 1945 berada
di puncak piramida sedangkan ketentuan yang lain berada di bawah konstitusi,
sesuai dengan “stufenbau theory” maka Undang-Undang dibawahnya harus sesuai
dengan UUD 1945 sebagai “payung”.
Selanjutnya
keadilan dalam penelitian ini akan dianalisis berdasarkan ajaran prioritas baku
Gustav Radbruch dalam Achmad Ali, seorang filsuf hukum Jerman
mengajarkan konsep tiga ide dasar hukum yang oleh sebagian pakar diidentikan
sebagai tiga tujuan hukum, yaitu: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum[42]
Perlindungan hukum pidana yang lebih melindungi konsumen (pembeli) dalam Undang-Undang
Nomo 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menurut penulis akhirnya
membuat teori Keadilan Hans Kelsen tidak terpenuhi. Menurut Hans Kelsen[43]
dalam perkuliahan program Doktor S3 Unissula tatanan hukum yang dapat
mermberikan keadilan adalah tatanan hukum yang positif, yaitu tatanan yang
dapat bekerja secara sistematis. Keadilan adalah yang sudah tertuang dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dalam UU ITE tersebut, unsur
keadilan belum terpenuhi karena masih menerapkan perlindungan yang
menitikberatkan pada konsumen (pembeli). Hukum ditaati karena hukum berisi
peraturan negara, yang tidak bertentangan dengan peraturan dasar peraturan
dasar adalah peraturan tertinggi yang harus diikuti oleh peraturan dibawahnya.
3.
Teori
Sistem Hukum
Teori Sistem Hukum
menurut Lawrence M.Friedman mengandung komponen-komponen yaitu struktur,
substansi dan budaya hukum[44] Yang termasuk dalam Struktur Hukum adalah
institusi/lembaga yang diciptakan oleh sistem hukum salah satu diantara
institusi tersebut Yang termasuk dalam Struktur Hukum adalah institusi/lembaga
yang diciptakan oleh sistem hukum salah satu diantara institusi tersebut adalah
peradilan dengan berbagai perlengkapannya. Substansi meliputi peraturan hukum,
budaya meliputi nila dalam ada dalam masyarakat yang menjadi dasar dari hukum.
Teori sistem hukum terdapat substansi hukum untuk melakukan kajian menjawab
rumusan masalah penelitian ini, karena masih ketimpangan dari salah satu
komponen sistem hukum yaitu pada pada UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Teknologi dan meski sudah diperbaharui dengan UU No. 19 tahun 2016 tentang
ITE.
Lon Fuller menekankan
pada isi hukum positif. Untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus
dicermati apakah ia memenuhi delapan azas atau principles of legalit, yaitu:[45]
a. Sistem hukum harus
mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekadar
keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc;
b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan; c. Peraturan
tidak boleh berlaku surut;
d. Peraturan-peraturan
disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti;
e. Suatu sistem tidak
boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
f. Peraturan-peraturan
tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;
g. Peraturan tidak
boleh sering dirubah-rubah;
h. Harus ada
konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya
sehari-hari.
Hukum sebagai tatanan
(order) merupakan realitas dinamis. Baik secara alamiah maupun atas rekayasa
kesengajaan manusia, pasti berubah dari waktu ke waktu[46],
hal ini sesuai dengan semangat Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang ITE,
yang mencantumkan perlindungan terhadap konsumen tetap kurang mempertimbangkan
bahwa kejahatan yang dilakukan konsumen sangat banyak terjadi, dan belum
diaturnya rumusan norma dalam Pasal di dalam undang-undang tersebut menimbulkan
kekosongan hukum.
4. Asas Hukum Berdasarkan Pancasila
Asas hukum mempunyai
sifat dinamis (kuantitatif), berubah sesuai dengan perubahan serta perkembangan
hukum; memungkinkan dintentukan pengecualian-pengecualian (de uitzondering bevestigt de regel); asas yang bersifat abstrak
dan yang sudah lebih konkrit.[47] Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum harus dijabarkan sesuai dengan pendapat
Hans Kelsen, maka undang-undang yang memuat kesamaan dimuka hukum juga tertulis
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan semua warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum, yang merupakan penjabaran dari sila ke 5
Pancasila, yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Kata persamaan di mata hukum bukan hal yang baru dalam hukum acara pidana
di Indonesia, seperti yang tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 Undang – Undang
Dasar tahun 1945 yang artinya warga Negara Indonesia baik masyarakat biasa,
warga asing ataupun pejabat sekalipun di hadapan hukum di anggap sama tidak
membedakan satu sama lain dan tidak ada perlakuan yang khusus terhadap orang
yang berkuasa atau yang mempunyai uang banyak, jadi asas ini ingin
mengimplementasikan Hak Asasi Manusia (Human
Rights) dan keadilan hukum yang akan di peroleh setiap warga Negara
Indonesia[48].
Sri
Endah Wahyuningsih, mengutip Roselan Saleh, bahwa Asas-asas hukum yang sudah diakui atau
dikembangkan sebagai Asas Hukum Nasional, terutama dalam rangka mengantisipasi
perkembangan dan perubahan masyarakat Indonesia manupun masyarakat dunia, oleh
karena itu pengembangan asas-asas hukum nasional harus berorientasi ke masa
depan (futurologis-sistemik-holistik).[49]
Hal ini menunjukkan bahwa asas dalam UU No. 19 tahun 2016 tentang ITE, harus
direvisi/ direkontruksi agar tidak menggunakan konstruksi umum pada saat
Undang-Undang ini dibuat sehingga posisi produsen/ penjual yang dominan
dipersalahkan, namun juga mempertimbangkan perkembangan mulai banyaknya pembeli
(konsumen) yang memanfaatkan media sosial untuk berbuat kejahatan.
5.
Teori
Pemidanaan
Negara
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Hukum, yang secara tegas tercantum dalam penjelasan pasal
1 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sebagai
negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan
ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya.
Di Negara Indonesia yang menjadi asas hukum pidananya
adalah semboyan yang berbunyi : “ Nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali “ yang artinya, tindak pidana tidak dapat dihukum kalau
belum ada undang – undangya lebih dahulu. Semboyan tersebut berasal dari Von
Feuerbach, dimaksudkan untuk melindungi warga Negara dari tindakan sewenang –
wenang penguasa (hakim). Semboyan tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),
yang menyatakan: “Tiada suatu perbuatan/ tindakan yang dapat dihukum, melainkan
atas kekuatan aturan pidana di dalam undang -undang yang ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan
itu“. Istilah “undang-undang“ di sini harus
diartikan secara luas, yaitu termasuk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh yang berwajib (misalnya:
peraturan daerah yang mengandung ancaman hukuman). Ketentuan di dalam Pasal 1 ayat 1 itu bermakna
dua :
1.
Sebagai kepastian, bahwa undang – undang hanya
berlaku untuk ke depan dan tidak berlaku surut.
2.
Sebagai kepastian, bahwa sumber hukum pidana tiada
lain dari Undang – undang (di dalam arti luas).
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP
(Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) di atas dikecualikan di dalam yang tersebut
dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) yang berbunyi :
“Jika terjadi perubahan dalam peraturan hukum sesudah waktu dilakukan perbuatan
itu, maka dipakailah ketentuan yang lebih baik/ ringan bagi tersangka“.[50] Syarat suatu Undang-undang :
1.
Rumusannya harus jelas, cermat (Asas Lex Certa),
artinya Pasal- Pasal Undang-Undang ( UU ) tersebut tidak boleh menimbulkan
penafsiran ganda.
2. Batasan wewenang
terhadap rakyat (oleh penguasa harus tajam (Pasal 1 ayat 1 KUHP (Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana) dan Pasal 3 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Sifat
perundang-undangan
Pidana
1. Melindungi rakyat dari tindakan pemerintah tanpa batas
atau sewenang – wenang.
2. Punya fungsi instrument dalam melaksanakan pemerintahan,
mana yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. segi timbul atau
dicetuskannya Asas Legalitas
3. Untuk melindungi rakyat (dari kesewenang- wenanganan penguasa Untuk melindungi penguasa dari
rakyat (Pasal 104, 154 KUHP ( Kitab Undang- Undang Hukum Pidana). Ajarannya: Von Psichologische Zwang (Paksaan
Psikologis) yang berarti bahwa :
a) Untuk memaksa rakyat berbuat menurut hukum, maka diberi
ancaman bagi yang melawan.
b) Agar ancaman pidana efektif dan ada efeknya, tiap – tiap
pelanggaran pidana harus dipidana.
c) Dalam penerapan pidana berlaku asas “ Kesamaan “ artinya
dalam keadaan yang sama diperlakukan sama.
Rumusannya :
1) Noela Poena Sine Lege = tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang
– undang.
2) Noela Poena Sine Crimine = tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
3) Nullum Crimen Sine Poena Legali = tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang
– undang.25
Negara
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Hukum dimana negara indonesia
menjamin kepastian hukum dalam memberikan proses keadilan dengan cara
menuangkan semua bentuk ketentuan pidana dalam perundang undangan. Pemidanaan
bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi
dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan
“pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.[51]
Pemidanaan sebagai
suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan
terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi
si terpidana, korban, dan juga masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga
teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat
tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut
melakukan kejahatan serupa.
Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai upaya
pembalasan dendam, namun yang paling penting ialah sebagai upaya pemberian
bimbingan dan pengayoman. Pengayoman kepadamasyarakat sekaligus kepada
terpidana sendiri agarmenjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang
baik. Demikianlah konsepsi baru
mengenai pemidanaan bukan lagi sebagai penjeraan berlaka namun sebagai upaya
rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi tersebut di Indonesia disebut
sebagai sistem Pemasyarakatan[52]
Sistem
pemasyarakatan diatur dalam
UU RI No.12 tahun
1995 tentang Pemasyarakatan. Adapun
pengertian sistem pemasyarakatan menurut
UU RI
No.12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan tersebut
sebagai berikut:“Sistem
pemasyarakatan adalah suatu
tatanan mengenai arah
dan batas serta
cara pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan pancasila
yang dilaksanakan secara terpadu
antara pembina, yang
dibina dan
masyarakat untuk
meningkatkan kualitas warga
binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki
diri, dan tidak
mengulangi tindak pidana,
sehingga dapat diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat,
dapat aktif berperan dalam pembangunan,
dan dapat hidup secara
wajar sebagai warga
yang baik dan bertanggung jawab[53].
Mengutip Sri Endah
Wahyuningsih bahwa tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP 2018 beberapa hal dapat
dikatakan seudah mencerminkan asas kesimbangan yang bersumber dari nilai-nilai
kearifan religius, akan tetapi masih ada yang perlu dilengkapi.[54]
Dalam hal ini penulis menganalogikan dengan UU No. 19 tahun 2016 tentang ITE
yang masih timpang dalam hal pengaturan pelaku tindak pidana seorang konsumen
maupun produsen.
Fungsi hukum pidana
adalah untuk melindungi sekaligus untuk menjaga keseimbangan pelbagai
kepentingan (masyarakat, negara, pelaku tindak pidana dan korban tindak
pidana). Terjadi perluasan optik perkembangan ilmu hukum pidana dan
kriminologi, yakni perhatiannya tidak hanya tertuju kepada kejahatan dan
pembuatnya seperti dulu-dulu, akan tetapi juga kepada orang-orang selain
pembuat yaitu, korban, orang-orang yang menyaksikan, anggota masyarakat
lainnya.[55]
Dalam teori pemidanaan ini mulai muncul pemikiran untuk menyeimbangkan
peraturan pemidanaan yang tidak hanya melindungi pelaku, namun juga korban,
sehingga UU No. 19 tahun 2016 tentang ITE hanya mempertimbangkan korban dari
pihak konsumen, sedangkan dari pihak produsen belum terlindungi, sedangkan
dalam perkembangan globalisasi memungkinkan produsen/ penjual bahan baku,
disisi lain merupakan konsumen dari perusahaan yang menjual barang mentah,
dalam hal ini maka pelaku kejahatan yang berposisi sebagai konsumen, secara
strata sangat mungkin memiliki kekuatan ekonomi yang cukup, bukan seperti
konsumen akhir (pembeli) pada paradigma umum atau hukum umum (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).
Fungsi hukum pidana maupun
secara khusus pemidanaan hingga lanjutan dalam hal pembinaan dalam lembaga
pemnasyarakatan akan menjadi kurang tepat jika seorang konsumen/ pembeli yang
melakukan kejahatan melalui media sosial kemudian tidak dihukum menggunakan
undang-undang yang semestinya, tapi justru seakan direduksi menggunakan
undang-undang yang bersifat umum (generalis) yaitu KUHP, karena reduksi ancaman
hukum akan otomatis berkorelasi lama hukuman.
6.
Tanggung Jawab
Pidana
Oleh Konsumen Melalui
Media Elektronik
Prinsip perjanjian melalui Internet dapat terlaksana
dengan baik dapat diperhatikan pula ciri-ciri perjanjian melalui Internet atau
ciri kontrak dagang elektronik yaitu[56]:
1. Cara Berkomunikasi Kedua belah pihak harus
memperhatikan bahwa situasi untuk memberikan informasi untuk hal yang tidak
pantas (illegal).
2. Garansi dan Vrijwaring; Dalam
perjanjian tersebut harus dinyatakan jaminan yang harus dibuat oleh salah satu
pihak (penjual) dan harus bebas dari unsur penjiplakan, memperhatikan hak
intelektual dan tidak melanggar ketentuan hukum yang ada.
3. Biaya; Para pihak dapat mengadakan
kesepakatan bahwa kewajiban membayar ganti rugi dilakukan dengan risk
sharing (pembagian risiko).
4. Pembayaran; Mengenai harga dan cara
pembayaran apakah sekaligus kredit ataupun pembayaran berdasarkan jumlah
tertentu dari tugas yang telah diselesaikan.
5. Kerahasiaan; Dalam hal ini perlu dibuat untuk
memastikan agar pihak terikat untuk menjaga kerahasiaan informasi yang terdapat
dalam perjanjian[57].
Dalam Pasal 1, butir 2 UU ITE, disebutkan bahwa Transaksi Elektronik adalah: “Perbuatan hukum yang dilakukan dengan
mengunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya, transaksi
jual beli secara elektronik merupakan salah satu perwujudan ketentuan di
atas”. Kemudahan berkomunikasi secara elektronik, maka
perdagangan pada saat ini sudah mulai merambat ke dunia elektronik. Transaksi
dapat dilakukan dengan kemudahan teknologi informasi, tanpa adanya
halanganjarak. Penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan baik dalam
lingkup publik ataupun privat. Pelaku usaha yang menawarkan barang atau jasa
secara elektronik wajib menyediakan informasi mengenai syarat-syarat kontrak,
produsen dan produk secara lengkap dan benar. Dalam Pasal 17 UU ITE dalam:
1) Ayat (1) “penyelenggaraan transaksi
elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat”.
2) Ayat (2) “para pihak yang melakukan transaksi
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beritikad baik dalam
melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik selama transaksi berlangsung.”
Dalam setiap pelaksanaan transaksi diatur
pula mengenai klausul Tanggung jawab yang merupakan suatu
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Berkewajiban menanggung, memikul
tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung
akibatnya5.
Tanggung jawab Hukum merupakan kesadaran manusia akan tingkah laku atau
perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga
berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya. Menurut Ridwan Halim menyatakan tanggung jawab hukum sebagai sesuatu akibat
lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan
kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikan sebagai
kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berperilaku menurut cara tertentu tidak
menyimpang dari peraturan yang telah ada.[58]
Dalam hal berkaitan dengan tanggungjawab Transaksi
jual beli secara elektronik dilakukan oleh pihak yang terkait, walaupun para
pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain, tetapi berhubungan
melalui Internet. Jual beli secara elektronik, pihak-pihak terkait: [59]
a. Penjual atau merchant yang menawarkan
sebuah produk melalui Internet sebagai pelaku usaha.
b. Pembeli yaitu setiap orang tidak dilarang
oleh undang-undang, yang menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan
berkeinginan melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual.
c.
Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen
kepada penjual atau pelaku usaha/merchant, karena transaksi jual beli
dilakukan secara elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung,
sebab mereka berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat dilakukan melalui perantara
dalam hal ini yaitu Bank.
d. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses Internet.
Dalam hal mekanisme pelaksanaan transaksi elektronik pelaku usaha wajib
bertanggungjawab dalam penyediaan informasi yang di uraikan dalam berbagai
pasal undang-undang ITE antara lain sebagai berikut:
1) Pasal 9 UU ITE dijelaskan bahwa: “pelaku
usaha yang menawarkan produk melalui sistem elekronik harus menyediakan
informasi yang dilengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen,
dan produk yang ditawarkan.
2) Dalam Pasal 10 Ayat (1) UU ITE dijelaskan
bahwa: “setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat
disertifikasi oleh lembaga Sertifikasi keandalan”.
3) Pasal 12 Ayat (3) UU ITE juga menjelaskan
bahwa “setiap orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud
Ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang
timbul. Artinya setiap orang bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul
akibat pelanggaran yang dilakukan terhadap pemberian pengamanan atas tanda tangan
elektronik
Friedrich August von Hayek mengatakan, semua bentuk dari apa yang disebut dengan
tanggung jawab kolektif mengacu pada tanggung jawab individu. Istilah tanggung
jawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi tanggung jawab
itu sendiri. Dalam tanggung jawab lingkungan sebuah masalah jelas bagi setiap
pendelegasian kewenangan (tanggung jawab). Karena itulah para penganut liberal
menekankan pada subsidiaritas, pada keputusan-keputusan yang sedapat mungkin
ditentukan di kalangan rakyat.[60]
Dalam hal Pemakaian
Internet dan bisnis melalui Internet dewasa ini berkembang sangat pesat
sehingga sektor hukum pun diminta untuk turun tangan sehingga bisnis melalui
Intenet seperti itu dapat dicapainya ketertiban dan kepastian, disamping
tercapai pula unsur keadilan bagi para pihak. Beberapa prinsip hukum yang
bersentuhan dengan e-commerce yang mestinya diakui sektor hukum adalah
sebagai berikut :[61]
a. Semua informasi elektronik dalam bentuk data
elektronik mestinya memiliki kekuatan hukum sehingga mempunyai kekuatan
pembuktian. Dengan demikian, data elektronik mestinya mempunyai kekuatan
pembuktian yang sama dengan dokumen kertas.
b. Kontrak yang dibuat secara elektronik
mempunyai akibat hukum dan kekuatan pembuktian yang sama dengan kontrak yang
dibuat secara tertulis diatas kertas.
c. Tanda tangan elektronik mestinya mempunyai
kekuatan pembuktian yang sama dengan tanda tangan biasa.
Dewasa ini Yang
menjadi kelemahan dalam sistem penegakan hukum ini adalah terbatasnya sistem
yang mengatur mengenai tanggungjawab hukum konsumen hal ini di karenakan banyak
pasal mengatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha dan tidak adanya
perlindungan hukum terhadap pelaku usaha melainkan banyak perlindungan bagi
konsumen sehingga apabila konsumen yang melakukan tindak pidana maka hukum yang
di pakai adalah hukum yang secara umum di pakai sehingga sangat tidak relevan
dengan konsep lex spesialis drogat legi
generalis. Yang mana ketentuan ketentuan yang di dapat dalam aturan hukum
umum tetap berlaku kecuali diatur khusus dalam aturan hukum tersebut, dan
aturan lex spesialis harus sejajar dengan aturan atau undang-undang yang umum,
serta ketentuan lex spesialis harus berada pada lingkungan hukum yang sama
dengan lex generalis yang artinya suatu aturan hanya memberikan suatu gamabaran
kekhususan sehingga di kesampingan yang umum, akan tetapi yang terjadi saat ini
dalam perkara konsumen adalah adanya aturan khusus akan tetapi dalam
pelaksanaannya masih mengunakan aturan umum yang dianggap tidak sesuai deng
asas tersebut, untuk itu perlu nya pembanguan paradigma baru dalam membentuk
produk hukum yang kemudian memberikan payung hukum di indonesia, sehingga
tanggung jawab hukum yang dilakukan jelas dan tidak multitafsir ataupun
kekosongan hukum.
7.
Teori
Kebijakan Hukum Pidana
Teori Terapan yang
digunakan dalam penulisan disertasi ini adalah Teori Kebijakan Hukum Pidana. Kata
kebijakan berasal dari bahasa Inggris, yakni policy atau dalam bahasa
Belanda disebut politiek, yang secara
umum diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan
pemerintah dalam arti luas termasuk aparat penegak hukum dalam mengelola,
mengatur, menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau
bidang-bidang penyusunan peraturan perundangundangan, dan pengaplikasian hukum
atau peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan
kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).[62]
Immanuel
Kant
mengemukakan, bahwa dijatuhkannya pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan.
Ditegaskan pula bahwa pidana yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tidak
dapat dikatakan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Pidana yang
dijatuhkan tersebut mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid).[63]
Menurut Teori Gabungan dibicarakan dalam konteks yang tidak dapat dipisahkan
dengan teori pembalasan. Penulis awal yang mengajukan “teori gabungan” adalah
Pellegrino Rossi yang mengatakan, bahwa pembalasan sebagai asas dari pidana dan
beratnya tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun ditegaskan
bahwa pidana memiliki pelbagai pengaruh antara lain “perbaikan sesuatu yang
rusak akibat tindak pidana dalam masyarakat dan prevensi general”.[64]
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa konsumen yang melakukan kejahatan
melalui media elektronik juga harus diberikan pembelajaran agar masyarakat
secara umum tidak melakukan perbuatan ini.
Mengutip I. Adi
Rimbawan, Gunarto, dan Sri Endah Wahyuningsih, dalam artikel berjudul: Ideal Reconstruction of Crime Liability of
Underage Drivers Causing The Loss Of Life of Others Based on Values of Justice,
dikatakan bahwa “From the fact that the society develops so that there is a
change in the values that live in society, the law with the primary aim of
achieving peace, order, prosperity, prosperity, justice and legal certainty
must be in line with the development of society so that the law can achieve its
objectives. Bambang Poernomo, says that : The growth of reality in society is
closely related to changes with the circles of the causes of reality both
within oneself to each individual human being, and to the social conditions and
environments that can result in the improvement and development of different
criminal behavior Time-to-time and unpredictable.[65]
Pertumbuhan realitas dalam masyarakat berkaitan erat dengan perubahan dengan
lingkaran sebab-sebab realitas baik di dalam diri masing-masing manusia
individu dan kondisi sosial dan lingkungan yang dapat menghasilkan peningkatan
dan pengembangan perilaku kriminal yang berbeda dari waktu ke waktu dan tidak
dapat diprediksi, sehingga perkembangan modus kejahatan juga mengalami
perkembangan (aras tinggi) yaitu konsumen yang menggunakan media elektronik
untuk melakukan kejahatan dengan mudah dan secapat secara acak/ sporadis.
8.
Konsep Keadilan Yang
Ideal Di Jamin Dengan Suatu Kepastian
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan[66]. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti
sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang
suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan
dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Menurutnya, kepastian dan
keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan
hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang
buruk, melinkan bukan hukum sama sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum
itu sendiri(den begriff des Rechts).[67]Hukum
adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan
bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu
kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya dengan suatu sanksi[68].Kepastian
hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma
hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak
lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus incertum,
ibi jus nullum (di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum)[69].
Menurut Apeldoorn,
kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama, mengenai soal dapat ditentukannya
(bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal uang konkret. Artinya pihak-pihak
yang mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal
yang khusus, sebelum ia memulai perkara. Ke dua, kepastian hukum berarti
keamanan hukum. Artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan
hakim[70].
Menurut Jan Michiel Otto,
kepastian hukum yang sesungguhnya memang lebih berdimensi yuridis. Namun, Otto
ingin memberikanbatasan kepastian hukum yang lebih jauh. Untuk itu ia
mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi
tertentu:
a)
Tersedia
aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible),
diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara;
b)
Instansi-instansi
penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara
konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
c)
Warga
secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
d)
Hakim-hakim
(peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum
tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan;
e)
Keputusan
peradilan secara konkrit dilaksanakan[71].
Hukum yang di tegakkan oleh instansi penegak hukumyang diserai
tugas untuk itu, harus menjamin “kepastian hukum” demi tegaknya ketertiban dan
keadilan dalam kehidupan masyarakat. Ketidakpastian hukum, akan menimbulkan
kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan akan saling berbuat sesuka hati serta
bertindak main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada
dalam suasana social disorganization atau kekacauan sosial[72].
Kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” (kepastian
tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan makna
kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah
perundang-undangan(gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum itu
didasarkan pada fakta (Tatsachen),bukan suatu rumusan tentang penilaian
yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, ”kesopanan”.
Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga
menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan.
Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.[73]
Masalah kepastian hukum dalam kaitan dengan pelaksanaan
hukum,memang sama sekali tak dapat dilepaskan sama sekali dari prilaku manusia.
Kepastian hukum bukan mengikuti prinsip “pencet tombol” (subsumsi otomat),
melainkan sesuatu yang cukup rumit, yang banyak berkaitan dengan faktor diluar
hukum itu sendiri. Berbicara mengenai kepastian, maka seperti dikatakan Radbruch, yang lebih tepat adalah
kepastian dari adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan (sicherkeit
des Rechts).[74]
Pembuat Undang-Undang
membuat konstruksi kalimat/ frasa mengakibatkan “… kerugian konsumen”, menurut
pendapat penulis merupakan ketidak seimbangan, mengingat dewasa ini yang dapat
melakukan tindak pidana tidak hanya produsen, melainkan juga para konsumen yang
memang memiliki itikad tidak baik, maka dalam UU ITE yang menitikberatkan
perlindungan kepada konsumen dalam porsi yang lebih besar justru merupakan
kriminalisasi berlebihan kepada produsen/ penjual, kriminalisasi harus
dilakukan secara hati-hati, sehingga menimbulkan kesan represif yang melanggar
prinsip keadilan, karena kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan
berpengaruh pula pada mindset penegak
hukum dalam penyidikan maupun
penuntutan dalam hukum pidana formil.
Adanya kekosongan hukum yang terjadi dalam penegakan hukum bagi tindak
pidana yang di lakukan oleh konsumen tersebut tidak memberikan suatu jaminan kepastian hukum. Beberapa
perkara yang tidak dapat dilakukan proses hukum lebih lanjut di karena tidak
adanya sanksi hukum bagi konsumen dapat di lihat dengan tidak adanya payung
hukum atau adanya kekosongan hukum. “kekosongan hukum” dapat diartikan sebagai
”suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum yang
mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat,” sehingga kekosongan hukum
dalam hukum positif lebih tepat dikatakan sebagai “kekosongan undang-undang
atau peraturan perundang-undangan.” Penyebab terjadinya kekosongan hukum yaitu,
dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik dari legislatif maupun eksekutif
pada kenyataan memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan
perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal-hal atau keadaan yang hendak
diatur oleh peraturan tersebut telah berubah. Selain itu, kekosongan hukum
dapat terjadi karena hal-hal atau keadaan yang terjadi belum dapat diatur dalam
suatu peraturan perundang-undangan, atau sekalipun telah diatur dalam suatu
peraturan perundang-undangan namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap. Hal
ini sebenarnya selaras dengan pameo yang menyatakan bahwa ”terbentuknya suatu
peraturan perundang-undangan senantiasa tertinggal atau terbelakang
dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat.
Dapatlah dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang
berlaku pada suatu negara dalam suatu waktu tertentu merupakan suatu sistem
yang formal, yang tentunya agak sulit untuk mengubah atau mencabutnya walaupun
tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang harus diatur oleh
peraturan perundang-undangan tersebut.[75]
Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum, terhadap hal-hal
atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian
hukum (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan
perundang-undangan di masyarakat yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada
kekacauan hukum (rechtsverwarring). Dalam arti bahwa selama tidak diatur
berarti boleh, selama ada tata-cara yang jelas dan diatur berarti bukan berarti
tidak boleh. Hal inilah yang menyebabkan kebingunan (kekacauan) dalam masyarakat
mengenai aturan apa yang harus dipakai dan diterapkan. Dalam masyarakat menjadi
tidak ada kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur hal-hal keadaan yang
terjadi.
Adapun solusi apabila terjadi kekosongan hukum sebagaimana telah
diungkapkan sebelumnya, bahwa perkembangan masyarakat selalu lebih cepat dari
perkembangan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan
sebenarnya dibuat sebagai panduan bersikap bagi masyarakat yang dapat
menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Hukum yang stabil dapat
menjadi ukuran yang pasti di masyarakat, namun hukum yang jalan di tempat pada
kenyataannya akan menjadi hukum yang usang dan tertinggal jauh oleh
perkembangan masyarakat. Untuk itu,sangat diperlukan perkembangan masyarakat
Konstruksi hukum tidak boleh di luar sistem material positif (Scholten).
Dalam konstruksi hukum ini terdapat tiga bentuk, yaitu:
a. Analogi penafsiran dari pada suatu peraturan hukum dengan
memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya,
sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap
sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya “menyambung aliran listrik”
dianggap sama dengan “mengambil aliran listrik”. Analogi hukum pada prinsipnya
berlaku untuk masalah-masalah perdata (privat), terutama sekali dalam hukum
prikatan (verbinterissenrecht), sedangkan dalam hukum publik tidak boleh
digunakan analogi.
b. Penghalusan hukum memperlakukan hukum sedemikian rupa
(secara halus) sehinga seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan. Penghalusan
hukum ialah dengan cara mempersempit berlakunya suatu Pasal yang merupakan
kebalikan dari analogi hukum. Sifat dari pada penghalusan hukum yaitu tidak
mencari kesalahan dari pada pihak, dan apabila satu pihak disalahkammaka akan
timbul ketengangan.
c. Argumentum a contrario penafsiran undang-undang yang di dasarkan atau
pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal
yang diatur dalam suatu Pasal dalam undang-undang[76]
9. Konsep penegakan hukum yang ideal
Penegakan hukum ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik
menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat
kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah
satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan
adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana
halnya kebenaran pada sistem pemikiran". Tapi, menurut kebanyakan teori
juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang
adil". Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan
dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang
menegakkan keadilan.
Banyaknya
jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa
yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah
keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala
sesuatunya pada tempatnya Model paling ideal adalah model
perpaduan dari hukum yang timbul dari kearifan
local dengan hukum Progressif yang menganut
ideologi yang pro keadilan dan pro rakyat. Hukum bukan hanya sebuah bangunan
peraturan melainkan juga bangunan ide, kultur dan cita-cita.
Prinsip utama dalam memahami penegakan hukum yang ideal ialah dengan kemampuan para penegak
hukum dalam memahami prinsip-prinsip keadilan hukum. Pemahaman prinsip keadilan hukum oleh penegakan
hukum, dapat digunakan sebagai ukuran kinerja dalam menegakan hukum.
Benar dan tidak
penyelenggaraan penegakan hukum, dapat dilihat dari penerapan yang bersinggungan dengan semua unsur
prinsip-prinsip penegakan hukum yang baik, mengacu pada prinsip-prinsip
demokrasi dengan elemen-elemennya, seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan
hak asasi manusia, kebebasan, transparansi, pembagian kekuasaan dan kontrol
masyarakat. Oleh karena itu, suatu pelaksanaan penegakan hukum dapat disebut
bergaya moral baik, apabila pelaksanaannya memenuhi elemen-elemen prinsip keadilan.
Prinsip keadilan dalam penegakan hukum itu berlegitimasi atau taat
asas, sehingga kurang lebihnya mampu terprediksikan sebelumnya (predictable). Selain itu pelaksana
penegakan hukum harus mampu dipertanggungjawaban dihadapan masyarakat (accountable). prosesnya tidak dilakukan
secara keterbukaan yang mampu
meminimalisasi kolusi (transparency). prosesnya keterbuka untuk
mengakomodasi opini kritis masyarakat (participated), untuk mendapatkan Partisipasi oleh masyarakat
dapat diwujudkan jika terdapat penerapan prinsip-prinsip transparan.
Membangun keadilan dalam penegakan
hukum yang baik, maka sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku
para penegak hukum. Keterbukaan merupakan hal yang paling urgen untuk diterapkan dalam pembinaan penegak hukum, Kejujuran dan keterbukaan sangat
dipengaruhi oleh keimanan dan integritas seseorang. Sebagai konsekuensi,
pemerintah dituntut untuk meningkatkan kemampuan sumber daya insaninya sesuai
dengan bidang tugasnya, kesejahteraannya, termasuk menentukan sikap dan
perilakunya, agar mampu berpikir dengan baik dan benar, dalam menerapkan prinsip-prinsip
keadilan hukum.
D.
Kesimpulan
Pembuat Undang-Undang membuat
konstruksi kalimat/ frasa mengakibatkan “… kerugian konsumen”, menurut pendapat
penulis merupakan ketidak seimbangan, mengingat dewasa ini yang dapat melakukan
tindak pidana tidak hanya produsen, melainkan juga para konsumen yang memang
memiliki itikad tidak baik, maka dalam UU ITE yang menitikberatkan perlindungan
kepada konsumen dalam porsi yang lebih besar justru merupakan kriminalisasi
berlebihan kepada produsen/ penjual, kriminalisasi harus dilakukan secara
hati-hati, sehingga menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip keadilan,
karena kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan berpengaruh pula pada mindset penegak hukum dalam penyidikan maupun penuntutan
dalam hukum pidana formil.
Posisi yang seakan
tidak seimbang antara produsen/ penjual dengan konsumen ini lebih diawali munculnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, namun tidak
tepat jika hal ini menjadi dasar pemikiran/ asas perlindungan yang lebih
diprioritaskan kepada konsumen dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik dikarenakan hubungan konsumen dan produsen konstruksikan
klasik yaitu hubungan yang sub ordinat,
sehingga konsumen dijustifikasi selalu berada dalarn posisi .yang lemah dalam
proses pembentukan kehendak kontraktual. Dalarn hubungan sub-ordinat posisi tawar-menawar yang lemah, seperti pendapat
Jonneri bahwa dalam kontrak komersial, keberadaan asas keseimbangan dalam
berkontrak eksistensinya cukup kuat, karena jika isi kontrak tidak seimbang
atau berat sebelah, maka lawan kontrak tidak akan pernah mau menerima
klausul-klausul perjanjian. Asas kesimbangan yang lahir dari
kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak inilah yang menjadi
sarana perlindungan bagi para pihak yang mengadakan perjanjian.[77]
Dalarn hubungan sub ordinat posisi tawar menawar yang
lemah, dominasi produsen serta beberapa kondisi lain diasurnsikan terdapat
ketidakseimbangan dalam hubungan para pihak, dalam hal ini azas keseimbangan
yang bermakna "equal-equilibrium" akan bekerja memberikan keseimbangan
pada saat posisi tawar-menawar para pihak dalarn menentukan kehendak menjadi
tidak seimbang. Tujuan dari azas keseimbangan adalah hasil akhir yang
menempatkan posisi para pihak seimbang (equal) dalam menentukan hak dan
kewajiban.[78]
Penulis berharap dengan
berkembangnya dunia bisnis menjadi semakin modern, maka doktrin lama bahwa
konsumen selalu pada posisi lemah tidak tepat diberlakukan pada kasus-kasus
tertentu, karena faktanya banyak konsumen dalam hal ini sebagai pelaku
kejahatan yang memiliki kemampuan menggunakan media sosial yang lebih cakap
dari produsen/penjual, sehingga revisi/rekonstruksi terhadap Pasal 28 ayat (1)
kedepannya diharapkan memberikan kesimbangan pada posisi konsumen dan produsen/
penjual.
REFERENSI
Achmad
Ali, 2015, Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Kencana, Jakarta, Cetakan ke-1
Adami
Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ahmad
Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Sinar Grafika.
Aktieva
Tri Tjitrawati, The Just Drug Distribution In The Perspective Of Welfare State, Mimbar Hukum, Volume 25,
Nomor 3, Oktober 2013.
Alia
Maerani, “Implementasi Ide Keseimbangan Dalam Pembangunan Hukum Pidana
Indonesia Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”, Jurnal
Pembaharuan Hukum, Volume 3, Nomor 3, 2016.
Alwi,
Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Keempat. PT. Balai Pustaka, Jakarta
Aldi
Firmansyah, 2018, Kajian Perlindungan
Konsumen Pada Pemasaran Produk Keuangan Digital, OJK, Jakarta
Amirudin,
Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta.
A.T.Kearney,
2015, Lifting The Barriers of E-commerce
in ASEAN, CIMB ASEAN Research
Institute
Bagir
Manan, “Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia”, Makalah Temu Ilmiah
Nasional Memformat Indonesia Baru : Reformasi Hukum sebagai Fondasi Reformasi
Total, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 6 April 1999.
Bahrudin
Agung Permana Putra, Paham Triyoso,
Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Pengawasan terhadap Narapidana Yang
Memperolehpembebasan Bersyarat(Studi Di Kejaksaan Negeri Malang) , Malang,
,jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Bambang,
Waluyo. 2008, Penelitian Hukum Dalam
Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.
Barda
Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Nuansa, Bandung, 2004.
Christine
S.T Kansil, CST Kansil Engelien R,Palandeng Dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah Hukum, Jakarta, Jala
Permata Aksara, 2009.
Eko
Soponyono, “Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada
Korban”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 4, Nomor 1, 2012, Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
E.
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas,
Surabaya, 1988.
Fransiskus
Saverius Nurdin, “Rekonstruksi Asas
Legalitas Dalam Hukum Pidana Berdasarkan Prinsip Keadilan”, Jurnal Refleksi
Hukum, 2016, Vol 1, No. 1, UKSW, Salatiga.
Gamal
Abdul Nasir, Kekosongan Hukum dan
Percepatan Perkembangan Masyarakat, Jurnal Hukum Replik Volume 5 No. 2,
September 2017.
Gunarto, 2019, Teori Hukum Disertasi, Unissula,
Semarang.
Hamzah,
Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2012
Hartanto,
2019, Memahami Hukum Pidana, Lintang Pustaka Utama, Yogyakarta.
Hernoko,
2006, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 6-7 September 2006.
Inyoman
Adi Rimbawan, Gunarto, dan Sri Endah Wahyuningsih, ”Ideal Reconstruction of
Crime Liability of Underage Drivers Causing The Loss Of Life of Others Based on
Values of Justice”, International Journal of Advanced Research (IJAR), Volume
5, Number 8, 2017.
(DOI:10.21474/IJAR01/5278).
]B.N.
Marbun, 1996, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, hlm. 469, diakses 20
November 2019
Jan
Michiel Otto Terjemahan Tristam Moeliono Dalam Shidarta, Moralitas Profesi
Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung, Revika Aditama,2006.
Jonneri
Bukit, Made Warka, Krisnadi Nasutio,
“Eksistensi Asas Keseimbangan Pada Kontrak Konsumen Di Indonesia”,
Jurnal Ilmu Hukum, Surabaya, Vol 14, No 28, 2018.
Lawrence
M.Friedman,2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A
Social Science Perspektive), (M.Khozim, Pentj), Nusa Media, Bandung.
L.J
Van Apeldoorn Dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir, Bandung Revika Aditama,2006
M.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhp Penyidikan Dan
Penuntutan,Jakarta, Sinar Grafika, 2002
M
Isnaeni, 2006, Pelatihan Hukum Perikatan Dalam Era Perdagangan Bebas, dalam
Agus Yudha.
Mikael
Rostila, Social Capital an Health Inequality in European Welfare State,
Palgrave Macmillan, 2013, London, h. 10,
dalam Aktieva Tri Tjitrawati, The Just Drug Distribution In The
Perspective Of Welfare State, Mimbar
Hukum, Volume 25, Nomor 3, Oktober 2013.
Muhammad
Syukri Albani Nasution, dkk, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, Kencana, Jakarta,
2016.
Nimerodi
Gulö, Ade Kurniawa, 2018, Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana, Masalah-Masalah
Hukum, Jilid 47, No.3, Undip, Semarang.
Petrus
Bello, Hukum Dan Moralitas Tinjauan Filsafat Hukum, Jakarta, Erlangga, 2012.
Riza
Nizarli, 2012, Hukum Acara Pidana, CV. Bina Nanggroe, Banda Aceh.
Philipus
M. Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia, Edisi Revisi, Peradaban, Jakarta,
2007,. (selanjutnyadisebut Phillipus M. Hadjon II)
Satjipto
Rahardjo,Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, Uki Press,2006, Hlm 135-136.
Samidjo,
Pengantar Hukum Indonesia, Cv. Armico, Bandung, 1993
Saint
augustiine, di kutib dalam buku Roni Sulistyanto Luhukay, 2019, Pengantar Ilmu
Hukum Dalam Perpektif Keadilan, Lintang Pustaka Utama, Yoyakarta.
Sidharta, Reformasi
Peradilan Dan Tanggung Jawab Negara, Jakarta, Komisi Yudisial Republik
Indonesia, 2010.
Shidarta,
Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran
Kerangka Berfikir, Bandung Revika Aditama,2006.
Sudikno
Mertokusumo Dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Jakarta,
Rajagrafindo Persada, 2010
Sjachran
Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indoenesia, Alumni, Bandung, 1985.
Sri
Endah Wahyuningsih,2018, “Model Pengembangan Asas Hukum Pidana Dalam KUHP
Berbasis Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa”, Fastindo, Semarang
Sunarjo Wreksosuharjo, Ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu
Filsafat Pancasila, Yogyakarta, Penerbit Andi, 2001
Theo
Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas
Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1990.
Y.
Kanter dan S.R. Sianturi, 1982, Asas-Asas
Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta. Alumni AHM- PTHM.
Zuhraini, “Kajian
Sistem Penyelenggaraan Pememerintahan Pekon Dalam Perspektif Hukum Sebagai
Sistem Nilai (Berdasarkan Teori Lon Fuller)”, Jurnal Asas, Program studi
Muamalah Fakultas Syari'ah UIN Raden Intan, Vol 9, No 2, 2017.
INTERNET :
Si penipu olshop, https://news.detik.com/berita/d-3190916/robby-si-penipu-di-olshop-hidup-mewah-dari-hasil-kejahatan,
di download 20 November 2019
“https://krjogja.com/web/news/read/109062/Modus_Bukti_Transfer_Bodong_Pelaku_Penipuan_Belanja_Online_Dibekuk,
Krjogja.com, Diakses 20 November 2019.
Nto, Gaya. 5 September 2019,
https://jogja.tribunnews.com/2019/09/05/polda-diy-ringkus-sindikat-penipuan-online-dari-bandung-dengan-nilai-transaksi-rp-107-juta?page=2,
Tribunnews.com, Diakses 20 November 2019.
https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2019/08/15/512/1012277/seorang-ibu-rumah-tangga-ditangkap-karena-menipu-toko-online-dengan-bukti-transfer-palsu,
harianjogja.com, diakses 21 November 2019
[1] Okta Nofri, Andi Hafifa, Analisis Perilaku Konsumen Dalam Melakukan Online Shopping Di Kota Makassar, Jurnal Manajemen, Ide, Inspirasi (Minds)
Vol.5, No. 1, (Januari-Juni) 2018, , Jurusan Manajemen,
Febi Uin Alauddin Makassar, Hlm 113.
[2] Marheni Eka Saputri. Pengaruh
Perilaku Konsumen Terhadap Pembelian Online Produk Fashion Pada Zalora
Indonesia, The Effect Of Consumer Behavior Toward The Online Purchase Of
Fashion, Product Of Zalora Indonesia, Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas
Komunikasi Dan Bisnis, Universitas Telkom, urnal Sosioteknologi Vol. 15, No 2, Agustus 2016, hlm 291
[3] Kotler, Philip and Kevin Lane Keller. (2012). Marketing Management, Edition 14,
England: Pearson Education, hlm 173
[4] Ade Maman
Suherman, 2005, Aspek Hukum Dalam Ekonomi
Global, Cet.ke 2 (Edisi Revisi), Ghalia Indonesia, Bogor, hlm.97
[5]Agus Sigit,Modus Bukti_Transfer Bodong Pelaku Penipuan Belanja,
5 September 2019, “https://krjogja.com/web/news/read/109062/Modus_Bukti_Transfer_Bodong_Pelaku_Penipuan_Belanja_Online_Dibekuk, Krjogja.com, Diakses 20 November
2019.
[6] Nto, Gaya. 5 September 2019, https://jogja.tribunnews.com/2019/09/05/polda-diy-ringkus-sindikat-penipuan-online-dari-bandung-dengan-nilai-transaksi-rp-107-juta?page=2, Tribunnews.com, Diakses 20
November 2019
[7] Ibid, Rabu, 14 Agustus 2019, https://jogja.tribunnews.com/2019/08/14/bermodus-screenshot-palsu-saat-bertransaksi-ibu-rumah-tangga-asal-tegal-lakukan-penipuan-online, Tribunnews.com, diakses 21
November 2019
[8] Yogi Anugrah, ibu
rumah tangga di tangkap karena menipu online, 15 Agustus
2019, https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2019/08/15/512/1012277/seorang-ibu-rumah-tangga-ditangkap-karena-menipu-toko-online-dengan-bukti-transfer-palsu, harianjogja.com, diakses 21 November 2019
[9] Alia Maerani, “Implementasi Ide
Keseimbangan Dalam Pembangunan Hukum Pidana Indonesia Berbasis Nilai-Nilai
Pancasila”, Jurnal Pembaharuan Hukum,
Volume 3, Nomor 3, 2016, hlm 333
[10] Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat. PT. Balai Pustaka, Jakarta
[11] B.N. Marbun, 1996, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan,
hlm. 469, diakses 20 November 2019
[12] Aldi Firmansyah, 2018, Kajian Perlindungan Konsumen Pada Pemasaran Produk
Keuangan Digital, OJK, Jakarta
[13] A.T.Kearney, 2015, Lifting The Barriers of E-commerce in ASEAN,
CIMB ASEAN
Research Institute, p. 4
[14] Fransiskus Saverius Nurdin, “Rekonstruksi Asas Legalitas Dalam Hukum
Pidana Berdasarkan Prinsip Keadilan”, Jurnal Refleksi Hukum, 2016, Vol 1, No. 1, UKSW, Salatiga, hlm 9
[16] https://news.detik.com/berita/d-3190916/robby-si-penipu-di-olshop-hidup-mewah-dari-hasil-kejahatan, di download 20 November 2019
[17] ibid
[18] Gunarto, 2019, Teori Hukum Disertasi, Unissula,
Semarang
[19] Bambang, Waluyo. 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar
Grafika, Jakarta
[20] Amirudin, Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo, Jakarta, hlm 16
[21] Sidharta, Reformasi Peradilan Dan Tanggung Jawab
Negara, Jakarta, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010, hlm 3
[22] Sunarjo Wreksosuharjo, Ilmu
Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu Filsafat Pancasila, Yogyakarta,
Penerbit Andi, 2001, hlm 35
[23]Muhammad Syukri Albani Nasution,
dkk, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat,
Kencana, Jakarta, 2016, hlm.31.
[25]Aktieva Tri
Tjitrawati, The Just Drug Distribution In
The Perspective Of Welfare State,
Mimbar Hukum, Volume 25, Nomor 3,
Oktober 2013, hlm.
2
[26]Mikael Rostila, Social Capital an Health Inequality in
European Welfare State, Palgrave Macmillan, 2013, London, hlm. 10, dalam Aktieva Tri Tjitrawati, The Just Drug Distribution In The
Perspective Of Welfare State, Mimbar
Hukum, Volume 25, Nomor 3, Oktober 2013.
hlm. 3
[27]E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas,
Surabaya, 1988, hlm.
30.
[28]Bagir Manan, “Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia”,
Makalah Temu Ilmiah Nasional Memformat Indonesia Baru : Reformasi Hukum sebagai
Fondasi Reformasi Total, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 6
April 1999, hlm.2.
[29]Philipus M. Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia,
Edisi Revisi, Peradaban, Jakarta, 2007, hlm .91. (selanjutnyadisebut
Phillipus M. Hadjon II)
[30]Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan
Administrasi di Indoenesia, Alumni,
Bandung, 1985, hlm.3.
[34] Y. Kanter dan S.R. Sianturi,
1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
Dan Penerapannya, Jakarta. Alumni AHM- PTHM, hlm. 15-16.
[35] Hartanto, 2019, Memahami Hukum Pidana, Lintang Pustaka
Utama, Yogyakart, hlm 9
[36] Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 158
[37] Hartanto, log cit, hlm 88
[38]Saint
augustiine, di kutib dalam buku Roni Sulistyanto Luhukay, 2019, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perpektif
Keadilan, Lintang Pustaka Utama, Yoyakarta, hlm 14.
[40] Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Sinar
Grafika, hlm 105
[41] Riza Nizarli, 2012, Hukum Acara Pidana, CV. Bina Nanggroe,
Banda Aceh, hlm. 9.
[42] Achmad Ali, 2015, Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua,
Kencana, Jakarta, Cetakan ke-1, Agustus, hlm 98
[43] Log. Cit
[44] Lawrence M.Friedman,2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The
Legal System : A Social Science Perspektive), (M.Khozim, Pentj), Nusa Media,
Bandung, hlm.12
[45] Zuhraini, “Kajian
Sistem Penyelenggaraan Pememerintahan Pekon Dalam Perspektif Hukum Sebagai
Sistem Nilai (Berdasarkan Teori Lon Fuller)”, Jurnal Asas, Program studi
Muamalah Fakultas Syari'ah UIN Raden Intan, Vol 9, No 2, 2017, hlm. 45-46
[46] ibid
[47] Sri Endah Wahyuningsih,2018, “Model Pengembangan Asas Hukum Pidana Dalam
KUHP Berbasis Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa”, Fastindo, Semarang, hlm
43
[49] Ibid
[51] Nimerodi Gulö, Ade Kurniawa,
2018, Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana,
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47, No.3, Undip, Semarang, hlm 219
[52] Bahrudin Agung Permana Putra,
Paham Triyoso, Peranan
Kejaksaan Dalam Melakukan Pengawasan terhadap
Narapidana Yang Memperolehpembebasan Bersyarat(Studi Di Kejaksaan Negeri
Malang) , Malang, ,jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya hlm 1
[55] Eko Soponyono, “Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang
Berorientasi Pada Korban”, Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 4, Nomor 1, 2012, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, hlm 30.
[56]
Hartini Gunawan, Tanggung Jawab Dan Perlindungan Hukum Para
Pihak Dalam Transaksi Bisnis Elektronik, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion
Edisi 1, Volume 3, Tahun 2015, Hlm 3
[57]
Mariam Darus Badrulzaman, Suatu Tinjauan Hukum tentang E-Commerce. Pusat
Studi Hukum dan Kemasyarakatan Graha Kirana. Jakarta, 2000. Hlm,19.
[58] Khairunnisa, Kedudukan, Peran
dan Tanggung Jawab Hukum Direksi,
Medan, Pasca Sarjana, 2008,
Cetakan Pertama,, hlm. 4
[61]
Ricardus Eko Indrajit. E-commerce Kiat dan Strategi di Dunia Maya.
PT Elek Media Komputindo. Jakarta, 2001.hlm 2
[62] Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 23-24
[63] Ibid, hlm 31
[64] Ibid, hlm 32
[65] Inyoman Adi Rimbawan, Gunarto,
dan Sri Endah Wahyuningsih, ”Ideal Reconstruction of Crime Liability of
Underage Drivers Causing The Loss Of Life of Others Based on Values of
Justice”, International Journal of
Advanced Research (IJAR), Volume 5, Number 8, 2017. (DOI:10.21474/IJAR01/5278), p. 2111
[66], Christine S.T
Kansil, CST Kansil Engelien R,Palandeng Dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah Hukum,, Jakarta, Jala Permata
Aksara, 2009, Hlm, 385.
[67] Shidarta, Moralitas
Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung Revika Aditama,2006,
Hlm.79-80.
[68] Sudikno Mertokusumo Dalam H.
Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Jakarta, Rajagrafindo
Persada, 2010, Hlm 24.
[69] Ibid., Hlm 82
[70] L.J Van
Apeldoorn Dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka
Berfikir, Bandung Revika Aditama,2006, Hlm 82-83.
[71] Jan Michiel Otto Terjemahan
Tristam Moeliono Dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran
Kerangka Berfikir, Bandung, Revika Aditama,2006, Hlm 85.
[72] M. Yahya Harahap, Pembahasan
Permasalahan Dan Penerapan Kuhp Penyidikan Dan Penuntutan,Jakarta, Sinar
Grfika, 2002,, Hlm 76.
[73] Satjipto Rahardjo,Hukum Dalam
Jagat Ketertiban, Jakarta, Uki Press,2006, Hlm 135-136.
[74] Ibid, Hlm 139.
[75] Gamal Abdul Nasir, Kekosongan Hukum dan
Percepatan Perkembangan Masyarakat, Jurnal Hukum
Replik Volume 5 No. 2, September 2017, hlm 273
[77] Jonneri Bukit, Made Warka,
Krisnadi Nasutio, “Eksistensi Asas Keseimbangan Pada Kontrak Konsumen Di Indonesia”,
Jurnal Ilmu Hukum, Surabaya, Vol 14, No 28, 2018, hlm. 25
[78] M Isnaeni, 2006, Pelatihan Hukum Perikatan Dalam Era
Perdagangan Bebas, dalam Agus Yudha
Hernoko, 2006, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, 6-7 September 2006. hlm 67
Terima kasih boss.
ReplyDeletesangat berguna. Dan mohon diijinkan untuk lebih mendalami
monggo , selalu terbuka untuk siapa saja ... berbagi ilmu berbagi cerita ... " Menebar Kedamaian, Menjalin Persaudaraan "
DeleteTertarik untuk lebih memahami hukum dan moralitas, apalagi urusannya dg transaksi elektronik dan informasi.
ReplyDeleteYes , salah satu sumber hukum adalah "moral", maka jika ada permasalahan hukum timbul, umumnya sudah diawali oleh pelanggaran moral
Deleteterima kasih Sis Tata .. semoga selalu bisa berbagi ... dan saling sharing ya ..
ReplyDelete