( Buku Monograf) PERSPEKTIF KEADILAN DAN KESEIMBANGAN PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK


https://isbn.perpusnas.go.id/Account/SearchBuku?searchCat=Judul&searchTxt=PERSPEKTIF+KEADILAN+DAN+KESEIMBANGAN+PADA+UNDANG-UNDANG+NOMOR+19+TAHUN+2016+TENTANG+INFORMASI+DAN+TRANSAKSI+ELEKTRONIK+


FB hartanto uwm


PERSPEKTIF KEADILAN DAN KESEIMBANGAN PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Penulis :
Hartanto, S.E., S.H., M.Hum

Editor :
Muhamad Rusdi

Disain sampul, Setting :
Aji

x, 54 hlm, 15,5 x 23 cm
Cetakan pertama, Desember 2019
monograf

Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh
Penerbit C. Kanca Baba Adirasa
Babadan 617, RT 23, RW 17, Plumbon, Banguntapan, Bantul, 55198
0817 9609339
redaksikanca.publishing@gmail.com

ISBN :
978-623-92153-4-7

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apapun, tanpa izin tertulis dari penulis

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


KATA PENGANTAR
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, baik dari sisi kecepatan maupun kemudahan dalam mengakses internet, telah menginspirasi dunia bisnis untuk memanfaatkanya sebagai media utama dalam pemasaran produk dan jasa. integrasi konektivitas antara internet dengan jejaring sosial (jejaring media sosial dalam teori realitas sosial siber) memudahkan konsumen  untuk mengetahui produk toko online melalui media online yang ada. Para penjual online dapat memengaruhi keputusan konsumen dalam memilih produk yang ditawarkan dengan melakukan promosi khusus.
Problematika muncul setelah adanya semangat perlindungan konsumen, hal ini dapat di lihat bahwa dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik tidak mengatur sanksi bagi konsumen yang melakukan tindak pidana terhadap produsen/penjual. Pembuat Undang-Undang membuat konstruksi kalimat/ frasa mengakibatkan “kerugian konsumen”, merupakan ketidak seimbangan, mengingat dewasa ini yang dapat melakukan tindak pidana tidak hanya produsen, melainkan juga para konsumen yang memang memiliki itikad tidak baik, maka dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang menitikberatkan perlindungan kepada konsumen dalam porsi yang lebih besar justru merupakan kriminalisasi berlebihan kepada produsen/ penjual, kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, sehingga menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip keadilan, karena kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan berpengaruh pula pada mindset penegak hukum dalam penyidikan maupun penuntutan dalam hukum pidana formil.
Berkembangnya dunia bisnis menjadi semakin komplek dan dinamis, maka tidak tepat menggunakan doktrin lama bahwa konsumen selalu pada posisi lemah, karena faktanya banyak konsumen dalam hal ini sebagai pelaku kejahatan yang memiliki kemampuan menggunakan media sosial yang lebih cakap dari produsen/penjual, sehingga rekonstruksi terhadap Pasal 28 ayat (1) kedepannya diharapkan memberikan keadilan dan kesimbangan pada posisi konsumen dan produsen/ penjual.



A.       Latar Belakang
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat, baik dari sisi kecepatan maupun kemudahan dalam mengakses internet, fenomena ini menginspirasi dunia bisnis untuk memanfaatkanya sebagai media utama dalam pemasaran produk dan jasa. Beberapa keunggulan yang dimiliki internet terutama dari segi efisiensi mampu mengubah cara menjual dan membeli. Ini jualah yang telah mempengaruhi perilaku membeli konsumen dari yang dulunya bersifat offline menjadi online, tidak terkecuali di Indonesia. Peralihan perilaku membeli ini pulalah yang menyebabkan fenomena destructive innovation di pusat-pusat belanja di beberapa kota di Indonesia, terlihat dari sepinya pembeli dan tutupnya toko-toko pasa pusat-pusat belanja tersebut.[1]
Adanya integrasi konektivitas antara internet dengan jejaring sosial (jejaring media sosial dalam teori realitas sosial siber) memudahkan konsumen  untuk mengetahui produk toko online yang ada. Para pemilik toko online dapat memengaruhi keputusan konsumen dalam memilih produk yang ditawarkan dengan melakukan promosi khusus. Setiap promosi hanya bisa diakses oleh konsumen tersebut sehingga ia dapatmelihat dan memilih sesuai dengan ke-butuhan mereka dan berakhir dengan proses pembelian. Pemanfaatan internet sebagai media pemasaran tentunya dapat meningkatkankeputusan pembelian yang dilakukan oleh konsumen. Semakin ketat persaingan bisnis online, konsumen akan lebih banyak memiliki referensi bisnis yang akan dipilih untuk memenuhi kebutuhan, baik barang ataupun jasa[2]
Ada beberapa faktor yang dapat  memengaruhi keputusan pembelian, seperti faktor-faktor yang dikemukakan  menurut Kotler dan Keller) antara lain sebagai berikut[3].
1)      Faktor budaya terdiri atas budaya, subbudaya, dan kelas sosial
2)      Faktor sosial terdiri atas kelompok referensi, keluarga, peran, dan status
3)      Faktor pribadi terdiri atas usia, pekerjaan, keadaan ekonomi, kepribadian, dan gaya hidup
4)      Faktor psikologis terdiri atas motivasi, persepsi, pembelajaran, dan memori

Perlindungan konsumen merupakan hal yang terkaitan ekspansi dunia usaha yang menglobal. Semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah, dan keamanan barang dan atau jasa yang diperoleh di pasar. Untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab[4]
Problematika muncul setelah adanya perlindungan konsumen, hal ini dapat dapat di lihat bahwa dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tidak menuraikan secara jelas mengenai sanksi bagi konsumen yang melakukan tindak pidana, akan tetapi di kenakapan ketentuan umum apabila konsumen melakukan tindak pidana padahal seperti di ketahui bersama bahwa ini merupakan pidana khusus sehingga tidak tepat mengunakan hukum pidana secara umum, mengacuh pada asas hukum lex spesialis drogat legi generalis yang artinya hukum yang khusus mengenyampingan hukum yang umum, ini menunjukan penegakan hukum yang di lakukan dengan mengunakan ketentuan umum bagi konsumen yang melakukan tindak pidana sudah menciderai asas hukum pada umumnya. Penulis menduga semangat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini menciptakan paradigm bahwa konsumen secara mutlak dianggap selalu pada posisi lemah.
Senin tanggal 12, bulan September tahun 2019 penulis mendapatkan kesempatan untuk dimintai keterangan sebagai ahli atas perkara penipuan menggunakan media online di Ditreskrimsus Polda DIY, perkara tersebut dimuat di harian Kedaulatan Rakyat maupun Tribun, baik versi cetak maupun versi media online. Judul berita dalam Tribun sebagai berikut: “Polda DIY Ringkus Sindikat Penipuan Online dari Bandung dengan Nilai Transaksi Rp 107 Juta”[5] kemudian di SKH Kedaulatan Rakyat “Modus Bukti Transfer Bodong, Pelaku Penipuan Belanja Online Dibekuk”.[6] Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda DIY Kombes Pol Tony Surya Putra, mengatakan, bahwa pelaku penipuan online itu bisa dilakukan oleh komsumennya. Artinya korban bisa menimpa kepada pembelinya bisa juga produsen/ penjualnya.
Penipuan dengan modus yang sejenis di diwilayah hukum Polda DIY telah terjadi beberapa kali, contoh yang diberitakan oleh Tribunnews: “Bermodus Screenshot Palsu Saat Bertransaksi, Ibu Rumah Tangga Asal Tegal Lakukan Penipuan Online”[7], harianjogja.com: “:Seorang Ibu Rumah Tangga Ditangkap karena Menipu Toko Online dengan Bukti Transfer Palsu”[8].
Dalam beberapa perkara penipuan melalui media online yang terjadi ini menunjukkan bahwa perkembangan kejahatan dibidang ekonomi mengikuti perkembangan para pelaku ekonomi, sehingga perilaku jahat juga berkembang hingga merambah dunia jual-beli online.
Penulis melakukan pendalaman terhadap permasalahan dengan kajian normatif tentang perundang-undangan, namun tidak mendapatkan peraturan dalam undang-undang khusus mengenai pelaku sebagai konsumen dalam penipuan secara “online” ini, disisi lain dugaan awal penulis, seharusnya aturan mengenai hal ini diatur secara khusus dalam Undang-Undang khusus.
Keseimbangan dalam konstruksi Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transkasi Elektronik Nomor 19 tahun 2016 harus dikaji ulang, hal ini mengacu semangat dalam pembaharuan hukum pidana, mengutip pendapat Sri Endah Wahyuningsih dalam Alia Maerani, “Pembaharuan Hukum Pidana nasional berorientasi pada ide individualiasi pidana sebagai konsekuensi pentingnya pendekatan ke-manusiaan dalam setiap langkah kebijakan pembangunan nasional yang berlandaskan pada falsafah Pancasila dan di dalamnya ter-kandung sila kemanusiaan yang adil dan beradab”.[9]
Kutipan Pasal 28 ayat (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik, kemudian ancaman pidana dalam Pasal 45A Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000. 000.000,00 (satu miliar rupiah).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, konstruksi adalah susunan dan hubungan kata dalam kalimat atau kelompok kata. Makna suatu kata ditentukan oleh konstruksi dalam kalimat atau kelompok kata[10]. Sedangkan B.N. Marbun dalam Kamus Politik mengartikan rekonstruksi adalah pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula, penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula[11]
Pengguna internet di Indonesia selalu mengalami peningkatan, berdasarkan data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), terjadi peningkatan penggunaan internet yang signifikan dari tahun ke tahunnya. Pada tahun 2015, APJII menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta (34% dari jumlah penduduk), pengguna media sosial 79 juta (31%), dan pengguna ponsel 318,5 juta (125%). Survei APJII tahun 2016 menunjukan sebanyak 132,7 juta orang di Indonesia telah terhubung dengan internet dan pada tahun 2017 jumlah pengguna internet meningkat menjadi 143,26 juta[12].
Perkembangan e-commerce beberapa tahun ini membuat e-commerce menjadi pasar yang besar dalam dunia perdagangan. Hasil survei yang dilakukan A.T Kearney[13] dengan jumlah penduduk yang hampir 240 juta jiwa, pasar e-commerce Indonesia pada tahun 2013 mencapai US$ 1,3 miliar. Indonesia merupakan pasar potensial bagi bisnis e-commerce, pengguna internet di Indonesia mencapai 39 juta dan sekitar 5 juta atau 12 % diantaranya menggunakan internet sebagai sarana transaksi. Dalam perspektif yang lain yakini dari sisi victims orientied, untuk dan atas nama perlindungan korban, terhadap semua perbuatan yang merugikan korban, harus dituntut dan dipidana[14]
Penipuan bisa timbul dari manapun baik dari penjual maupun konsumen. disini ketika konsumen menipu .hal ini tentu menjadi ancaman bagi setiap usaha online, semakin banyaknya penjual online yang tidak bertanggungjawab (menipu konsumen) membuat banyak konsumen yang mulai ragu untuk membeli barang secara online. Untuk mengatasinya maka pelaku usaha harus dapat meyakinkan konsumen bahwa toko tempat konsumen berbelanja aman.[15]
Kutipan berita di new.detik.com berjudul “Robby Si Penipu di Olshop Hidup Mewah dari Hasil Kejahatan”. Robby Tanuwijaya (37), diduga telah meraup keuntungan yang besar dari hasil menipu penjual di online shop (olshop). Ia bahkan hidup bergelimang harta yang diduga berasal dari kejahatannya.[16] Kasubdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Herry Heryawan mengatakan bahwa kasus penipuan di olshop ini sudah sangat meresahkan karena sering terjadi dan korbannya banyak, "Modusnya si pelaku cari korban pedagang di olshop kemudian diajak ketemuan untuk transaksi. Dia ini mengedit foto m-banking, sesuai dengan harga jual barang yang disepakati, seolah-olah pelaku telah mentransfer uangnya," jelas Herry.[17]
Banyaknya pengguna media internet untuk melakukan pertukar informasi maupun transaksi jual-beli/ bisnis telah membawa ruang lingkup baru dalam tuntutan pengaturan hukum secara sempit yaitu Undang-Undang, dan dalam penelitian ini dispesifikasikan pada Pasal 45 a ayat (1) dan  Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE yang mencantumkan kata konsumen, sedangkan kata produsen/penjual tidak ada seakan tidak terlindungi.
Tujuan teori hukum dalam penelitian ini untuk menjelaskan, menilai kebenaran dan preskriptip (menyempurnakan nilai, budaya dan norma dimasa yang akan datang)[18], sehingga penelitian ini yang akan direkonstruksi atau disusun kembali ialah peraturan perundangan yang mengatur perlindungan hukum bagi produsen atau penjual  jika konsumen atau produsen melakukan kejahatan menggunakan media elektronik (e-commerce).
Berdasarkan problematika yang ada di latar belakang, kemudian penulis merumuskan permasalahan: Bagaimana perspektif keadilan dan keseimbangan pada Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transkasi Elektronik Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?, lebih lanjut ancaman pidana dalam Pasal 45A yang mengatur bahwa “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000. 000.000,00 (satu miliar rupiah)”.


B.        Metode Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen dengan titik tolak pada perspektif keadilan dan keseimbangan Undang-Undang Informasi dan Transkasi Elektronik Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis misalnya Undang-Undang atau bahan-bahan hukum yang lain, sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan”[19] . Sehubungan dengan tipe penelitiannya yuridis normatif maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hukum yang berlaku di Indonesia (hukum positif). Suatu analisis pada hakekatnya menekankan pada metode deduktif sebagai pegangan utama, dan metode induktif sebagai tata kerja penunjang analisis normatif mempergunakan bahan-bahan kepustakaan sebagai sumber data penelitiannya.[20]

C.    Pembahasan
1.         Teori Keadilan
Kekacauan hukum di negeri ini semakin lama semakin memprihatinkan, Keadilan semakin tidak mencapai yang dicitakan sebagai tujuan dibentuknya hukum. Gustav Radbruch berpendapat bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian dan kemanfatan.[21]  Secara filosofi pancasila sebagai landasan negara dan idiologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam sila yang ke 5 memiliki makna dan arti filosofis.  Sila Ke-5  yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” memiliki Lambang Padi dan kapas. Pada umumnya nilai pancasila digali oleh nilai nilai luhur nenek moyang bangsa Indonesia termasuk nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Karena digali oleh nilai nilai luhur bangsa Indonesia. pancasila mempunyai kekhasan dan kelebihan, sedangkan Prinsip keadilan yaitu berisi keharusan/ tuntutan untuk berkesesuaian dengan hakikat adil. maka manusia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia  Adil dalam sila keadilan sosial ini merupakan khusus dalam artian adil terhadap manusia yang di dasari dan di jiwai oleh kebenaran terhadap diri sendiri serta adil terhadap Tuhan. Perbuatan adil menyebabkan seseorang meperoleh apa yang menjadi haknya dan dasar dari hak ini ialah pengakuan kemanusian yang mendorong perbuatan manusia itu memperlakukan sesama sebagai mestinya. Dengan demikian pelaksanaan keadilan selalu bertali dengan dengan kehidupan bersama, berhubungan dengan pihak lain dalam hidup bermasyarakat.[22]
Keadilan bagi Plato suatu perbuatan yang baik menolak undang-undang diskriminatif, dan dengan itu membela keadilan, merupakan subjek mendapatkan manfaat praktis dari itu atau tidak. Keadilan merupakan nilai yang harus dibela tanpa harus dilihat apakah pembelaan terhadap keadilan secara konkret memberi manfaat pada pembelaan atau tidak. Keadilan harus menjadi watak manusia, orang baik adalah orang yang mampu bertindak adil. Hukum yang harus ditaati demi keadilan itu bagi dalam hukum alam positif.[23]
Menurut Theo Huijbers, hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-undang yang adil bila suatu hukum konkrit, yakni undang-undang yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, makna hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan tidak dapat dikatakan hukum lagi. Undang-undang hanya dapat menjadi hukum bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Adil merupakan unsur konstitusif segalam pengertian tentang hukum.[24]
Hukum dibuat oleh negara untuk memenuhi rasa keadilan dan menciptakan kesejahteraan bagi warganya. Hal ini tercermin dalam pembukaan UUD 1945 menggunakan perkataan “Kesejahteraan Umum”. Pertama-tama negara wajib memajukan kesejahteraan umum dengan menciptakan suatu basis kemakmuran bagi seluruh rakyat. Kemakmuran dimaksudkan ialah suatu keadaan dimana kebutuhan manusia dapat dipenuhi dengan wajar secara mantap atau terus menerus. Di Indonesia penerapan Welfare State sebagai bagian daripada tujuan negara artinya tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya. Definisi sederhana dari negara kesejahteraan adalah Bentuk pemerintahan yang demokratis itu menempatkan Negara sebagai institusi itu bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat, melalui serangkaian kebijakan publik di kebijakan ekonomi dan kebijakan sosial untuk pencapaian kesejahteraan dan keadilan sosial.[25] Peranan pemeritah kepada kesejahteraan negara sangat luas sehingga membutuhkan mekanisme yang terkontrol untuk membatasi tindakan pemerintah agar tetap dalam lingkup tujuan negara dalam  konstitusi. Konsep kesejahteraan negara lebih dipahami sebagai pengaruh terhadap sumber kesejahteraan pribadi warga negara sebagai bagian modal sosial. [26]
Salah satu karakteristik konsep negara kesejahteraan adalah kewajiban pemerintah untuk mengupayakan kesejahteraan umum atau bestuursorg. Menurut E. Utrecht, bestuursorg ini menjadi suatu tanda yang menyatakan adanya suatu welfare state.[27] Bagir Manan mengemukakan bahwa dimensi sosial ekonomi dari negara berdasar atas hukum adalah berupa kewajiban negara atau pemerintah untuk mewujudkan dan menjamin kesejahteraan umum dalam suasana sebesar-besarnya kemakmuran menurut asas keadilan sosial seluruh rakyat. Dimensi ini secara spesifik melahirkan paham negara kesejahteraan (verorgingstaat, welfare state).[28]
Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Indonesia menganut konsep negara kesejahteraan, sebenarnya tekad negara Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan umum bukan monopoli konsep welvarstaat.[29] Lebih lanjut Sjachran Basah mengemukakan bahwa jika adanya kewajiban pemerintahan untuk memajukan kesejahteraan umum untuk merupakan ciri konsep kesejahteraan, Indonesia tergolong sebagai negara kesejahteraan, karena tugas pemerintah tidaklah semata-mata hanya di bidang pemerintahan saja, melainkan harus juga melaksanakan kesejahteraan sosial dalam rangka mencapai tujuan negara yang dijalani melalui pembangunan nasional.[30]
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan ditujukan bagi keadilan yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.[31] Sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan proposional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu kesatuan. Inilah yang sekarang bisa kita pahami tentang kesamaan dan yang dimaksud bahwa semua warga adalah sama didepan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Pembedaan oleh aristoteles menimbulkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Keadilan dibedakan menjadi jenis keadilan distributif dan korektif. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya.[32]
Hal yang paling penting dalam peradilan distributif adalah bahwa imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Kedua, yang menjadi persoalan ialah ketidaksetaraan yang disebabkan oleh pelangaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan. Keadilan distibutif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan koreltif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada pelaku.[33] Sehingga untuk mencapai suatu keadilan di perlukan adanya jaminan hukum yang di konstruksi dan di akui oleh negara.
Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi[34],menjelaskan  bahwa hukum pidana adat yang tidak dibuat oleh negara atau political authority masih mendapat tempat dalam pengertian hukum pidana. Hukum adat tumbuh dan berakar dalam kesadaran dan pergaulan hidup masyarakat. Kenyataan masih berlakunya hukum adat di Indonesia sampai saat ini tidak dapat dipungkiri, dengan demikian maka perumusan hukum pidana adalah bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu negara dengan memperhatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan keha-rusan dan kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Menurut penulis keadaan dimana pelaku pelanggaran dapat dibebani pertanggungjawaban, serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyidikan, penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan. Perumusan ini mencakup juga hukum (pidana) adat, serta bertujuan mengadakan keseimbangan di antara pelbagai kepentingan atau keadilan.[35]
Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan (sebagai these). Jika seseorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya hukum (anti these), oleh karna itu harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan bagi pelakunya (synthese) atau mengembalikan suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum (these)[36]
Tanggungjawab dalam hukum pidana yang didasarkan asas legalitas ini menganut faham monolistik/individualis karena berdasar harus adanya kesalahan, sedangkan untuk mengikuti perkembangan rasa keadilan dan keberimbangan dalam masyarakat diharapkan kedepannya tanggungjawab. pidana tertentu dapat diperluas menjadi monodualis.[37] Theo Huijbers hukum harus terjalin terjalin erat dengan keadilan, hukum merupakan undang-undang yang adil bila suatu hukum konkrit yakni undang-undang yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, maka tidak dapat di katakan hukum lagi. Selain itu Saint Augustine (354- 439) menyatakan bahwa “unjust law is no law at all” (Hukum yang tidak adil bukanlah hukum sama sekali) kata- kata ini menunjukkan bahwa jika suatu peraturan tidak adil maka peraturan itu bukanlah hukum[38].Hukum dibuat oleh negara untuk memenuhi rasa keadilan dan menciptakan kesejahteraan bagi wargannya.
Hukum itu mengatur perhubungan antara anggota masyarakat dengan masyarakatnya. Artinya hukum itu mengatur hubungan antara manusia perseorangan dengan masyarakat. Karena lapangan Hukum itu luas sekali, menyebabkan Hukum itu tidak dapat diadakan suatu definisi singkat yang meliputi segalanya. Hubungan hukum dan moralitas terlihat dari beberapa pertanyaaan sebagai berikut:
a.       Bahwa hukum faktanya hukum mewujutkan cita- cita moral
b.      Moralitas dan hukum memiliki hubungan independen
c.       Hukum harus dapat mewujudkan nilai nilai moral
d.      Bahwa nilai nilai moral memengaruhi hukum
e.       Hukum secara definisi mewujudkan moralitas [39]
Penegakan hukum yang lebih luas, bukan hanya berkaitan dengan tingkah laku para pejabat di wilayah yudisial saja, akan tetapi  juga berkaitan  di wilayah eksekutif, administrasi dan legislatif. Oleh karena itu,  moral pelaksanaan penegakan hukum yang baik, sangat di pengaruhi dati proses bagaimana hukum itu dibuat dan dijalankan. Pentingnya pemahaman prinsip penegakan hukum yang berkeadilan dengan pemahaman  hak dan kewajiban oleh penentu keputusan dan kebijakan, merupakan ukuran bagi masyarakat dalam menilai kinerja para pejabat penegakan hukum, kemudian para penegak hukum harus secara efektif melaksanakan kontrol sosial secara optimal, dengan harapan kualitas keputusan dan kebijakan penegak hukum akan terjaga. Tingginya kualitas setiap keputusan para pejabat penegak hukum yang dapat di ukur jika terpenuhinya prinsip prediktabilitas, accountabilitas, transparency dan widely participated, prinsip-prinsip tersebutmampu mengindikasikan tingginya kadar demokrasi di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Pemahaman prinsip penegakan hukum secara baik, oleh para penegak hukum dan para pejabat pemerintahan akan mempengaruhi kehati-hatian dalam bertindak,  untuk menjaga kualitas moral-politik dan moral-legal pada setiap keputusan-keputusannya. Selain itu masyarakat juga dapat memberikan tolok-ukur dan menilai apakah badan legislatif, baik di pusat maupun di daerah, telah menguasai dan mampu melaksanakan gaya moral penegakan hukum yang baik atau belum. Masyarakat mampu menilai kepatuhan anggota-anggota badan legislatif pada ketentuan-ketentuan yang ada yang berkaitan dengan mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan demi terjaganya sistem hukum nasional. Kepatuhan pada mekanisme dan prosedur sistem yang ada, pada akhirnya akan menjamin terpenuhinya tuntutan prediktabilitas dan accountabilitas.
Permasalahan injustice penegakan hukum merupakan masalah gaya dan moral pengelolaan proses, yang membutuhkan pemahaman pengertian tujuan dan makna yang lebih substantif. permasalahan penegakan hukum adalah masalah  yang terkait erat dengan kepentingan masyarakat di suatu negara. Dari perspektif paham demokrasi, persoalan penegakan hukum merupakan permasalahan publik predictability, publik akuntabilitas, publik transparansi, dan publik partisipasi.  Permasalahan gaya moral penegakan hukum yang baik, jika pemahaman penegakan hukum dimaksudkan untuk mengontrol kepatuhan prosedural para pejabat pemerintahan dan dijadikan sebagai norma hukum yang tertinggi, maka harus dipahami bahwa dalam penegakan hukum itu juga terdapat kepentingan dan akses masyarakat mengetahui informasi suatu range of predictability mengenai tindakan-tindakan para pejabat penegak hukum.
Maka dari itu gaya moral penegakan hukum yang baik dan relevan dengan kepentingan masyarakat, maka sangat diperlukan kesadaran masyarakat atas kewajiban dan hak-hak yang dimiliki untuk memantau dan menilai kinerja para pejabat penegak hukum di badan-badan eksekutif beserta para pejabat yang mengisi jajaran birokrasi, sipil atau militer, serta badan-badan legislatif dan badan-badan yudisial. Kesadaran seperti ini perlu dipahami dan dikembangkan kepada masyarakat sehingga dapat mengevaluasi berdasarkan tolok-ukur yang ada.  Dengan demikian maka masyarakat dapat mengevaluasi kinerja para pejabat penegak hukum dan mencegahnya dari tindakan-tindakan yang menyimpang
2.         Teori Keseimbangan
Pertimbangan dalam penjatuhan hukum pidana, makan menurut Mackenzie dalam buku Ahmad Rifai, bahwa dalam mempertimbangkan penjatuhan pidana, maka dikenal beberapa teori atau pendekatan, diantaranya adalah teori keseimbangan yang artinya keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang kepentingan pihak-pihak yang tersangkut-paut atau berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan pihak korban[40] Dalam penelitian ini keseimbangan yang ditentukan oleh Undang-Undang antara konsumen dan produsen tidaklah imbang, mengingat aturan mengenai produsen yang melakukan kejahatan diatur, tetapi ketika konsumen yang melakukan kejahatan tidak diatur (terdapat kekosongan hukum).
Ketidak seimbangan menimbulkan ketidakadilan, sehingga dalam Pasal 28 ayat (1) perumusan kata “ … mengakibatkan kerugian konsumen” pada saat ini sudah tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, hal ini menunjukkan teori keadilan hukum memiliki bagian/ penjabaran dalam asas kesimbangan “Equality Before The Law”.
Asas Equality Before The Law adalah suatu asas kesamaan menghendaki adanya keadilan dalam arti setiap orang adalah sama di dalam hukum, setiap orang diperlakukan sama kedudukannya, dalam Undang-Undang Informasi dan Transkasi Elektronik Nomor 19 Tahun 2016  tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam perspektif keadilan, tampak ketidaksamaan dalam memandang perlunya perlindungan kepada konsumen maupun produsen. Persepsi terhadap hukum penting artinya dalam rangka untuk memahami adil tidaknya hukum, dan ada tidaknya kepatuhan terhadap hukum[41] Ramly telah mewariskan sebuah buku ‘sederhana’ tetapi sangat berguna: ‘Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law) di Indonesia’.
Negara Indonesia bersistem konstitusi atau berdasarkan hukum dasar, sehingga  hirarki perundangan, dimana UUD 1945 berada di puncak piramida sedangkan ketentuan yang lain berada di bawah konstitusi, sesuai dengan “stufenbau theory” maka Undang-Undang dibawahnya harus sesuai dengan UUD 1945 sebagai “payung”.
Selanjutnya keadilan dalam penelitian ini akan dianalisis berdasarkan ajaran prioritas baku Gustav Radbruch dalam Achmad Ali, seorang filsuf hukum Jerman mengajarkan konsep tiga ide dasar hukum yang oleh sebagian pakar diidentikan sebagai tiga tujuan hukum, yaitu: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum[42] Perlindungan hukum pidana yang lebih melindungi konsumen (pembeli) dalam Undang-Undang Nomo 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menurut penulis akhirnya membuat teori Keadilan Hans Kelsen tidak terpenuhi. Menurut Hans Kelsen[43] dalam perkuliahan program Doktor S3 Unissula tatanan hukum yang dapat mermberikan keadilan adalah tatanan hukum yang positif, yaitu tatanan yang dapat bekerja secara sistematis. Keadilan adalah yang sudah tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka dalam UU ITE tersebut, unsur keadilan belum terpenuhi karena masih menerapkan perlindungan yang menitikberatkan pada konsumen (pembeli). Hukum ditaati karena hukum berisi peraturan negara, yang tidak bertentangan dengan peraturan dasar peraturan dasar adalah peraturan tertinggi yang harus diikuti oleh peraturan dibawahnya.
3.         Teori Sistem Hukum
Teori Sistem Hukum menurut Lawrence M.Friedman mengandung komponen-komponen yaitu struktur, substansi dan budaya hukum[44]  Yang termasuk dalam Struktur Hukum adalah institusi/lembaga yang diciptakan oleh sistem hukum salah satu diantara institusi tersebut Yang termasuk dalam Struktur Hukum adalah institusi/lembaga yang diciptakan oleh sistem hukum salah satu diantara institusi tersebut adalah peradilan dengan berbagai perlengkapannya. Substansi meliputi peraturan hukum, budaya meliputi nila dalam ada dalam masyarakat yang menjadi dasar dari hukum. Teori sistem hukum terdapat substansi hukum untuk melakukan kajian menjawab rumusan masalah penelitian ini, karena masih ketimpangan dari salah satu komponen sistem hukum yaitu pada pada UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi dan meski sudah diperbaharui dengan UU No. 19 tahun 2016 tentang ITE.
Lon Fuller menekankan pada isi hukum positif. Untuk mengenal hukum sebagai sistem maka harus dicermati apakah ia memenuhi delapan azas atau principles of legalit, yaitu:[45]
a. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan artinya ia tidak boleh mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc; b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan; c. Peraturan tidak boleh berlaku surut;
d. Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti;
e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain;
f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan;
g. Peraturan tidak boleh sering dirubah-rubah;
h. Harus ada konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Hukum sebagai tatanan (order) merupakan realitas dinamis. Baik secara alamiah maupun atas rekayasa kesengajaan manusia, pasti berubah dari waktu ke waktu[46], hal ini sesuai dengan semangat Undang-Undang No. 19 tahun 2016 tentang ITE, yang mencantumkan perlindungan terhadap konsumen tetap kurang mempertimbangkan bahwa kejahatan yang dilakukan konsumen sangat banyak terjadi, dan belum diaturnya rumusan norma dalam Pasal di dalam undang-undang tersebut menimbulkan kekosongan hukum.
4.     Asas Hukum Berdasarkan Pancasila
Asas hukum mempunyai sifat dinamis (kuantitatif), berubah sesuai dengan perubahan serta perkembangan hukum; memungkinkan dintentukan pengecualian-pengecualian (de uitzondering bevestigt de regel); asas yang bersifat abstrak dan yang sudah lebih konkrit.[47] Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum harus dijabarkan sesuai dengan pendapat Hans Kelsen, maka undang-undang yang memuat kesamaan dimuka hukum juga tertulis dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, yang merupakan penjabaran dari sila ke 5 Pancasila, yaitu “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Kata persamaan di mata hukum bukan hal yang baru dalam hukum acara pidana di Indonesia, seperti yang tercantum dalam Pasal 27 ayat 1 Undang – Undang Dasar tahun 1945 yang artinya warga Negara Indonesia baik masyarakat biasa, warga asing ataupun pejabat sekalipun di hadapan hukum di anggap sama tidak membedakan satu sama lain dan tidak ada perlakuan yang khusus terhadap orang yang berkuasa atau yang mempunyai uang banyak, jadi asas ini ingin mengimplementasikan Hak Asasi Manusia (Human Rights) dan keadilan hukum yang akan di peroleh setiap warga Negara Indonesia[48].
Sri Endah Wahyuningsih, mengutip Roselan Saleh, bahwa Asas-asas hukum yang sudah diakui atau dikembangkan sebagai Asas Hukum Nasional, terutama dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan perubahan masyarakat Indonesia manupun masyarakat dunia, oleh karena itu pengembangan asas-asas hukum nasional harus berorientasi ke masa depan (futurologis-sistemik-holistik).[49] Hal ini menunjukkan bahwa asas dalam UU No. 19 tahun 2016 tentang ITE, harus direvisi/ direkontruksi agar tidak menggunakan konstruksi umum pada saat Undang-Undang ini dibuat sehingga posisi produsen/ penjual yang dominan dipersalahkan, namun juga mempertimbangkan perkembangan mulai banyaknya pembeli (konsumen) yang memanfaatkan media sosial untuk berbuat kejahatan.
5.      Teori Pemidanaan
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Hukum, yang  secara tegas tercantum dalam penjelasan pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya.
Di Negara Indonesia yang menjadi asas hukum pidananya adalah semboyan yang berbunyi : “ Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali “ yang artinya, tindak pidana tidak dapat dihukum kalau belum ada undang – undangya lebih dahulu. Semboyan tersebut berasal dari Von Feuerbach, dimaksudkan untuk melindungi warga Negara dari tindakan sewenang – wenang penguasa (hakim). Semboyan tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yang menyatakan: “Tiada suatu perbuatan/ tindakan yang dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang -undang yang ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan itu“. Istilah “undang-undang“ di sini harus diartikan secara luas, yaitu termasuk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh yang berwajib (misalnya: peraturan daerah yang mengandung ancaman hukuman). Ketentuan di dalam Pasal 1 ayat 1 itu bermakna dua :
1.      Sebagai kepastian, bahwa undang – undang hanya berlaku untuk ke depan dan tidak berlaku surut.
2.      Sebagai kepastian, bahwa sumber hukum pidana tiada lain dari Undang – undang (di dalam arti luas).
Ketentuan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) di atas dikecualikan di dalam yang tersebut dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) yang berbunyi : “Jika terjadi perubahan dalam peraturan hukum sesudah waktu dilakukan perbuatan itu, maka dipakailah ketentuan yang lebih baik/ ringan bagi tersangka“.[50]  Syarat suatu Undang-undang :
1.      Rumusannya harus jelas, cermat (Asas Lex Certa), artinya Pasal- Pasal Undang-Undang ( UU ) tersebut tidak boleh menimbulkan penafsiran ganda.
2.      Batasan wewenang terhadap rakyat (oleh penguasa harus tajam (Pasal 1 ayat 1 KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) dan Pasal 3 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Sifat perundang-undangan Pidana
1.      Melindungi rakyat dari tindakan pemerintah tanpa batas atau sewenang – wenang.
2.      Punya fungsi instrument dalam melaksanakan pemerintahan, mana yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. segi timbul atau dicetuskannya Asas Legalitas
3.      Untuk melindungi rakyat (dari kesewenang- wenanganan penguasa Untuk melindungi penguasa dari rakyat (Pasal 104, 154 KUHP ( Kitab Undang- Undang Hukum Pidana). Ajarannya: Von Psichologische Zwang (Paksaan Psikologis) yang berarti bahwa :
a)      Untuk memaksa rakyat berbuat menurut hukum, maka diberi ancaman bagi yang melawan.
b)      Agar ancaman pidana efektif dan ada efeknya, tiap – tiap pelanggaran pidana harus dipidana.
c)      Dalam penerapan pidana berlaku asas “ Kesamaan “ artinya dalam keadaan yang sama diperlakukan sama.
Rumusannya :
1)      Noela Poena Sine Lege = tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang – undang.
2)      Noela Poena Sine Crimine = tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
3)      Nullum Crimen Sine Poena Legali = tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang – undang.25
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Hukum dimana negara indonesia menjamin kepastian hukum dalam memberikan proses keadilan dengan cara menuangkan semua bentuk ketentuan pidana dalam perundang undangan. Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.[51]
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban, dan juga masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.
Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai upaya pembalasan dendam, namun yang paling penting ialah sebagai upaya pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman kepadamasyarakat sekaligus kepada terpidana sendiri agarmenjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik. Demikianlah konsepsi baru mengenai pemidanaan bukan lagi sebagai penjeraan berlaka namun sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Konsepsi tersebut di Indonesia disebut sebagai sistem Pemasyarakatan[52]
Sistem  pemasyarakatan  diatur  dalam  UU RI  No.12  tahun  1995  tentang  Pemasyarakatan.  Adapun  pengertian  sistem  pemasyarakatan  menurut  UU RI  No.12  tahun  1995  tentang  Pemasyarakatan  tersebut  sebagai  berikut:“Sistem pemasyarakatan  adalah  suatu  tatanan  mengenai  arah  dan  batas  serta  cara pembinaan   warga   binaan   pemasyarakatan   berdasarkan   pancasila   yang dilaksanakan  secara  terpadu  antara  pembina,  yang  dibina dan  masyarakat untuk  meningkatkan  kualitas  warga  binaan pemasyarakatan  agar  menyadari kesalahan,  memperbaiki  diri,  dan  tidak  mengulangi  tindak  pidana,  sehingga dapat  diterima  kembali  oleh  lingkungan  masyarakat,  dapat  aktif  berperan dalam  pembangunan,  dan dapat  hidup  secara  wajar  sebagai  warga  yang  baik dan bertanggung jawab[53].
Mengutip Sri Endah Wahyuningsih bahwa tujuan pemidanaan dalam RUU KUHP 2018 beberapa hal dapat dikatakan seudah mencerminkan asas kesimbangan yang bersumber dari nilai-nilai kearifan religius, akan tetapi masih ada yang perlu dilengkapi.[54] Dalam hal ini penulis menganalogikan dengan UU No. 19 tahun 2016 tentang ITE yang masih timpang dalam hal pengaturan pelaku tindak pidana seorang konsumen maupun produsen.
Fungsi hukum pidana adalah untuk melindungi sekaligus untuk menjaga keseimbangan pelbagai kepentingan (masyarakat, negara, pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana). Terjadi perluasan optik perkembangan ilmu hukum pidana dan kriminologi, yakni perhatiannya tidak hanya tertuju kepada kejahatan dan pembuatnya seperti dulu-dulu, akan tetapi juga kepada orang-orang selain pembuat yaitu, korban, orang-orang yang menyaksikan, anggota masyarakat lainnya.[55] Dalam teori pemidanaan ini mulai muncul pemikiran untuk menyeimbangkan peraturan pemidanaan yang tidak hanya melindungi pelaku, namun juga korban, sehingga UU No. 19 tahun 2016 tentang ITE hanya mempertimbangkan korban dari pihak konsumen, sedangkan dari pihak produsen belum terlindungi, sedangkan dalam perkembangan globalisasi memungkinkan produsen/ penjual bahan baku, disisi lain merupakan konsumen dari perusahaan yang menjual barang mentah, dalam hal ini maka pelaku kejahatan yang berposisi sebagai konsumen, secara strata sangat mungkin memiliki kekuatan ekonomi yang cukup, bukan seperti konsumen akhir (pembeli) pada paradigma umum atau hukum umum (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Fungsi hukum pidana maupun secara khusus pemidanaan hingga lanjutan dalam hal pembinaan dalam lembaga pemnasyarakatan akan menjadi kurang tepat jika seorang konsumen/ pembeli yang melakukan kejahatan melalui media sosial kemudian tidak dihukum menggunakan undang-undang yang semestinya, tapi justru seakan direduksi menggunakan undang-undang yang bersifat umum (generalis) yaitu KUHP, karena reduksi ancaman hukum akan otomatis berkorelasi lama hukuman.
6.         Tanggung Jawab Pidana Oleh Konsumen Melalui Media Elektronik
Prinsip perjanjian melalui Internet dapat terlaksana dengan baik dapat diperhatikan pula ciri-ciri perjanjian melalui Internet atau ciri kontrak dagang elektronik yaitu[56]:
1.      Cara Berkomunikasi Kedua belah pihak harus memperhatikan bahwa situasi untuk memberikan informasi untuk hal yang tidak pantas (illegal).
2.      Garansi dan Vrijwaring; Dalam perjanjian tersebut harus dinyatakan jaminan yang harus dibuat oleh salah satu pihak (penjual) dan harus bebas dari unsur penjiplakan, memperhatikan hak intelektual dan tidak melanggar ketentuan hukum yang ada.
3.      Biaya; Para pihak dapat mengadakan kesepakatan bahwa kewajiban membayar ganti rugi dilakukan dengan risk sharing (pembagian risiko).
4.      Pembayaran; Mengenai harga dan cara pembayaran apakah sekaligus kredit ataupun pembayaran berdasarkan jumlah tertentu dari tugas yang telah diselesaikan.
5.      Kerahasiaan; Dalam hal ini perlu dibuat untuk memastikan agar pihak terikat untuk menjaga kerahasiaan informasi yang terdapat dalam perjanjian[57].
Dalam Pasal 1, butir 2 UU ITE, disebutkan bahwa Transaksi Elektronik adalah:  “Perbuatan hukum yang dilakukan dengan mengunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya, transaksi jual beli secara elektronik merupakan salah satu perwujudan ketentuan di atas”.  Kemudahan berkomunikasi secara elektronik, maka perdagangan pada saat ini sudah mulai merambat ke dunia elektronik. Transaksi dapat dilakukan dengan kemudahan teknologi informasi, tanpa adanya halanganjarak. Penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan baik dalam lingkup publik ataupun privat. Pelaku usaha yang menawarkan barang atau jasa secara elektronik wajib menyediakan informasi mengenai syarat-syarat kontrak, produsen dan produk secara lengkap dan benar. Dalam Pasal 17 UU ITE dalam:
1)      Ayat (1) “penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat”.
2)      Ayat (2) “para pihak yang melakukan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung.”
Dalam setiap pelaksanaan transaksi diatur pula mengenai klausul Tanggung jawab yang  merupakan suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya5. Tanggung jawab Hukum merupakan kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.  Menurut Ridwan Halim menyatakan tanggung jawab hukum sebagai sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berperilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada.[58] Dalam hal berkaitan dengan tanggungjawab Transaksi jual beli secara elektronik dilakukan oleh pihak yang terkait, walaupun para pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain, tetapi berhubungan melalui Internet. Jual beli secara elektronik, pihak-pihak terkait: [59]
a.       Penjual atau merchant yang menawarkan sebuah produk melalui Internet sebagai pelaku usaha.
b.      Pembeli yaitu setiap orang tidak dilarang oleh undang-undang, yang menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual.
c.       Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada penjual atau pelaku usaha/merchant, karena transaksi jual beli dilakukan secara elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka berada pada lokasi yang berbeda sehingga  pembayaran dapat dilakukan melalui perantara dalam hal ini yaitu Bank.
d.      Provider sebagai penyedia jasa layanan akses Internet.
Dalam hal mekanisme pelaksanaan transaksi  elektronik pelaku usaha wajib bertanggungjawab dalam penyediaan informasi yang di uraikan dalam berbagai pasal undang-undang ITE antara lain sebagai berikut:
1)      Pasal 9 UU ITE dijelaskan bahwa: “pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elekronik harus menyediakan informasi yang dilengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
2)      Dalam Pasal 10 Ayat (1) UU ITE dijelaskan bahwa: “setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga Sertifikasi keandalan”.
3)      Pasal 12 Ayat (3) UU ITE juga menjelaskan bahwa “setiap orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud Ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul. Artinya setiap orang bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul akibat pelanggaran yang dilakukan terhadap pemberian pengamanan atas tanda tangan elektronik
Friedrich August von Hayek mengatakan, semua bentuk dari apa yang disebut dengan tanggung jawab kolektif mengacu pada tanggung jawab individu. Istilah tanggung jawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi tanggung jawab itu sendiri. Dalam tanggung jawab lingkungan sebuah masalah jelas bagi setiap pendelegasian kewenangan (tanggung jawab). Karena itulah para penganut liberal menekankan pada subsidiaritas, pada keputusan-keputusan yang sedapat mungkin ditentukan di kalangan rakyat.[60]
Dalam hal Pemakaian Internet dan bisnis melalui Internet dewasa ini berkembang sangat pesat sehingga sektor hukum pun diminta untuk turun tangan sehingga bisnis melalui Intenet seperti itu dapat dicapainya ketertiban dan kepastian, disamping tercapai pula unsur keadilan bagi para pihak. Beberapa prinsip hukum yang bersentuhan dengan e-commerce yang mestinya diakui sektor hukum adalah sebagai berikut :[61]
a.       Semua informasi elektronik dalam bentuk data elektronik mestinya memiliki kekuatan hukum sehingga mempunyai kekuatan pembuktian. Dengan demikian, data elektronik mestinya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan dokumen kertas.
b.      Kontrak yang dibuat secara elektronik mempunyai akibat hukum dan kekuatan pembuktian yang sama dengan kontrak yang dibuat secara tertulis diatas kertas.
c.       Tanda tangan elektronik mestinya mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan tanda tangan biasa.
Dewasa ini Yang menjadi kelemahan dalam sistem penegakan hukum ini adalah terbatasnya sistem yang mengatur mengenai tanggungjawab hukum konsumen hal ini di karenakan banyak pasal mengatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha dan tidak adanya perlindungan hukum terhadap pelaku usaha melainkan banyak perlindungan bagi konsumen sehingga apabila konsumen yang melakukan tindak pidana maka hukum yang di pakai adalah hukum yang secara umum di pakai sehingga sangat tidak relevan dengan konsep lex spesialis drogat legi generalis. Yang mana ketentuan ketentuan yang di dapat dalam aturan hukum umum tetap berlaku kecuali diatur khusus dalam aturan hukum tersebut, dan aturan lex spesialis harus sejajar dengan aturan atau undang-undang yang umum, serta ketentuan lex spesialis harus berada pada lingkungan hukum yang sama dengan lex generalis yang artinya suatu aturan hanya memberikan suatu gamabaran kekhususan sehingga di kesampingan yang umum, akan tetapi yang terjadi saat ini dalam perkara konsumen adalah adanya aturan khusus akan tetapi dalam pelaksanaannya masih mengunakan aturan umum yang dianggap tidak sesuai deng asas tersebut, untuk itu perlu nya pembanguan paradigma baru dalam membentuk produk hukum yang kemudian memberikan payung hukum di indonesia, sehingga tanggung jawab hukum yang dilakukan jelas dan tidak multitafsir ataupun kekosongan hukum.
7.         Teori Kebijakan Hukum Pidana
Teori Terapan yang digunakan dalam penulisan disertasi ini adalah Teori Kebijakan Hukum Pidana. Kata kebijakan berasal dari bahasa Inggris, yakni policy atau dalam bahasa Belanda disebut politiek, yang secara umum diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah dalam arti luas termasuk aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundangundangan, dan pengaplikasian hukum atau peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).[62]
Immanuel Kant mengemukakan, bahwa dijatuhkannya pidana merupakan suatu tuntutan kesusilaan. Ditegaskan pula bahwa pidana yang dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tidak dapat dikatakan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Pidana yang dijatuhkan tersebut mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid).[63] Menurut Teori Gabungan dibicarakan dalam konteks yang tidak dapat dipisahkan dengan teori pembalasan. Penulis awal yang mengajukan “teori gabungan” adalah Pellegrino Rossi yang mengatakan, bahwa pembalasan sebagai asas dari pidana dan beratnya tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun ditegaskan bahwa pidana memiliki pelbagai pengaruh antara lain “perbaikan sesuatu yang rusak akibat tindak pidana dalam masyarakat dan prevensi general”.[64] Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa konsumen yang melakukan kejahatan melalui media elektronik juga harus diberikan pembelajaran agar masyarakat secara umum tidak melakukan perbuatan ini.
Mengutip I. Adi Rimbawan, Gunarto, dan Sri Endah Wahyuningsih, dalam artikel berjudul: Ideal Reconstruction of Crime Liability of Underage Drivers Causing The Loss Of Life of Others Based on Values of Justice, dikatakan bahwa “From the fact that the society develops so that there is a change in the values that live in society, the law with the primary aim of achieving peace, order, prosperity, prosperity, justice and legal certainty must be in line with the development of society so that the law can achieve its objectives. Bambang Poernomo, says that : The growth of reality in society is closely related to changes with the circles of the causes of reality both within oneself to each individual human being, and to the social conditions and environments that can result in the improvement and development of different criminal behavior Time-to-time and unpredictable.[65] Pertumbuhan realitas dalam masyarakat berkaitan erat dengan perubahan dengan lingkaran sebab-sebab realitas baik di dalam diri masing-masing manusia individu dan kondisi sosial dan lingkungan yang dapat menghasilkan peningkatan dan pengembangan perilaku kriminal yang berbeda dari waktu ke waktu dan tidak dapat diprediksi, sehingga perkembangan modus kejahatan juga mengalami perkembangan (aras tinggi) yaitu konsumen yang menggunakan media elektronik untuk melakukan kejahatan dengan mudah dan secapat secara acak/ sporadis.
8.         Konsep Keadilan Yang Ideal Di Jamin Dengan Suatu Kepastian
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan[66]. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Menurutnya, kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk, melinkan bukan hukum sama sekali. Kedua sifat itu termasuk paham hukum itu sendiri(den begriff des Rechts).[67]Hukum adalah kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaanya dengan suatu sanksi[68].Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus incertum, ibi jus nullum (di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum)[69].
Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi. Pertama, mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam hal-hal uang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum ia memulai perkara. Ke dua, kepastian hukum berarti keamanan hukum. Artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim[70].
Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya memang lebih berdimensi yuridis. Namun, Otto ingin memberikanbatasan kepastian hukum yang lebih jauh. Untuk itu ia mendefinisikan kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:
a)      Tersedia aturan-aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh (accessible), diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara;
b)      Instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
c)      Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
d)     Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum, dan;
e)      Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan[71].
Hukum yang di tegakkan oleh instansi penegak hukumyang diserai tugas untuk itu, harus menjamin “kepastian hukum” demi tegaknya ketertiban dan keadilan dalam kehidupan masyarakat. Ketidakpastian hukum, akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri. Keadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suasana social disorganization atau kekacauan sosial[72].
Kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” (kepastian tentang hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan(gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen),bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, ”kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.[73]
Masalah kepastian hukum dalam kaitan dengan pelaksanaan hukum,memang sama sekali tak dapat dilepaskan sama sekali dari prilaku manusia. Kepastian hukum bukan mengikuti prinsip “pencet tombol” (subsumsi otomat), melainkan sesuatu yang cukup rumit, yang banyak berkaitan dengan faktor diluar hukum itu sendiri. Berbicara mengenai kepastian, maka seperti dikatakan Radbruch, yang lebih tepat adalah kepastian dari adanya peraturan itu sendiri atau kepastian peraturan (sicherkeit des Rechts).[74]
Pembuat Undang-Undang membuat konstruksi kalimat/ frasa mengakibatkan “… kerugian konsumen”, menurut pendapat penulis merupakan ketidak seimbangan, mengingat dewasa ini yang dapat melakukan tindak pidana tidak hanya produsen, melainkan juga para konsumen yang memang memiliki itikad tidak baik, maka dalam UU ITE yang menitikberatkan perlindungan kepada konsumen dalam porsi yang lebih besar justru merupakan kriminalisasi berlebihan kepada produsen/ penjual, kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, sehingga menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip keadilan, karena kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan berpengaruh pula pada mindset penegak hukum dalam penyidikan maupun penuntutan dalam hukum pidana formil.
Adanya kekosongan hukum yang terjadi dalam penegakan hukum bagi tindak pidana yang di lakukan oleh konsumen tersebut tidak memberikan suatu jaminan kepastian hukum. Beberapa perkara yang tidak dapat dilakukan proses hukum lebih lanjut di karena tidak adanya sanksi hukum bagi konsumen dapat di lihat dengan tidak adanya payung hukum atau adanya kekosongan hukum.  “kekosongan hukum” dapat diartikan sebagai ”suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum yang mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat,” sehingga kekosongan hukum dalam hukum positif lebih tepat dikatakan sebagai “kekosongan undang-undang atau peraturan perundang-undangan.” Penyebab terjadinya kekosongan hukum yaitu, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik dari legislatif maupun eksekutif pada kenyataan memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh peraturan tersebut telah berubah. Selain itu, kekosongan hukum dapat terjadi karena hal-hal atau keadaan yang terjadi belum dapat diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, atau sekalipun telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap. Hal ini sebenarnya selaras dengan pameo yang menyatakan bahwa ”terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan senantiasa tertinggal atau terbelakang dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat. Dapatlah dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang berlaku pada suatu negara dalam suatu waktu tertentu merupakan suatu sistem yang formal, yang tentunya agak sulit untuk mengubah atau mencabutnya walaupun tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang harus diatur oleh peraturan perundang-undangan tersebut.[75]
Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum, terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum (rechtsverwarring). Dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, selama ada tata-cara yang jelas dan diatur berarti bukan berarti tidak boleh. Hal inilah yang menyebabkan kebingunan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan apa yang harus dipakai dan diterapkan. Dalam masyarakat menjadi tidak ada kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur hal-hal keadaan yang terjadi.
Adapun solusi apabila terjadi kekosongan hukum sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa perkembangan masyarakat selalu lebih cepat dari perkembangan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sebenarnya dibuat sebagai panduan bersikap bagi masyarakat yang dapat menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Hukum yang stabil dapat menjadi ukuran yang pasti di masyarakat, namun hukum yang jalan di tempat pada kenyataannya akan menjadi hukum yang usang dan tertinggal jauh oleh perkembangan masyarakat. Untuk itu,sangat diperlukan perkembangan masyarakat
Konstruksi hukum tidak boleh di luar sistem material positif (Scholten). Dalam konstruksi hukum ini terdapat tiga bentuk, yaitu:
a.       Analogi penafsiran dari pada suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya “menyambung aliran listrik” dianggap sama dengan “mengambil aliran listrik”. Analogi hukum pada prinsipnya berlaku untuk masalah-masalah perdata (privat), terutama sekali dalam hukum prikatan (verbinterissenrecht), sedangkan dalam hukum publik tidak boleh digunakan analogi.
b.      Penghalusan hukum memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehinga seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan. Penghalusan hukum ialah dengan cara mempersempit berlakunya suatu Pasal yang merupakan kebalikan dari analogi hukum. Sifat dari pada penghalusan hukum yaitu tidak mencari kesalahan dari pada pihak, dan apabila satu pihak disalahkammaka akan timbul ketengangan.
c.       Argumentum a contrario penafsiran undang-undang yang di dasarkan atau pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu Pasal dalam undang-undang[76]
9.      Konsep penegakan hukum yang ideal
Penegakan hukum ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa "Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran". Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai: "Kita tidak hidup di dunia yang adil". Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan.
Banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya Model paling ideal adalah model perpaduan dari hukum yang timbul dari kearifan local dengan hukum Progressif yang menganut ideologi yang pro keadilan dan pro rakyat. Hukum bukan hanya sebuah bangunan peraturan melainkan juga bangunan ide, kultur dan cita-cita.
Prinsip utama dalam memahami penegakan hukum yang ideal ialah dengan kemampuan para penegak hukum dalam memahami prinsip-prinsip keadilan hukum.  Pemahaman prinsip keadilan hukum oleh penegakan hukum, dapat digunakan sebagai ukuran kinerja dalam menegakan hukum. Benar dan tidak penyelenggaraan penegakan hukum, dapat dilihat dari penerapan yang bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip penegakan hukum yang baik, mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi dengan elemen-elemennya, seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan hak asasi manusia, kebebasan, transparansi, pembagian kekuasaan dan kontrol masyarakat. Oleh karena itu, suatu pelaksanaan penegakan hukum dapat disebut bergaya moral baik, apabila pelaksanaannya memenuhi elemen-elemen prinsip keadilan.
Prinsip keadilan dalam  penegakan hukum itu berlegitimasi atau taat asas, sehingga kurang lebihnya mampu terprediksikan sebelumnya (predictable). Selain itu pelaksana penegakan hukum harus mampu dipertanggungjawaban dihadapan masyarakat (accountable). prosesnya tidak dilakukan secara keterbukaan yang mampu meminimalisasi  kolusi (transparency). prosesnya keterbuka untuk mengakomodasi opini kritis masyarakat (participated), untuk mendapatkan Partisipasi oleh masyarakat dapat diwujudkan jika terdapat penerapan prinsip-prinsip transparan.
Membangun keadilan dalam penegakan hukum yang baik, maka sangat ditentukan oleh sikap dan perilaku para penegak hukum. Keterbukaan merupakan hal yang paling urgen untuk diterapkan dalam pembinaan penegak hukum, Kejujuran dan keterbukaan sangat dipengaruhi oleh keimanan dan integritas seseorang. Sebagai konsekuensi, pemerintah dituntut untuk meningkatkan kemampuan sumber daya insaninya sesuai dengan bidang tugasnya, kesejahteraannya, termasuk menentukan sikap dan perilakunya, agar mampu berpikir dengan baik dan benar, dalam menerapkan prinsip-prinsip keadilan hukum.

D.    Kesimpulan
Pembuat Undang-Undang membuat konstruksi kalimat/ frasa mengakibatkan “… kerugian konsumen”, menurut pendapat penulis merupakan ketidak seimbangan, mengingat dewasa ini yang dapat melakukan tindak pidana tidak hanya produsen, melainkan juga para konsumen yang memang memiliki itikad tidak baik, maka dalam UU ITE yang menitikberatkan perlindungan kepada konsumen dalam porsi yang lebih besar justru merupakan kriminalisasi berlebihan kepada produsen/ penjual, kriminalisasi harus dilakukan secara hati-hati, sehingga menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip keadilan, karena kriminalisasi dalam hukum pidana materiil akan berpengaruh pula pada mindset penegak hukum dalam penyidikan maupun penuntutan dalam hukum pidana formil.
Posisi yang seakan tidak seimbang antara produsen/ penjual dengan konsumen ini lebih diawali munculnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, namun tidak tepat jika hal ini menjadi dasar pemikiran/ asas perlindungan yang lebih diprioritaskan kepada konsumen dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikarenakan hubungan konsumen dan produsen konstruksikan klasik yaitu hubungan yang sub ordinat, sehingga konsumen dijustifikasi selalu berada dalarn posisi .yang lemah dalam proses pembentukan kehendak kontraktual. Dalarn hubungan sub-ordinat posisi tawar-menawar yang lemah, seperti pendapat Jonneri bahwa dalam kontrak komersial, keberadaan asas keseimbangan dalam berkontrak eksistensinya cukup kuat, karena jika isi kontrak tidak seimbang atau berat sebelah, maka lawan kontrak tidak akan pernah mau menerima klausul-klausul perjanjian. Asas kesimbangan yang lahir dari kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak inilah yang menjadi sarana perlindungan bagi para pihak yang mengadakan perjanjian.[77]
Dalarn hubungan sub ordinat posisi tawar menawar yang lemah, dominasi produsen serta beberapa kondisi lain diasurnsikan terdapat ketidakseimbangan dalam hubungan para pihak, dalam hal ini azas keseimbangan yang bermakna "equal-equilibrium" akan bekerja memberikan keseimbangan pada saat posisi tawar-menawar para pihak dalarn menentukan kehendak menjadi tidak seimbang. Tujuan dari azas keseimbangan adalah hasil akhir yang menempatkan posisi para pihak seimbang (equal) dalam menentukan hak dan kewajiban.[78]
Penulis berharap dengan berkembangnya dunia bisnis menjadi semakin modern, maka doktrin lama bahwa konsumen selalu pada posisi lemah tidak tepat diberlakukan pada kasus-kasus tertentu, karena faktanya banyak konsumen dalam hal ini sebagai pelaku kejahatan yang memiliki kemampuan menggunakan media sosial yang lebih cakap dari produsen/penjual, sehingga revisi/rekonstruksi terhadap Pasal 28 ayat (1) kedepannya diharapkan memberikan kesimbangan pada posisi konsumen dan produsen/ penjual.




































REFERENSI

Achmad Ali, 2015, Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Kencana, Jakarta, Cetakan ke-1
Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT  Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Sinar Grafika.
Aktieva Tri Tjitrawati, The Just Drug Distribution In The Perspective Of  Welfare State, Mimbar Hukum, Volume 25, Nomor  3, Oktober 2013.
Alia Maerani, “Implementasi Ide Keseimbangan Dalam Pembangunan Hukum Pidana Indonesia Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume 3, Nomor 3, 2016.
Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. PT. Balai Pustaka, Jakarta
Aldi Firmansyah, 2018, Kajian Perlindungan Konsumen Pada Pemasaran Produk Keuangan Digital, OJK, Jakarta
Amirudin, Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta.
A.T.Kearney, 2015, Lifting The Barriers of E-commerce in ASEAN, CIMB ASEAN Research Institute
Bagir Manan, “Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia”, Makalah Temu Ilmiah Nasional Memformat Indonesia Baru : Reformasi Hukum sebagai Fondasi Reformasi Total, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 6 April 1999.
Bahrudin Agung Permana Putra, Paham Triyoso,  Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Pengawasan terhadap Narapidana Yang Memperolehpembebasan Bersyarat(Studi Di Kejaksaan Negeri Malang) , Malang, ,jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Bambang, Waluyo. 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta.
Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Nuansa, Bandung, 2004.
Christine S.T Kansil, CST Kansil Engelien R,Palandeng Dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah Hukum, Jakarta, Jala Permata Aksara, 2009.
Eko Soponyono, “Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban”,  Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 4, Nomor 1, 2012, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988.
Fransiskus Saverius Nurdin, “Rekonstruksi Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Berdasarkan Prinsip Keadilan”, Jurnal Refleksi Hukum,  2016, Vol 1, No. 1, UKSW, Salatiga.
Gamal Abdul Nasir,  Kekosongan Hukum dan Percepatan Perkembangan Masyarakat, Jurnal Hukum Replik Volume 5 No. 2, September 2017.
Gunarto, 2019, Teori Hukum Disertasi, Unissula, Semarang.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2012
Hartanto, 2019, Memahami Hukum Pidana, Lintang Pustaka Utama, Yogyakarta.
Hernoko, 2006, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 6-7 September 2006.
Inyoman Adi Rimbawan, Gunarto, dan Sri Endah Wahyuningsih, ”Ideal Reconstruction of Crime Liability of Underage Drivers Causing The Loss Of Life of Others Based on Values of Justice”, International Journal of Advanced Research (IJAR), Volume 5, Number 8, 2017.  (DOI:10.21474/IJAR01/5278).
]B.N. Marbun, 1996, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, hlm. 469, diakses 20 November 2019
Jan Michiel Otto Terjemahan Tristam Moeliono Dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung, Revika Aditama,2006.
Jonneri Bukit, Made Warka, Krisnadi Nasutio,  “Eksistensi Asas Keseimbangan Pada Kontrak Konsumen Di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Surabaya, Vol 14, No 28, 2018.
Lawrence M.Friedman,2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), (M.Khozim, Pentj), Nusa Media, Bandung.
L.J Van Apeldoorn Dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung Revika Aditama,2006
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhp Penyidikan Dan Penuntutan,Jakarta, Sinar Grafika, 2002
M Isnaeni, 2006, Pelatihan Hukum Perikatan Dalam Era Perdagangan Bebas, dalam Agus Yudha.
Mikael Rostila, Social Capital an Health Inequality in European Welfare State, Palgrave Macmillan, 2013, London, h. 10,  dalam Aktieva Tri Tjitrawati, The Just Drug Distribution In The Perspective Of  Welfare State, Mimbar Hukum, Volume 25, Nomor  3, Oktober 2013.
Muhammad Syukri Albani Nasution, dkk, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, Kencana, Jakarta, 2016.
Nimerodi Gulö, Ade Kurniawa, 2018, Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47, No.3, Undip, Semarang.
Petrus Bello, Hukum Dan Moralitas Tinjauan Filsafat Hukum, Jakarta, Erlangga, 2012.
Riza Nizarli, 2012, Hukum Acara Pidana, CV. Bina Nanggroe, Banda Aceh.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia, Edisi Revisi, Peradaban, Jakarta, 2007,. (selanjutnyadisebut Phillipus M. Hadjon II)
Satjipto Rahardjo,Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, Uki Press,2006, Hlm 135-136.
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Cv. Armico, Bandung, 1993
Saint augustiine, di kutib dalam buku Roni Sulistyanto Luhukay, 2019, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perpektif Keadilan, Lintang Pustaka Utama, Yoyakarta.
Sidharta, Reformasi Peradilan Dan Tanggung Jawab Negara, Jakarta, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010.
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung Revika Aditama,2006.
Sudikno Mertokusumo Dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2010
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indoenesia,  Alumni, Bandung, 1985.
Sri Endah Wahyuningsih,2018, “Model Pengembangan Asas Hukum Pidana Dalam KUHP Berbasis Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa”, Fastindo, Semarang
Sunarjo Wreksosuharjo, Ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu Filsafat Pancasila, Yogyakarta, Penerbit Andi, 2001
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1990.
Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta. Alumni AHM- PTHM.
Zuhraini,  Kajian Sistem Penyelenggaraan Pememerintahan Pekon Dalam Perspektif Hukum Sebagai Sistem Nilai (Berdasarkan Teori Lon Fuller)”, Jurnal Asas, Program studi Muamalah Fakultas Syari'ah UIN Raden Intan, Vol 9, No 2, 2017.


INTERNET :

Si penipu olshop, https://news.detik.com/berita/d-3190916/robby-si-penipu-di-olshop-hidup-mewah-dari-hasil-kejahatan, di download 20 November 2019

“https://krjogja.com/web/news/read/109062/Modus_Bukti_Transfer_Bodong_Pelaku_Penipuan_Belanja_Online_Dibekuk, Krjogja.com, Diakses 20 November 2019.

Nto, Gaya. 5 September 2019, https://jogja.tribunnews.com/2019/09/05/polda-diy-ringkus-sindikat-penipuan-online-dari-bandung-dengan-nilai-transaksi-rp-107-juta?page=2, Tribunnews.com, Diakses 20 November 2019.

https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2019/08/15/512/1012277/seorang-ibu-rumah-tangga-ditangkap-karena-menipu-toko-online-dengan-bukti-transfer-palsu, harianjogja.com, diakses 21 November 2019



[1] Okta Nofri, Andi Hafifa, Analisis Perilaku Konsumen Dalam Melakukan Online Shopping Di Kota Makassar,  Jurnal Manajemen, Ide, Inspirasi (Minds) Vol.5, No. 1, (Januari-Juni) 2018, , Jurusan Manajemen, Febi Uin Alauddin Makassar,  Hlm  113.
[2] Marheni Eka Saputri. Pengaruh Perilaku Konsumen Terhadap Pembelian Online Produk Fashion Pada Zalora Indonesia, The Effect Of Consumer Behavior Toward The Online Purchase Of Fashion, Product Of Zalora Indonesia, Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi Dan Bisnis, Universitas Telkom, urnal Sosioteknologi  Vol. 15, No 2, Agustus 2016,  hlm 291
[3] Kotler, Philip and Kevin Lane Keller. (2012). Marketing Management, Edition 14, England: Pearson Education, hlm 173
[4] Ade Maman Suherman, 2005, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Cet.ke 2 (Edisi Revisi), Ghalia Indonesia, Bogor, hlm.97
[5]Agus Sigit,Modus Bukti_Transfer Bodong Pelaku Penipuan Belanja, 5 September 2019, “https://krjogja.com/web/news/read/109062/Modus_Bukti_Transfer_Bodong_Pelaku_Penipuan_Belanja_Online_Dibekuk, Krjogja.com, Diakses 20 November 2019.
[9] Alia Maerani, “Implementasi Ide Keseimbangan Dalam Pembangunan Hukum Pidana Indonesia Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume 3, Nomor 3, 2016, hlm 333
[10] Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. PT. Balai Pustaka, Jakarta
[11] B.N. Marbun, 1996, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, hlm. 469, diakses 20 November 2019
[12] Aldi Firmansyah, 2018, Kajian Perlindungan Konsumen Pada Pemasaran Produk Keuangan Digital, OJK, Jakarta
[13] A.T.Kearney, 2015, Lifting The Barriers of E-commerce in ASEAN, CIMB ASEAN
Research Institute, p. 4
[14] Fransiskus Saverius Nurdin, “Rekonstruksi Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Berdasarkan Prinsip Keadilan”, Jurnal Refleksi Hukum,  2016, Vol 1, No. 1, UKSW, Salatiga, hlm 9
[15] http://yantyovina.blogspot.com/, diakses 19 November 2019
[17] ibid
[18] Gunarto, 2019, Teori Hukum Disertasi, Unissula, Semarang
[19] Bambang, Waluyo. 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta
[20] Amirudin, Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, hlm 16
[21] Sidharta, Reformasi Peradilan Dan Tanggung Jawab Negara, Jakarta, Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010, hlm 3
[22] Sunarjo Wreksosuharjo, Ilmu Pancasila Yuridis Kenegaraan dan Ilmu Filsafat Pancasila, Yogyakarta, Penerbit Andi, 2001, hlm 35
[23]Muhammad Syukri Albani Nasution, dkk, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, Kencana, Jakarta, 2016, hlm.31.
[24]Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm 70. 
[25]Aktieva Tri Tjitrawati, The Just Drug Distribution In The Perspective Of  Welfare State, Mimbar Hukum, Volume 25, Nomor  3, Oktober 2013, hlm. 2
[26]Mikael Rostila, Social Capital an Health Inequality in European Welfare State, Palgrave Macmillan, 2013, London, hlm. 10,  dalam Aktieva Tri Tjitrawati, The Just Drug Distribution In The Perspective Of  Welfare State, Mimbar Hukum, Volume 25, Nomor  3, Oktober 2013. hlm. 3
[27]E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, hlm. 30.
[28]Bagir Manan, “Pemikiran Negara Berkonstitusi di Indonesia”, Makalah Temu Ilmiah Nasional Memformat Indonesia Baru : Reformasi Hukum sebagai Fondasi Reformasi Total, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 6 April 1999, hlm.2.
[29]Philipus M. Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia, Edisi Revisi, Peradaban, Jakarta, 2007, hlm .91. (selanjutnyadisebut Phillipus M. Hadjon II)
[30]Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indoenesia,  Alumni, Bandung, 1985, hlm.3.
[31]Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Nuansa, Bandung, 2004, hlm 24.
[32]Ibid.hlm .25.
[33]Ibid, hlm. 7. 
[34] Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta. Alumni AHM- PTHM, hlm. 15-16.
[35] Hartanto, 2019, Memahami Hukum Pidana, Lintang Pustaka Utama, Yogyakart, hlm 9
[36] Adami Chazawi, 2011, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT  Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 158
[37] Hartanto, log cit, hlm 88
[38]Saint augustiine, di kutib dalam buku Roni Sulistyanto Luhukay, 2019, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perpektif Keadilan, Lintang Pustaka Utama, Yoyakarta, hlm 14.
[39] Petrus Bello, Hukum Dan Moralitas Tinjauan Filsafat Hukum, Jakarta, Erlangga, 2012, hlm 5.
[40] Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Sinar Grafika, hlm 105
[41] Riza Nizarli, 2012, Hukum Acara Pidana, CV. Bina Nanggroe, Banda Aceh, hlm. 9.
[42] Achmad Ali, 2015, Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua, Kencana, Jakarta, Cetakan ke-1, Agustus, hlm 98
[43] Log. Cit
[44] Lawrence M.Friedman,2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), (M.Khozim, Pentj), Nusa Media, Bandung, hlm.12
[45] Zuhraini,  Kajian Sistem Penyelenggaraan Pememerintahan Pekon Dalam Perspektif Hukum Sebagai Sistem Nilai (Berdasarkan Teori Lon Fuller)”, Jurnal Asas, Program studi Muamalah Fakultas Syari'ah UIN Raden Intan, Vol 9, No 2, 2017, hlm. 45-46
[46] ibid
[47] Sri Endah Wahyuningsih,2018, “Model Pengembangan Asas Hukum Pidana Dalam KUHP Berbasis Nilai-Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa”, Fastindo, Semarang, hlm 43
[48] Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, hlm 16
[49] Ibid
[50] Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Cv. Armico, Bandung, 1993, hlm. 149.
[51] Nimerodi Gulö, Ade Kurniawa, 2018, Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana, Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47, No.3, Undip, Semarang, hlm 219
[52] Bahrudin Agung Permana Putra, Paham Triyoso,  Peranan Kejaksaan Dalam Melakukan Pengawasan terhadap Narapidana Yang Memperolehpembebasan Bersyarat(Studi Di Kejaksaan Negeri Malang) , Malang, ,jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya hlm 1
[53] Ibid.,
[54] Samidjo Op. cit, hlm 117
[55] Eko Soponyono, “Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban”,  Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 4, Nomor 1, 2012, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hlm 30.
[56] Hartini Gunawan, Tanggung Jawab Dan Perlindungan Hukum Para Pihak Dalam Transaksi Bisnis Elektronik,  Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 1, Volume 3, Tahun 2015, Hlm 3
[57] Mariam Darus Badrulzaman, Suatu Tinjauan Hukum tentang E-Commerce. Pusat Studi Hukum dan Kemasyarakatan Graha Kirana. Jakarta, 2000. Hlm,19. 
[58] Khairunnisa, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi,  Medan,  Pasca Sarjana, 2008, Cetakan Pertama,, hlm. 4
[59] Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT Gravindo Persada Jakarta 2000. Hlm.31. 
[60] Widiyono, Wewenang Dan Tanggung Jawab, Bogor, Ghalia Indonesia, 2004, Cetakan Pertama,  hlm. 27
[61] Ricardus Eko Indrajit. E-commerce Kiat dan Strategi di Dunia Maya. PT Elek Media Komputindo. Jakarta, 2001.hlm 2 
[62] Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 23-24
[63] Ibid, hlm 31
[64] Ibid, hlm 32
[65] Inyoman Adi Rimbawan, Gunarto, dan Sri Endah Wahyuningsih, ”Ideal Reconstruction of Crime Liability of Underage Drivers Causing The Loss Of Life of Others Based on Values of Justice”, International Journal of Advanced Research (IJAR), Volume 5, Number 8, 2017.  (DOI:10.21474/IJAR01/5278), p. 2111
[66], Christine S.T Kansil, CST Kansil Engelien R,Palandeng Dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah Hukum,, Jakarta, Jala Permata Aksara, 2009,  Hlm, 385.
[67] Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung Revika Aditama,2006, Hlm.79-80.
[68] Sudikno Mertokusumo Dalam H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2010, Hlm 24.
[69] Ibid., Hlm 82
[70] L.J Van Apeldoorn Dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung Revika Aditama,2006, Hlm 82-83.
[71] Jan Michiel Otto Terjemahan Tristam Moeliono Dalam Shidarta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berfikir, Bandung, Revika Aditama,2006, Hlm 85.
[72] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhp Penyidikan Dan Penuntutan,Jakarta, Sinar Grfika, 2002,, Hlm 76.
[73] Satjipto Rahardjo,Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, Uki Press,2006, Hlm 135-136.
[74] Ibid, Hlm 139.
[75] Gamal Abdul Nasir,  Kekosongan Hukum dan Percepatan Perkembangan Masyarakat, Jurnal Hukum Replik Volume 5 No. 2, September 2017, hlm 273
[76] Gamal Abdul Nasir.,Op.,Cit, hlm 276
[77] Jonneri Bukit, Made Warka, Krisnadi Nasutio,  Eksistensi Asas Keseimbangan Pada Kontrak Konsumen Di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum, Surabaya, Vol 14, No 28, 2018,  hlm. 25
[78] M Isnaeni, 2006, Pelatihan Hukum Perikatan Dalam Era Perdagangan Bebas, dalam Agus Yudha
Hernoko, 2006, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 6-7 September 2006. hlm 67




Comments

  1. Terima kasih boss.
    sangat berguna. Dan mohon diijinkan untuk lebih mendalami

    ReplyDelete
    Replies
    1. monggo , selalu terbuka untuk siapa saja ... berbagi ilmu berbagi cerita ... " Menebar Kedamaian, Menjalin Persaudaraan "

      Delete
  2. Tertarik untuk lebih memahami hukum dan moralitas, apalagi urusannya dg transaksi elektronik dan informasi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yes , salah satu sumber hukum adalah "moral", maka jika ada permasalahan hukum timbul, umumnya sudah diawali oleh pelanggaran moral

      Delete
  3. terima kasih Sis Tata .. semoga selalu bisa berbagi ... dan saling sharing ya ..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jurnal PERLINDUNGAN HUKUM WARALABA SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA ( Hartanto & Erna Tri R R )