MEMAHAMI HUKUM PIDANA ( buku )

facebook :  hartanto_uwm









MEMAHAMI HUKUM PIDANA
































Memahami Hukum Pidana | i






















































ii | Memahami Hukum Pidana












MEMAHAMI HUKUM PIDANA

Penulis :

Hartanto, S.E., S.H., M.Hum






























Memahami Hukum Pidana | iii




Memahami Hukum Pidana

Penulis:

Hartanto, S.E., S.H., M.Hum

© penulis

Disain Sampul : Shohib

Setting & layout : Shohib

x, 102 hlm, 15,5 x 23 cm

Cetakan pertama, September 2019
LPU 139.09.19


Diterbitkan pertamakali dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Lintang Pustaka Utama Yogyakarta
Karangjati RT 19, RW 042, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta Telp. (0274) 624 801.
Email: pustaka_utama@yahoo.com


Bekerjasama dengan

Universitas Widya Mataram Yogyakarta nDalem Mangkubumen KT III/237 Yogyakarta


Anggota IKAPI, No. 091/DIY/2015


ISBN 978-602-1546-99-4


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun, tanpa izin tertulis dari Penulis dan Penerbit








iv | Memahami Hukum Pidana




KATA PENGANTAR





Hukum pidana merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang dilakukan. Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di Indo-nesia yang mengadakan dasar-dasar untuk menentukan perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang, menentukan kapan dan hal-hal apa saja yang dapat di jatuhi hukuman pidana serta me-nentukan pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila yang bersangkutan telah melanggar.
Hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri melainkan sudah ada pada norma dan sanksi pidana. Hukum pidana ini hanya menguatkan di taatinya norma-norma yang ada dalam norma agama dan kesusilaan. Sehingga konsepsi hukum pidana dipandang sebagai bentuk dan cara negara dalam melaksanakan pembinaan guna mengatur, mendidik masyarakat dalam bertindak dan bertingkah laku. Hukum pidana ini tidak dipandang lagi se-bagai bentuk pembalasan dari perbuatan yang dilakukan.

Buku memahami hukum pidana ini membahas mengenai konsepsi hukum pidana yang didefinisikan oleh beberapa ahli dalam beberapa aliran hukum, buku ini juga membahas pembidangan hukum pidana yang dibidangkan menjadi dua bidang hukum yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, selain itu membahas juga mengenai sumber hukum pidana yang dikaji menurut bentuk dan sifatnya, konsepsi mengenai tindak pidana yang dikaji dari berbagai bentuk jenis tindak pidana yang meliputi



Memahami Hukum Pidana | v


berbagai unsur-unsur tindak pidana, teori pemidanaan, pembebasan bersyarat dalam konsep hukum pidana Indonesia.

Memahami hukum pidana yang termuat dalam buku ini menguraikan banyak hal seperti prinsip asas legalitas selain itu juga memuat rumusan secara tertulis dalam hukum positif seperti asas kesalahan yang meliputi kesengajaan dan kelalaian sehingga konsep buku ini mampu menggambarkan, menjelaskan, menguraikan secara jelas hukum pidana Indonesia. Buku memahami hukum pidana ini dapat di jadikan suatu pedoman yang dapat di miliki oleh para Civitas Akedemika, baik itu Mahasiswa, Dosen maupun para Praktisi Hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan siapa saja yang yang ingin memahami konsepsi hukum pidana di indonesia.

Manado, Agustus 2019

Dr. Tommy Sumakul, SH.,MH





























vi | Memahami Hukum Pidana




PENGANTAR PENULIS





Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan, berkat, rejeki, dan kesehatan, se-hingga buku sederhana yang berjudul “Memahami Hukum Pidana” dapat diterbitkan. Buku ini merupakan bahan ajar untuk mahasiswa fakultas hukum sehingga dapat memperkaya pandangan dan kajian hukum pidana.

Secara lebih khusus diharapkan pembaca/ mahasiswa mempu mengidentifikasi ruang lingkup hukum pidana, pengertian hukum pidana dasar, pengertian, fungsi, sifat, konsep, maupun tujuan hu-kum pidana, yang tidak lepas dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pada kesempatan yang berbahagia ini saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat para dosen penulis: Dr. Singgih Santoso, S.E.,M.M., Dra. Umi Murtini, S.E., M.M, Prof. Dr. MG. Endang Sumiarni, S.E., S.H., M.Hum, OJB. Ohim Sindudisastra, S.H., M.Hum., (Alm) H. Sunarto, S.H, M.H., Kelik Endro Suryono, S.H., M.Hum yang pernah memberi-kan ilmunya kepada penulis dan rekan-rekan dosen maupun tata usaha di Fakultas Hukum Univeristas Widya Mataram Yogyakar-ta atas dukungannya. Pada kesempatan ini pula penulis ucapkan terima kasih kepada istriku Sisca Dewi Oktavia, S.E., serta kedua anakku yang lucu Vensia dan Keiva yang membuat hidup semakin berwarna.

Penulis berharap buku ini bermanfaat bagi pengembangan disiplin ilmu hukum pidana, yang mengahadapi tuntutan dinami-ka masyarakat dan perubahan jaman. Penulis menyadari buku ini





Memahami Hukum Pidana | vii


masih belum sempurna, sehingga saran dan kritik pembaca sangat diharapkan. Akhir kata semoga buku ini bernilai ibadah dihadirat Tuhan Yang Maha Esa, Sang penentu jagat raya.


Yogyakarta, 29 September 2019

Penulis











































viii | Memahami Hukum Pidana




DAFTAR ISI





KATA PENGANTAR..................................................................................... v

PENGANTAR PENULIS......................................................................... vii

DAFTAR ISI....................................................................................................... ix

BAB I HUKUM PIDANA............................................................................. 1

A.  Pengertian Hukum Pidana...................................................... 1

B.  Definisi Hukum Pidana Menurut Para Ahli................ 3

C. Sifat Hukum Pidana.................................................................... 10

D. Fungsi/Tujuan Hukum Pidana........................................... 12

BAB II PEMBAGIAN HUKUM PIDANA....................................... 23

A.  Hukum Pidana Materil & Hukum Pidana Formil . 23

B.  Hukum Pidana dikondifikasikan &

tidak dikondifikasikan            25

C. Hukum Pidana bagian Umum & Khusus................... 26

D. Hukum Pidana Umum & Khusus..................................... 26

E.  Hukum Pidana Tertulis & Tidak Tertulis..................... 28

F.    Hukum Pidana Umum algemeen strafrecht) &

Hukum Pidana Lokal (plaatselijk strafrecht)             29

BAB III SUMBER HUKUM PIDANA............................................... 31

A.  Sumber Hukum Pidana menurut bentuknya.......... 31

B.  Sumber Hukum Pidana menurut sifatnya................ 31









Memahami Hukum Pidana | ix


BAB IV KONSEP TINDAK PIDANA............................................... 35

A.  Pengertian Tindak Pidana.................................................... 35

B.  Jenis-jenis Tindak Pidana..................................................... 41

C. Tindak Pidana Materiil & Tindak Pidana Formal ..             47

BAB V UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA.............................. 51

A.  Unsur Tindak Pidana Menurut Sudut Teoretis..... 51

B.  Perbedaan Pandangan Aliran Monistis & Dualistis

Terkait Unsur-unsur Tindak Pidana           53

C. Unsur Perbuatan dalam Rumusan Pasal 362 KUHP     54

D. Kesalahan dan Jenis-jenisnya.......................................... 54

BAB VI TEORI PEMIDANAAN........................................................... 59

A.  Konsep Pemindanaan........................................................... 59

B.  Teori Tentang Tujuan Pemidanaan.............................. 61

C. Jenis-jenis Pidana...................................................................... 68

BAB VII KONSEP ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM

PIDANA.............................................................................................................. 81

A.  Legalitas Hukum........................................................................... 81

B.  Pertanggungjwaban Hukum dalam Konsep Legalitas    86

BAB VIII KONSEP PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM

HUKUM PIDANA......................................................................................... 89

A.  Ratio Legis Pembebasan Bersyarat............................... 89

B.  Teori Pemenuhan Hak Pembebasan Bersyarat... 93

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 97

BIODATA PENULIS................................................................................ 101








x | Memahami Hukum Pidana




BAB I

HUKUM PIDANA





A. Pengertian Hukum Pidana

Hukum pidana merupakan kumpulan peraturan atau perundang-undangan yang bersifat mengatur atau larangan serta memiliki sanksi yang tegas. Adapun Pengertian hukum pidana menurut beberapa para ahli hukum atau sarjana hukum memiliki berbagai pendapat.

Pengertian hukum pidana secara tradisional mengatakan bahwa hukum pidana adalah hukum yang memuat peraturan-peraturan yang memuat keharusan dan larangan serta bagi pelangarnya akan mendapatkan sanksi berupa hukuman siksaan badan. Pengertian lain tentang hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pidana.1

Menurut W.L.G Lemaire hukum pidana adalah :

“Het Stafrech is samengesteld uit die normen welke geboden en verboden bevatten en waaraan (door de wetgever) als sactie straf, d.i. een bijzonder leed, is gekoppeled. Men kan dus ok zegen dat hetstraftrecht het normen stelsel is, dat bepalt op welke gedragingen (doen of niet-doen waar handelen verplicht is) en onder welke omstandighegen het recht met straf reagert en waaruit deze straf bestaat”

Hukum Pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusankeharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk

1Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta. PT Raja Grafindo persada, 2011, Hlm. 7



Memahami Hukum Pidana | 1


undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistim normanorma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat di jatuhkan , serta hukuman yang bagaimana yang dapat di jatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut2.

Menurut penulis hukum pidana adalah aturan negara tentang hal yang dilarang, disertai ancaman sanksi pidana bagi yang melanggar, kapan, dan dalam lingkup apa sanksi pidana itu dijatuhkan serta pemberlakuannya bersifat memaksa.

1.  Subyek Hukum Pidana

Subjek hukum adalah segala sesuatu yang memiliki hak dan/ atau kewajiban. Jadi, subjek hukum dapat menjadi penyandang hak saja, atau penyandang kewajiban saja, atau keduanya yaitu sebagai penyandang hak dan kewajiban. Subyek hukum pada hakikatnya adalah manusia/orang (natuurlijke persoon) Badan hukum (rechts persoon). Hukum pidana mengakui keduanya bahwa badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang. Hal ini karena perbuatan badan hukum selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia. Dalam hal ini maka menurut penulis dapat diperluas pemaknaan perbuatan manusia dalam organisasi/ kumpulan orang dalam suatu wadah. Dalam hukum pidana, karena perbuatan badan hukum selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi), maka pelimpahan pertanggungjawaban pidananya terdapat pada manusia, dalam hal ini diwakili oleh direksi secara individual

2P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung. Sianr Baru, 1984, hlm. 12.



2 | Memahami Hukum Pidana


(banyak terdapat dalam perkara hukum lingkungan)/ pengurus yang ditunjuk sesuai AD/ART organisasi.

2.  Obyek Hukum Pidana

Objek ilmu hukum pidana adalah seluruh peraturan hukum pidana yang berlaku di negara Indonesia atau disebut hukum positif

B. Definisi Hukum Pidana Menurut Para Ahli:

1.    W.F.C. van Hattum

Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.3

2.    C.S.T. Kansil :

“Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.”

3.    Satochid Kartanegara:

Hukuman (pidana) itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh undang-

3P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung. Armico, 1984,

hlm. 2.



Memahami Hukum Pidana | 3


undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana), karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentngan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana.

Selanjunya Soedarto menyatakan bahwa sejalan dengan pengertian hukum pidana, maka tidak terlepas dari KUHP yang memuat dua hal pokok, yakni:

a.    Memuat pelukisan dari perbuatan-perbuatan orang yang diancam pidana, artinya KUHP memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi di sini seolah-olah negara menyatakan kepada umum dan juga kepada para penegak hukum perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan siapa yang dapat dipidana.

b.    KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu.

Dalam hukum pidana modern, reaksi ini tidak hanya berupa pidana, tetapi juga apa yang disebut dengan tindakan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya.4

Satochid Kartanegara, mengemukakan:5

Bahwa hukuman pidana adalah sejumlah peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan

4Sofj an Sastrawidjaja, Hukum Pidana 1, Bandung.  CV. Armico, 1990,

hlm 2.

5Ibid.,



4 | Memahami Hukum Pidana


oleh Negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan pidana, larangan atau keharusan itu disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak negara untuk melakukan tuntutan, menjatuhkan pidana, melaksanakan pidana.

4. Prof. Moelyatno

Selanjutnya Prof. Moelyatno, S.H mengartikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:6

a.    Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

b.    Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yangtelah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

c.    Menentukan dengan cara bagaimana mengenai pidana itu dapat dilksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Selanjutnya Moeljatno menjelaskan dari pengertian hukum pidana tersebut di atas maka yang disebut dalam ke-1) adalah mengenal “perbuatan pidana” (criminal act). Sedang yang disebut dalam ke-2) adalah mengenai “pertanggungjawaban hukum pidana” (criminal liability atau criminal responsibility). Yang disebut dalam ke-1) dan ke-2) merupakan “hukum pidana materil” (substantive criminal law), oleh karena mengenai isi hukum pidana sendiri. Yang disebut dalam ke-3) adalah mengenai bagaimana caranya atau prosedurnya untuk menuntut

6Moeljatno, , Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta. Rineka Cipta, 2002, hlm. 1..



Memahami Hukum Pidana | 5


ke muka pengadilan orang-orang yang disangka melakukan perbuatan pidana, oleh karena itu hukum acara pidana (criminal procedure). Lazimnya yang disebut dengan hukum pidana saja adalah hukum pidana materil.7

Menurut Simons, hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objective zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht ini

subjective zin.

Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale. Hukum Pidana dalam arti subjektif tersebut, oleh Professor Simons telah dirumuskan sebagai “Keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan, yang atas pelanggarannya oleh Negara atau oleh suatu masyarakat hukum umum lainnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur masalah penjaTuhan dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri”.

Hukum pidana dalam arti subjektif itu mempunyai dua pengertian, yaitu:

a.    Hak dari negara dan alat-alat kekuasaanya untuk menghukum, yakni hak yang telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif;

b.    Hak dari negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan hukum.

Hukum pidana dalam arti subjektif di dalam pengertian seperti yang disebut terakhir di atas, juga disebut sebagai ius puniendi.8

7Ibid.,

8Simons Dalam Buku P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung. Citra Aditya Bakti, 1997,hlm. 4.



6 | Memahami Hukum Pidana


5.    Van Kan

Hukum pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbul-kan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah ada. Tetapi tidak mengadakan norma baru. Hukum pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi (het straf-recht is wezenlijk sanctie-recht).9

6.    Pompe

Hukum pidana adalah semua aturan-aturan hukum yang menentukan terhadap perbuatan-perbuatan apa seharusnya dijatuhi pidana dan apakah macamnya pidana itu.10

7.    Hazewinkel-Suringa

Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya dian-cam dengan pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang membuatnya.11

8.    Adami Chazawi

Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang:
a.    Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu;

9Moeljatno.,Op, Cit.,hlm 6.

10Ibid, hlm. 5.

11Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1991,

hlm. 4.



Memahami Hukum Pidana | 7


b.    Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/ harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya;

Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.12

Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,13 bahwa hukum pidana adat pun yang tidak dibuat oleh negara atau political authority masih mendapat tempat dalam pengertian hukum pidana. Hukum adat tumbuh dan berakar dalam kesadaran dan pergaulan hidup masyarakat. Kenyataan masih berlakunya hukum adat di Indonesia sampai saat ini tidak dapat dipungkiri, dengan demikian maka perumusan hukum pidana adalah bagian dari hukum positif yang berlaku di suatu negara dengan memper-hatikan waktu, tempat dan bagian penduduk, yang memuat dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan mengenai tindakan larangan atau tindakan keha-rusan dan kepada pelanggarnya diancam dengan pidana. Menentukan pula bilamana dan dalam hal apa pelaku pelanggaran tersebut dipertang-gungjawabkan,

12Adami Chazawi,  Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1,  Jakarta.  PT.

Rajagrafindo Persada, 2002, hlm. 2.

13Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta. Alumni AHM- PTHM, 1982, hlm. 15-16.



8 | Memahami Hukum Pidana


serta ketentuan-ketentuan mengenai hak dan cara penyi-dikan, penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana demi tegaknya hukum yang bertitik berat kepada keadilan. Perumusan ini men-cakup juga hukum (pidana) adat, serta bertujuan mengadakan keseim-bangan di antara pelbagai kepentingan atau keadilan.

Sejauhmana hukum (pidana) adat tercakup atau berperan mempengaruhi hukum pidana yang telah diatur dalam perundang-undangan, banyak tergantung kepada penghargaan nilai-nilai luhur yang merupakan kesadaran hukum masyarakat (setempat), masih/ tidaknya hukum adat diakui oleh undang-undang negara, maupun kepada sejauh mana hukum (pidana) adat masih dianggap sejalan atau ditolerir oleh falsafah Pancasila dan undang-undang yang berlaku. Ketergantungan yang disebut terakhir adalah merupakan pembatasan mutlak terhadap penerapan hukum (pidana) adat. Dengan demikian sebenarnya asas legalitas masih tetap dianut atau dipertahankan, hanya dalam beberapa hal ada pengecualian. Dalam hal terdapat pertentangan antara hukum (pidana) adat dengan undang-undang yang berlaku, maka hakim sebagai figur utama untuk menyelesaikan suatu pertikaian/perkara banyak memegang peranan. Hakim dianggap mengenal hukum. Hakim wajib mencari dan menemu-kan hukum. Hakim mempunyai kedudukan yang tinggi dalam masyara-kat, karena itu hakim sebagai manusia yang arif dan bijaksana, yang bertanggung jawab kepada Tuhan, negara dan pribadi, tidak boleh menolak memberi keadilan.14

Hukum adat erat dikaitkan dengan “sanksi” sebagai bentuk hukuman, dan berbeda dengan hukum pidana (hukum positif) lebih tepat menggunakan kata “hukuman”.





14Ibid.,hlm 16.



Memahami Hukum Pidana | 9


C. Sifat Hukum Pidana

Hukum pidana mempunyai dua unsur pokok yang berupa norma dan sanksi, dengan fungsi sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh setiap orang di dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan untuk menjamin ke-tertiban hukum, maka hubungan hukum yang ada dititikberatkan kepada kepentingan umum.
Pompe menyatakan bahwa yang dititik beratkan oleh hukum pidana dalam pertumbuhannya pada waktu sekarang adalah kepentingan umum, kepentingan masyarakat. Hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan orang dan menimbulkan pula dijatuhkannya pidana, di situ bukanlah suatu hubungan koordinasi antara yang bersalah dengan yang dirugikan, melainkan hubungan itu bersifat subordinasi dari yang bersalah terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk memperhatikan kepentingan rakyat.15

Pemangku ius puniendi ialah negara sebagai perwakilan masyarakat hukum. Adalah tugas hukum pidana untuk memungkinkan manusia hidup bersama. Di situ terjadi hubungan antara pelanggar hukum publik hukum pidana dalam hal dapatnya dipidana (strafbaarheid) suatu perbuatan pada umumnya tetap ada walaupun dilakukan dengan persetujuan orang yang menjadi tujuan perbuatan itu, dan penuntutannya tidak tergantung kepada mereka yang dirugikan oleh perbuatan yang dapat dipidana itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa hukum pidana tidak memperhatikan kepentingan orang pribadi. Orang pribadi itu dapat menjadi pihak penuntut perdata dalam perkara pidana khususnya dalam hal ganti kerugian.16

Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain dapat dike-tahui berdasarkan:


15Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia Indonesia,

1985, hlm.37.

16Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 8.



10 | Memahami Hukum Pidana


1.    Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya itu telah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari korbannya;

2.    Penuntutan menurut hukum pidana itu tidak digantungkan kepada keinginan dari orang yang telah dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain.17

3.    Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan barang menjadi menjadi penghasilan negara.18

Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum publik. Hal ini didasarkan kepada hubungan hukum yang diatur di dalam hukum pidana titik beratnya tidak berada pada kepentingan individu, melainkan pada kepentingan-kepentingan umum. Sifat ini dapat dilihat pada hukum pidana, yaitu dalam hal penerapan hukum pidana pada hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seo-rang individu, yang in concreto langsung dirugikan, melainkan diserah-kan kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentinan umum. Misalnya dalam hal terjadinya tindak pidana penipuan, penuntutan seorang penipu tidak tergantung kepada kehendak orang yang ditipu, melainkan kewe-nangan instansi Kejaksaan sebagai alat pemerintah. Hanya saja sebagai kekecualian, ada beberapa tindak pidana yang hanya dapat diajukan ke pengadilan atas pengaduan (klacht) dari orang yang diganggu kepen-tingannya, misalnya tindak pidana penghinaan dan perzinahan.19

Namun ada beberapa sarjana yang tidak sependapat bahwa hukum pidana bersifat hukum publik, seperti Van Kan, Paul Scholten, Logeman, Lemaire dan Utrecht. Para ahli ini berpendapat, bahwa

17P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 13

18Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 6.

19Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung, Eresco, 1969, hlm. 11. .



Memahami Hukum Pidana | 11


hukum pada pokoknya tidak mengadakan kaedah-kaidah (norma) baru, melain-kan norma hukum pidana itu telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya dan juga sudah ada sanksinya. Hanya pada suatu tingkatan ter-tentu, sanksi tersebut sudah tidak seimbang lagi, sehingga dibutuhkan sanksi yang lebih tegas dan lebih berat yang disebut sebagai sanksi (hukuman) pidana. Alasan lainnya yang dikemukakan untuk memperkuat pendapat mereka ialah, bahwa justru tidak selalu penguasa wajib menuntut suatu tindak pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada “pengaduan” dari pihak yang dirugikan atau yang terkena tindak pidana, hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum publik.20

D. Fungsi/Tujuan Hukum Pidana

Tirtaamidjaya menyatakan maksud diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat.21Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupannya yang berbeda-beda terkadang mengalami pertentangan antara satu dengan yang lainnya, yang dapat menimbulkan kerugian atau mengganggu kepentingan orang lain. Agar tidak menimbulkan kerugian dan mengganggu kepentingan orang lain dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut maka hukum memberikan aturan-aturan yang membatasi perbuatan manusia, sehingga ia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya.

Berkenaan dengan tujuan hukum pidana (Strafrechtscholen) dikenal dua aliran tujuan dibentuknya peraturan hukum pidana, yaitu:




20E.Y. Kanter Dan S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm 25

21Bambang Poernomo, Op.Cit., hlm. 23.



12 | Memahami Hukum Pidana


1. Aliran klasik

Menurut aliran klasik (de klassieke school/de klassieke richting) tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa (Negara). Peletak dasarnya adalah Markies van Beccaria yang menulis tentang “Dei delitte edelle pene” (1764). Di dalam tulisan itu menuntut agar hukum pidana harus diatur dengan undang-undang yang harus tertulis. Pada zaman sebelum pengaruh tulisan Beccaria itu, hukum pidana yang ada sebagian besar tidak tertulis dan di samping itu kekuasaan Raja Absolute dapat menyelenggarakan pengadilan yang sewenang-wenang dengan menetapkan hukum menurut perasaan dari hakim sendiri. Penduduk tidak tahu pasti perbuatan mana yang dilarang dan beratnya pidana yang diancamkan karena hukumnya tidak tertulis. Proses pengadilan berjalan tidak baik, sampai terjadi peristiwa yang menggemparkan rakyat seperti di Perancis dengan kasus Jean Calas te Toulouse (1762) yang dituduh membunuh anaknya sendiri bernama Mauriac Antoine Calas, karena anaknya itu terdapat mati di rumah ayahnya. Di dalam pemeriksaan Calas tetap tidak mengaku dan oleh hakim tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana mati dan pelaksanaannya dengan guillotine. Masyarakat tidak puas, yang menganggap Jean Calas tidak ber-salah membunuh anaknya, sehingga Voltaire mengecam putusan pengadilan itu, yang ternyata tuntutan untuk memeriksa kembali perkara Calas itu dikabulkan. Hasil pemeriksaan ulang menyata-kan Mauriac mati dengan bunuh diri. Masyarakat menjadi gempar karena putusan itu, dan selanjutnya pemuka-pemuka masyarakat seperti J.J. Rousseau dan Montesquieu turut menuntut agar kekuasaan Raja dan penguasa-penguasanya agar dibatasi oleh hukum tertulis atau undang-undang. Semua peristiwa yang diabadikan itu adalah usaha untuk melindungi individu guna kepentingan hukum perseorangan.22

22Ibid.,hlm. 24.



Memahami Hukum Pidana | 13


Oleh karenanya mereka menghendaki agar diadakan suatu pera-turan tertulis supaya setiap orang mengetahui tindakan-tindakan mana yang terlarang atau tidak, apa ancaman hukumannya dan lain sebagainya. Dengan demikian diharapkan akan terjamin hak-hak manusia dan kepentingan hukum perseorangan. Peraturan tertulis itu akan menjadi pedoman bagi rakyat, akan melahirkan kepas-tian hukum serta dapat menghindarkan masyarakat dari kesewenang-wenangan. Pengikut-pengikut ajaran ini menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk menjamin kepentingan hukum individu.23 Setiap perbuatan yang dilakukan oleh sese-orang (individu) yang oleh undang-undang hukum pidana dila-rang dan diancam dengan pidana harus dijatuhkan pidana. Menu-rut aliran klasik, penjatuhan pidana dikenakan tanpa memperhatikan keadaan pribadi pembuat pelanggaran hukum, mengenai sebab-sebab yang mendorong dilakukan kejahatan (etiologi kriminil) serta pidana yang bermanfaat, baik bagi orang yang me-lakukan kejahatan maupun bagi masyarakat sendiri (politik kriminil).24

2. Aliran modern

Aliran modern (de moderne school/de moderne richting) menga-jarkan tujuan susunan hukum pidana itu untuk melindungi masya-rakat terhadap kejahatan. Sejalan dengan tujuan tersebut, perkem-bangan hukum pidana harus memperhatikan kejahatan serta kea-daan penjahat.25 Kriminologi yang objek penelitiannya antara lain adalah tingkah laku orang perseorangan dan atau masyarakat ada-lah salah satu ilmu yang memperkaya ilmu pengetahuan hukum pidana. Pengaruh kriminologi sebagai bagian dari social science menimbulkan

23E.Y. Kanter Dan S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 56. .

24Bambang Poernomo, Op.Cit., hlm. 25

25Ibid.,



14 | Memahami Hukum Pidana


suatu aliran baru yang menganggap bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk memberantas kejahatan agar ter-lindungi kepentingan hukum masyarakat.26

Berikut ini disebutkan pula beberapa pendapat yang dikemukakan tentang fungsi/tujuan hukum pidana.

Menurut Sudarto fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan sebagai berikut:27

a.   Fungsi yang umum

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat;

b.  Fungsi yang khusus

Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memper-kosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana itu terdapat suatu tragic (suatu yang menyedihkan) sehingga hukum pidana dikatakan sebagai, mengiris dagingnya sendiri atau sebagai, pedang bermata dua, yang bermakna bahwa hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan hukum (misalnya: nyawa, harta benda, kemerdekaan, kehormatan), namun jika terjadi pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya justru mengenakan perlukaan (menyakiti) kepentingan (benda) hukum si pelanggar. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menaggulangi perbuatan jahat. Dalam hal ini perlu

26Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 56

27Sudarto, Op.Cit., hlm. 11-12.



Memahami Hukum Pidana | 15


diingat pula, bahwa sebagai alat social control fungsi hukum pidana adalah subsidair,35 artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan (dipergunakan) apabila usaha-usaha lain kurang memadai.

Adami Chazawi menyebutkan bahwa, sebagai bagian dari hukum publik hukum pidana berfungsi:

1)    Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebut Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam, yaitu:

a)    Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila, dan lain sebagainya;

b)    Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappe-lijke belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu-lintas di jalan raya, dan lain sebagainya;

c)    Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya ke-pentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara saha-bat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya, dan sebagainya.28






28Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 16-17.



16 | Memahami Hukum Pidana


2)   Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara men-jalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum.
Dalam mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, dilakukan oleh negara dengan tindakan-tindakan yang sangat tidak menyenangkan, tindakan yang justru melanggar kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi pihak yang bersangkutan, misalnya dengan dilakukan penangkapan, penahanan, pemerik-saan sampai kepada penjatuhan sanksi pidana kepada pelakunya. Kekuasaan yang sangat besar ini, yaitu kekuasaan yang berupa hak untuk menjalankan pidana dengan menjatuhkan pidana yang menyerang kepentingan hukum manusia atau warganya ini hanya dimiliki oleh negara dan diatur di dalam hukum pidana itu sendiri terutama di dalam hukum acara pidana, agar negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana dengan sebaik-baiknya.29

3)   Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.30
Kekuasaan negara yang sangat besar dalam rangka menegakkan dan melindungi kepentingan hukum itu dapat membahayakan dan menjadi bumerang bagi warganya, negara bisa bertindak sewe-nang-wenang jika tidak diatur dan dibatasi sedemikian rupa, sehingga pengaturan hak dan kewajiban negara mutlak diper-lukan.



29Ibid, hlm. 20

30Ibid, hlm. 21.



Memahami Hukum Pidana | 17


Menurut Jan Remmelink hukum pidana (seharusnya) ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Manusia satu persatu di dalam masyarakat saling bergantung, kepen-tingan mereka dan relasi antar mereka ditentukan dan dilindungi oleh norma-norma. Penjagaan tertib sosial ini untuk bagian terbesar sangat tergantung pada paksaan. Jika norma-norma tidak diataati, akan muncul sanksi, kadangkala yang berbentuk informal, misalnya perlakuan acuh tak acuh dan kehilangan status atau penghargaan sosial. Namun jika me-nyangkut hal yang lebih penting, sanksi (hukum), melalui tertib hukum negara yang melengkapi penataan sosial, dihaluskan, diperkuat dan dikenakan kepada pelanggar norma tersebut. Ini semua tidak dikatakan dengan melupakan bahwa penjatuhan pidana dalam prakteknya masih juga merupakan sarana kekuasaan negara yang tertajam yang dapat dike-nakan kepada pelanggar. Menjadi jelas bahwa dalam pemahaman di atas hukum pidana bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, namun memiliki fungsi pelayanan ataupun fungsi sosial.31

Menurut Van Bemmelen, hukum pidana itu membentuk norma-norma dan pengertian-pengertian yang diarahkan kepada tujuannya sendiri, yaitu menilai tingkah laku para pelaku yang dapat dipidana.32Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan peraturan untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam satu segi, hukum pidana menyimpang dari bagian hukum lainnya, yaitu dalam hukum pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana, walaupun juga pidana itu mempunyai fungsi yang lain dari pada menambah

31J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana 1, Bandung. Binacipta, 1979, hlm.

14–15.

32Ibid.,hlm. 55.

18 | Memahami Hukum Pidana


penderitaan. Tujuan utama semua bagian hukum adalah menjaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan.33 Selanjutnya Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan ultimum remidium (obat terakhir). Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu sudah tidak cukup untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Ia menunjuk pidato Menteri Kehakiman Belanda Modderman yang antara lain menyatakan bahwa ancaman pidana itu harus tetap merupakan suatu ultimum remidium. Setiap ancaman pidana ada keberatannya, namun ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung dan rugi ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai

terjadi obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakit.34 Sebaiknya hukum pidana tidak hanya disebut bukan ultimum
remidium, namun dipertegas dengan kalimat bukan merupakan premum remedium (alat utama) penegakan hukum, apalagi dewasa ini masih banyak kasus korupsi atau “persaingan usaha tidak sehat” yang pada hakekatnya memerlukan upaya pengembalian asset negara dan/ mengembalikan kerugian masyarakat dalam arti luas.
Dari beberapa pendapat yang telah dikutip tersebut dapat diambil suatu kajian tentang hukum pidana, bahwa hukum pidana setidaknya merupakan hukum yang mengatur tentang:
1.    Larangan untuk melakukan suatu perbuatan;

2.    Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana;

3.    Sanksi pidana dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik) sesuai dengan ketentuan hukum yang di langgar;
4.    Cara mempertahankan/memberlakukan hukum pidana.

33Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 9 -10.

34Ibid., hlm. 10



Memahami Hukum Pidana | 19


Dalam hal merumuskan hukum pidana ke dalam pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana secara presisi bukanlah hal mudah. Namun dengan merumuskan hukum pidana menjadi sebuah pengertian dapat membantu memberikan gambaran/deskripsi awal tentang hukum pidana. Banyak pengertian dari hukum pidana yang diberikan oleh para ahli hukum pidana diantaranya adalah sebagai berikut:

1.  W.L.G. Lemaire

Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.35

2.  Simons

Menurut Simons hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve zin. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale.36


35P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Sinar Baru, 1984, hlm. 1-2

36Ibid, hlm 3.



20 | Memahami Hukum Pidana


Simons merumuskan hukum pidana dalam arti objektif sebagai:

a.    Keseluruhan larangan dan perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati;

b.    Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan;
c.    Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk pen-jatuhan dan penerapan pidana.37

Hukum pidana dalam arti subjektif atau ius puniendi bisa diartikan secara luas dan sempit, yaitu sebagai berikut: 38

a.    Dalam arti luas:

Hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu;
b.    Dalam arti sempit:

Hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak ini dilakukan oleh badan-badan peradilan. Jadi ius puniendi adalah hak mengenakan pidana. Hukum pidana dalam arti subjektif (ius puniendi) yang merupakan peraturan yang mengatur hak negara dan alat perlengkapan negara untuk mengancam, menjatuhkan dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melanggar larangan dan perintah yang telah diatur di dalam hukum pidana itu diperoleh negara dari peraturan-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif (ius poenale). Dengan kata lain ius puniendi harus berdasarkan kepada ius poenale.



37Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm. 9.

38Ibid, hlm. 10



Memahami Hukum Pidana | 21


Berdasarkan uraian di atas, penulis secara ringkas menyimpulkan bahwa Hukum Pidana adalah ketentuan yang mengatur tentang apa yang tidak boleh dilakukan beserta sanksinya.

Substansi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana39















Ruang Lingkup Pasal-Pasal yang Memuat Asas-Asas Hukum Pidana40

















39Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Yogyakarta, Mahakarya Rangkang
Offset,: 2012 , Cetakan Pertama.,hlm 6.

40Ibid., hlm 12



22 | Memahami Hukum Pidana




BAB II

PEMBAGIAN HUKUM PIDANA





A.   Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil Hukum pidana berdasarkan materi yang diaturnya terdiri
atas hukum pidana materil dan hukum pidana formil.Tirtamidjaja menjelaskan hukum pidana materil dan hukum pidana formil sebagai berikut :41

1.    Hukum pidana materil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggar pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang dapat dihukum dan dapat menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana.

2.    Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materil terhadap pelanggaran yang dilakukan orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materil diwujudkan sehingga memperoleh keputusan hakim serta

mengatur cara melaksanakan putusan hakim.

Doktrin yang juga membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil, dikemukakan oleh J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut:1042
Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap

41Laden Marpaung, 2005, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 2.

42Ibid.,



Memahami Hukum Pidana | 23


perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu

Pembagian Hukum Pidana43



















Pembagian Hukum Pidana Materil44


















43 Amir Ilyas.,Op. Cit.,hlm 10.

44Ibid., hlm 10.



24 | Memahami Hukum Pidana


Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut:

a.    Hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif.45

b.    Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil

Menurut van Hattum:

a.    Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan ter-hadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagai-mana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.

b.    Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit. Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana.46

B.   Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan (niet gecodificeerd)
1.    Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya adalah: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

2.     Hukum pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

45P.A.F.Lamintang,Loc.Cit.,hlm.12.

46Ibid., hlm. 10.



Memahami Hukum Pidana | 25


Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Me-nyampaikan Pendapat di Muka Umum, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.

C.   Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana bagian khusus (bijzonder deel)

1.    Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum sebagaimana yang diatur di dalam Buku I KUHP yang menga-tur tentang Ketentuan Umum;
2.     Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang Kejahatan-kejahatan dan Pelanggaran-pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun yang tidak terkodifikasi.

D.   Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana khusus bijzonder strafrecht)

van Hattum dalam P.A.F. Lamintang menyebutkan bahwa hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi setiap orang (umum), sedang-kan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang-orang ter-tentu saja misalnya bagi anggota Angkatan Besenjata, ataupun merupakan hukum pidana yang mengatur tindak pidana tertentu saja misalnya tindak pidana fiskal.47

47Ibid, hlm. 11.



26 | Memahami Hukum Pidana


Syamsuddin berpendapat bahwa hukum pidana di Indonesia terbagi dua, yaitu hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Secara definitif, hukum pidana umum dapat diartikan sebagai perundang-undangan pidana dan berlaku umum, yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta semua perundang-undangan yang mengubah dan menambah KUHP. Sedangkan hukum pidana khusus dimaknai sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak-tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan pidana maupun bukan pidana tetapi memiliki sanksi pidana48. Penulis berpendapat dalam hukum pidana khusus, penegakan hukum maupun pelaksanaan hukum acara juga dapat dilakukan secara khusus. Hukum pidana khusus di Indonesia pada saat ini menggunakan strategi pembangunan hukum responsif yang dipengaruhi pula oleh sosiologi hukum, sejalan dengan pendapat T. Prasetyo dan A.H Barkatullah yang menuliskan bahwa dalam persepektif sejarah dikenal dua macam strategi pembangunan hukum yang menonjol dan berpengaruh, mengutip Nonet dan Selznick dalam bukunya “Law and Society in Transition in Toward Responsive Law”, bahwa pembangunan hukum pertama menggunakan strategi “ortodoks” melahirkan tipe hukum “represif” yang melihat hukum sebagai alat kekuasaaan dan meminimalkan perubahan, sedangkan strategi kedua menggunakan strategi “responsif” yang menekankan hukum sebagai legitimasi keinginan atau nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.49 Sosiologi hukum mengkaji hukum dari relasi sosial yang terjadi dalam masyarakat (empiris) dan sifat ini akan mempengaruhi penerapannya.




48A. Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta. Sinar Grafika, 2011, hlm 8

49T. Prasetyo A.H. Barakatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum. Jakarta. Raja Grafindo,2012, hlm 314-315



Memahami Hukum Pidana | 27


E. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis50

Hukum adat yang beraneka ragam di Indonesia masih diakui ber-laku sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila. Hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana. Ini resminya menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan pasal-pasal dari KUHP.

Berpedoman pada Pasal 5 ayat 3 b Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1951, ternyata masih dibuka jalan untuk memberlakukan delik adat, walaupun dalam arti yang terbatas. Contohnya adalah: Putusan pengadilan Negeri Poso tanggal 10 Juni 1971, Nomor: 14/Pid/1971 tentang tindak pidana adat Persetubuhan di luar kawin. Duduk perkara pada garis besarnya ialah, bahwa terdakwa dalam tahun 1969-1970 di kampung Lawanga kecamatan Poso kota secara berturut-turut telah melakukan persetubuhan di luar kawin dengan E yang akhirnya menyebabkan E tersebut hamil dan melahirkan anak. Tertuduh telah dinyatakan bersalah mela-kukan delik kesusilaan berdasarkan pasal 5 ayat 3 b Undang-Undang No. 1 Drt Tahun 1951 jo. Pasal 284 KUHP.

Dengan demikian sistim hukum pidana di Indonesia mengenal adanya hukum pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat (local wisdom) yaitu yang berupa hukum adat.





50E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 17-19.



28 | Memahami Hukum Pidana


F.   Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) dan hukum pidana lokal (plaatselijk strafrecht)

Hukum pidana umum atau hukum pidana biasa ini juga

disebut sebagai hukum pidana nasional.51 Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh Pemerintah Negara Pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh Pemerintah Daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana lokal dapat dijumpai di dalam Peraturan Daerah baik tingkat Propinsi, Kabupaten maupun Pemerintahan Kota.52

Penjatuhan hukuman seperti yang diancamkan terhadap setiap pelanggar dalam peraturan daerah itu secara mutlak harus dilaku-kan oleh pengadilan. Dalam melakukan penahanan, pemeriksaan dan penyitaan pemerintah daerah berikut alat-alat kekuasaannya terikat kepada ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.53

Selain itu atas dasar wilayah berlakunya hukum, hukum pidana masih juga dapat dibedakan antara hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional (hukum pidana supranasional). Hukum pidana internasional adalah hukum pidana yang dibuat, diakui dan diberlakukan oleh banyak atau semua negara di dunia yang didasarkan pada suatu konvensi internasional, berlaku dan menjadi hukum bangsa-bangsa yang harus diakui dan diberlaku-kan oleh bangsa-bangsa di dunia, seperti:

1.    Hukum pidana internasional yang bersumber pada Persetu-juan London (8-8-1945) yang menjadi dasar bagi Mahkamah Militer

51Ibid, hlm. 12.

52Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 13.

53P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hlm. 12.



Memahami Hukum Pidana | 29


Internasional di Neurenberg untuk mengadili pen-jahat-penjahat perang Jerman dalam perang dunia kedua;

2.    Konvensi Palang Merah 1949 yang berisi antara lain menge-nai korban perang yang luka dan sakit di darat dan di laut, tawanan perang, penduduk sipil dalam peperangan.54

Pembagian Hukum Pidana Formil55





































54Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 14.

55Amir Ilyas.,Op. Cit., hlm 12.



30 | Memahami Hukum Pidana




BAB III

SUMBER HUKUM PIDANA





A. Sumber Hukum Pidana Menurut Bentuknya

Sumber hukum pidana terdiri dari 2 yaitu sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Di indonesia sendiri belum ada kitab undang-undang hukum pidana nasional artinya kita masih memberlakukan kitab undang-undang hukum pidana warisan belanda. Adapun KUHP terdiri dari 3 buku yakni56:

1.    Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).

2.    Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).

3.    Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).

Sumber hukum pidana tertulis yaitu:

1.    Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);

2.    Undang-undang yang merubah/ menambah KUHP;

3.    Undang-undang Hukum Pidana Khusus;

4.    Aturan-aturan pidana di luar Undang-undang Hukum Pidana.


B. Sumber Hukum Pidana Menurut Sifatnya

Hukum pidana yang di jadikan sebagai dasar atau landasan yang mengatur tingkah laku manusia bersumber hukum pidana khusus dan umum. Adapun dasar sumbernya hukum pidana dibedakan menjadi hukum pidana khusus dan hukum pidana umum yang memiliki pengertian berbeda diantara keduanya. seperti hukum pidana umum yang memiliki pengertian sebagai ketentuan hukum

56



Memahami Hukum Pidana | 31


pidana yang bersumber pada kodifikasi dalam hal ini KUHP dan KUHAP. Sementara itu pidana khusus adalah hukum pidana yang bersumber pada peraturan perundang-undangan diluar kodifikasi.57 Sumber hukum pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis. Di Indonesia sendiri kita belum memiliki kitab undang- undang nasional, sehingga masih di berlakukan kitab kitab undang-undang hukum pidana warisan dari pemerintah hindia belanda dan juga ada beberapa undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang di buat setelah

kemerdekaan.

Hukum sangat berfungsi dalam menciptakan masyarakat yang madani. Secara umum, hukum berfungsi untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum, secara khusus mempunyai fungsi sebagai:

1.    Fungsi melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang atau memerkosanya.
2.    Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.
3.    Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangaka menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi.58

Menurut penulis, sumber hukum pidana yang pada umumnya digunakan saat ini selalu dikaitkan dengan asas legalitas untuk mencapai kepastian hukum, sehingga segala sesuatu perbuatan disebut tindak pidana ketika terdapat aturan dalam undang-undang hukum pidana (KUHP) atau perundang-undangan pidana lainnya.

57Adami Chazawi, Op.Cit., hlm. 9

58Adami Chazawi, Op. Cit., Hlm. 15



32 | Memahami Hukum Pidana


Merujuk pendapat Hans Kelsen dalam Atmadja dan Budiartha tentang “Grundnorm” yang diartikan bahwa validitas hukum positif suatu negara itu sendiri (Stufenbauteorie) yang dinamakan validitas secara regruses infinitium (mundur ke belakang tanpa akhir, sampai pada norma hipotesis, kemudian ini menjadi dasar validitas atau keabsahan tata hukum (legal order) suatu sistem hukum nasional59. Dalam pemahaman sumber hukum Indonesia, maka kita tidak dapat lepas dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yaitu Pancasila sebagai sumber hukum yang tertinggi.


































59Atmadja & Budiartha,Teori-Teori Hukum. Malang, Setara Press, 2018,

hal 39



Memahami Hukum Pidana | 33






















































34 | Memahami Hukum Pidana




BAB IV

KONSEP TINDAK PIDANA





A. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Tindak pidana di bagi menjadi 2 yaitu pidana umum adalah semua delik pidana yang diatur dalam KUHP, sedangkan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang tertentu, contoh Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundry) berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 25 tahun 2003 jo. Undang-Undang No 8 tahun 2010.60

Untuk pengertian “strafbaar feit” terdapat banyak istilah tindak pidana yang sering di jumpai sebagai istilah yang sudah di bakukan, dimana istilah tindak pidana ini adalah perbuatan yang memenuhi perumusan yang di berikan dalam ketentuan pidana. Dikatakan Tindak pidana apabila perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut.61

60Moeljanto, ‘’Istilah Perbuatan Pidana”, Jakarta , Rineka Cipta , 2009 , Hlm. 61

61Adam Chazawi, Op.Cit, Hlm 4.



Memahami Hukum Pidana | 35


Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah Strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.

Moeljatno menyatakan bahwa dalam pembicaraan tentang perbuatan atau tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Perbuatan/tindak pidana hanya menunjuk pada dilarang atau diancamnya perbuuatan dengan pidana. Apakah orag yang melakukan perbuatan itu kemudian juga dijatuhi pidana, ini tergantung dari soal apakah dalam melakuakan perbuatan piidana ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas dalam pertanggungjawaban pidana adalah : tidak dipidana jika tidak ada kesalahan62.
Para pakar asing Hukum Pidana menggunakan istiah Tindak Pidana atau Perbuatan Pidana atau Peristiwa Pidana, dengan istilah:

1.      STRAFBAAR FEIT adalah peristiwa pidana;

2.      STRAFBARE HANDLUNG diterjemahkan dengan Perbuatan Pidana, yang digunakan oleh para sarjana Hukum Pidana Jerman; dan

3.      CRIMINAL ACT diterjemahkan dengan istilah Perbuatan Kriminal.

62Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta. Rineka Cipta,

2008, hal. 165



36 | Memahami Hukum Pidana


Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar dan feit.Yang masng-masing memiliki arti:

a.      Straf diartikan sebagai pidana dan hukum,

b.      Baar diartikan sbagai dapat dan boleh,

c.      Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Jadi istilah Strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana.Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).
Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana memberikan defenisi mengenai delik, yakni63 Delik adalah “suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana).”

Lanjut Moeljatno mengartikan Strafbaarfeit sebagai berikut:64 Strafbaarfeit itu sebenarnya adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.”

Sementara Jonkers merumuskan bahwa:65 Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai “suatu perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”

Strafbaarfeit juga diartikan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya Lamintang, sebagai :66

63Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta. Rineka Cipta, 1994.

hlm. 72.

64Chazawi Adami,. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1; Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta. PT Raja Grafindo, 2002, hlm. 72.

65Ibid., hlm. 75.

66Lamintang, P.A.F,. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Citra



Memahami Hukum Pidana | 37


Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjaTuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.

Simons masih dalam buku yang sama merumuskan strafbaarfeit adalah :67Suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.

Istilah delik (delict) dalam bahasa Belanda di sebut starfbaarfeeit di mana setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, oleh beberapa sarjana hukum diartikan secara berlain-lainan sehingga otomatis pengertiannya berbeda.Agar lebih jelasnya,penulis mengelompokkan dalam 5 kelompok istilah yang lazim digunakan oleh beberapa sarjana hukum.

Andi Zainal Abidin mengemukakan pada hakikatnya istilah yang paling tepat adalah ”delik” yang berasal dari bahasa latin ”delictum delicta” karena:68

1.    Bersifat universal, semua orang di dunia ini mengenalnya;

2.    Bersifat ekonomis karena singkat;

3.    Tidak menimbulkan kejanggalan seperti ”peristiwa pidana”, ”perbuatan pidana” (bukan peristiwa perbuatan yang di pidana, tetapi pembuatnya); dan
4.    Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh korporasi orang tidak kenal menurut hukum pidana ekonomi Indonesia.




Aditya Bakti, 1997, hlm. 34.

67Ibid.,hlm. 35

68Abidin, Andi Zainal, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Dan Beberapa Pengupasan Tentang Delik-Delik Khusus). Jakarta. Prapanca, 1987,hlm. 146.



38 | Memahami Hukum Pidana


Dari beberapa istilah yang dipergunakan oleh sarjana-sarjana tersebut sebagai terjemahan delik Strafbaarfeit menurut penulis tidak mengikat. Untuk istilah mana yang ingin dipergunakan asalkan tidak merubah makna strafbaarfeit, merupakan hal yang wajar-wajar saja tergantung dari pemakaiannya, misalnya saja Wirjono Prodojikoro menggunakan istilah peristiwa pidana dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia cetakan ke V tahun 1962, sedangkan selama kurang lebih dua puluh tahun beliau menggunakan istilah ”tindak pidana”.

Demikian halnya dengan Satocid Kartanegara dimana dalam rangkaian kuliah beliau di Universitas Indonesia dan AHM/PTHM, menganjurkan istilah tindak pidana karena istilah tindak (tindakan) mencakup pengertian melakukan atau berbuat, (active handting) dan/atau tidak melakukan, tidak berbuat, tidak melakukan suatu perbuatan (passive handeling).69

Istilah perbuatan menurut Satochid adalah berarti melakukan, berbuat (actieve handeling) tidak mencakup pengertian mengakibatkan/ tidak melakukan, istilah peristiwa tidak menunjukkan kepada hanya tindakan manusia. Sedangkan terjemahan pidana staarbaarfeit yang setelah membahas uraian tentang pengertian delik, pada akhirnya pilihannya. jatuh pada istilah delik. Bukan saja Satocid dan Wirjono yang menerjemahkan delik (Starbaarfeit) seperti tersebut di atas, tetapi Andi Zainal Abidin pula selama kurang lebih dua puluh mendalami makna Starbaarfeit. Setelah membahas uraian tentang pengertian delik,yang pada akhirnya pilihannya jatuh pada istilah delik.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Moeljatno yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah:70

69Sianturi, S.R, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta. Alumni, hlm. 207.

70Moeljatno, Op.Cit., Hlm.55.



Memahami Hukum Pidana | 39


Perbuatan yang melanggar yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut”

Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang Poernomo, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut:

“Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”

Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “aturan hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Bambang Poernomo juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukkan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana.

Menurut Pompe bahwa ada 2 (dua) macam definisi terkait tindak pidana yaitu :71

Definisi teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah dan tata hukum), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.Definisi yang bersifat perundang-undangan yaitu suatu peristiwa yang oleh Undang-Undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (nalaten); tidak berbuat; berbuat pasif, biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian dari suatu peristiwa.

Sedangkan menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi bahwa tindak pidana tersebut mempunyai 5 (lima) unsur yaitu:72

71Abidin, Andi Zainal, Hukum Pidana I. Jakarta. Sinar Grafi ka, 1995, Hlm. 225

72Kanter E.Y & S.R. Sianturi, 2002.Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia



40 | Memahami Hukum Pidana


1.    Subjek;

2.    Kesalahan;

3.    Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan;

4.    Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana; dan
5.    Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).

Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing stafbaar feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah sratfbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar.

B. Jenis-jenis Tindak Pidana73

Dalam membahas hukum pidana, nantinya akan ditemukan beragam tindak pidana yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu,yakni sebagai berikut:

1.    Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan yang dimuat dalam buku II dan pelanggaran yang dimuat dalam buku III.

Alasan pembedaan antara kejatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih di dominasi dengan ancaman pidana penjara.

Dan Penerapannya, Jakarta. Storia Grafika, Hlm. 211.

73Amir Ilyas.,Op. Cit.,Hlm 28.



Memahami Hukum Pidana | 41


Kriteria lain yang membedakan antara kejahatan dan pelanggaran yakni kejahatan merupakan delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan juga menimbulkan bahaya secara kongkret, sedangkan pelanggaran itu hanya membahayakan in abstracto saja. Secara kuantitatif pembuat Undang-undang membedakan delik kejahatan dan pelanggaran sebagai berikut :
a.    Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan kejahatan di Indonesia. Jika seorang Indonesia yang melakukan delik di luar negeri yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di Indonesia, maka di pandang tidak perlu dituntut.

b.    Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana.
c.    Pada pemidanaan atau pemidanaan terhadap anak di bawah umur tergantung pada apakah itu kejahatan atau pelanggaran.

2.    Menurut Cara Merumuskannya, Dibedakan Antara Tindak Pidana Formil Dan Tindak Pidana Materil.

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan/atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian Pasal 362 untuk selesainya pencurian digantung pada selesainya perbuatan mengambil.
Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materil, inti larangan adalah menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Begitu juga untuk selesainya tindak pidana materil, tidak bergantung pada sejauh



42 | Memahami Hukum Pidana


mana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya tergantung pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut. Misalnya wujud membacok telah selesai dilakukan dalam hal pembunuhan, tetapi pembunuhan itu belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak menimbulkan akibat hilangnya nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan. Perihal pembedaan ini, akan di bahas lebih lanjut pada Sub-Bab selanjutnya.

3.    Berdasarkan Bentuk Kesalahan, Dibedakan Antara Tindak Pidana Sengaja (Dolus) Dan Tindak Pidana Tidak Dengan Sengaja(Culpa).

Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan tindak tidak sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa.

4.    Berdasarkan Macam Perbuatannya, Dapat Dibedakan Antara Tindak Pidana Aktif/Positif Dapat Juga Disebut Tindak Pidana Komisi Dan Tindak Pidana Pasif/Negatif, Disebut Juga Tindak Pidana Omisi.

Tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif, perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Dengan berbuat aktif orang melanggar larangan, perbuatan aktif ini terdapat baik dalam tindak pidana yang dirumuskan secara formil maupun secara materil. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif.
Tindak pidana pasif ada dua macam yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana yang dirumuskan secara



Memahami Hukum Pidana | 43


formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat/atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul.

5.    Berdasarkan Saat Dan Jangka Waktu Terjadinya, Maka Dapat Dibedakan Antara Tindak Pidana Terjadi Seketika Dan Tindak Pidana Terjadi Dalam Waktu Lama Atau Ber-langsung Lama/Berlangsung Terus.

Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan afl opende delicten. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus, yang disebut juga dengan voordurende dellicten. Tindak pidana ini dapat disebut sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang.

6.    Berdasarkan Sumbernya, Dapat Dibedakan Antara Tindak Pidana Umum Dan Tindak Pidana Khusus.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan Buku III). Sementara itu tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat diluar kodifikasi KUHP.Dalam hal ini sebagaimana mata kuliah pada umumnya pembedaan ini dikenal dengan istilah delik-delik di dalam KHUP dan delik-delik di luar KUHP.



44 | Memahami Hukum Pidana


7.    Dilihat Dari Sudut Subjeknya, Dapat Dibedakan Antara Tindak Pidana Communia (Tindak Pidana Yang Dapat Dilakukan Oleh Semua Orang) Dan Tindak Pidana Propria (Tindak Pidana Yang Hanya Dapat Dilakukan Oleh Orang Yang Berkualitas Tertentu).

Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang, dan memang bagian terbesar tindak pidana itu dirumuskan dengan maksud yang demikian. Akan tetapi, ada perbuatan-perbuatan yang tidak patut yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) atau nakhoda (pada kejahatan pelayaran), dan sebagainya.

8.    Berdasarkan Perlu Tidaknya Pengaduandalam Hal Penun-tutan, Maka Dibedakan Antara Tindak Pidana Biasa Dan Tindak Pidana Aduan.

Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap pembuatnya, tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak, sementara itu tindak aduan adalah tindak pidana yangdapat dilakukan penuntutan pidana apabila terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata, atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh orang yang berhak.

9.    Berdasarkan Berat-Ringannya Pidana Yang Diancamkan, Maka Dapat Dibedakan Antara Tindak Pidana Bentuk Pokok, Tindak Pidana Yang Diperberat Dan Tindak Pidana Yang Diperingan.

Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi:



Memahami Hukum Pidana | 45


a.    Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga disebut dengan bentuk standar;
b.    Dalam bentuk yang diperberat; dan

c.    Dalam bentuk ringan.

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan, sementara itu pada bentuk yang diperberat dan/atau diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan. Karena ada faktor pemberatnya atau faktor peringannya, ancaman pidana terhadap tindak pidana terhadap bentuk yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya.

10. Berdasarkan Kepentingan Hukum Yang Dilindungi, Maka Tindak Pidana Tidak Terbatas Macamnya, Sangat Tergan-tung pada Kepentingan Hukum Yang Dilindungi Dalam Suatu Peraturan Perundang-Undangan.

Dari sudut berapa kali perbuatan untuk mejadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai. Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumusakan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja, bagian terbesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Sementara itu yang dimaksud dengan tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pelaku, disyaratkan dilakukan secara berulang.



46 | Memahami Hukum Pidana


Jenis-Jenis Tindak Pidana74




































C.  Tindak Pidana Materiil dan Tindak Pidana Formal Meskipun telah dibahas sebelumnya, namun penulis

menganggap perlu untuk membahas lebih lanjut mengenai pembagian tindak pidana formil dan tindak pidana materil. Penggolongan terhadap tindak pidana formil dan materil ini, didasarkan atas cara perumusan ketentuan hukum pidana oleh pembentuk undang-undang. Apabila tindak pidana yang dimaksudkan

74Amir Ilyas.,Op. Cit.,Hlm 35.



Memahami Hukum Pidana | 47


dalam suatu ketentuan hukum pidana (strafbepaling) dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu, maka tindak pidana ini dikalangan ilmu pengetahun hukum dinamakan “tindak pidana materiel” (materiel delict).

Berbeda halnya dengan tindak pidana formal (formeel delict), pada tindak pidana ini, perumusannya menyebutkan wujud dari suatu perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan dari perbuatan itu. E. Y. Kanter dan S.R. Sianturi dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya memberikan penjelasan terkait penggolongan tindak pidana ini berdasarkan cara perumusannya, dijelaskan bahwa:75 Delik formal berhadapan dengan delik material. Pada delik formal, yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang (beserta hal/keadaan lainnya) dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Misalnya Pasal-Pasal: 160 (penghasutan), 209 (penyuapan), 247 (sumpah palsu), 362 (pencurian). Pada pencurian misalnya, asal saja sudah dipenuhi unsur-unsur dalam Pasal 362 KUHP, tindak pidana pencurian sudah terjadi dan tidak dipersoalkan lagi, apakah orang yang kecurian itu merasa rugi atau tidak. Lain halnya pada delik material, yang selain daripada tindakan yang terlarang dilakukan, masih harus ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana tersebut sepenuhnya (voltooid). Misalnya: Pasal -Pasal : 187 (pembakaran dan sebagainya), 338 (pembunuhan), 378 (penipuan), harus timbul akibat-akibat secara berurutan yakni, kebakaran, matinya korban, pemberian sesuatu barang. Perbedaan seperti ini sangat penting, dihubungkan dengan ajaran-ajaran locus dan tempus delicti, percobaan, penyertaan dan kadaluarsa.

Materi berarti “isi”, dan formal berarti “wujud”, maka dalam tindak pidana materil dirumuskan berupa akibat yang dilarang, sementara dalam tindak pidana formal yang dirumuskan adalah

75Kanter E.Y & S.R. Sianturi, Op. Cit. Hal. 237



48 | Memahami Hukum Pidana


wujud pebuatan yang dilarang. Untuk lebih memberikan pemahaman mengenai perbedaan antara tindak pidana materil dan formal. Berikut penulis memberikan contoh dengan bagan sebagai berikut:

*Contoh Pasal Dalam KUHP Yang Termasuk Dalam Tindak Pidana Materiel, Yakni Pasal 338 KUHP (Pembunuhan Biasa)

Tindak Pidana Materil76



































76Amir Ilyas.,Op. Cit.,Hlm 37.



Memahami Hukum Pidana | 49


*Contoh Pasal Dalam KUHP Yang Termasuk Dalam Tindak Pidana Formal, Yakni Pasal 362 KUHP

Tindak Pidana Formal77











































77Ibid., Hlm 38.



50 | Memahami Hukum Pidana




BAB V

UNSUR- UNSUR TINDAK PIDANA





Menurut pendapat para ahli hukum ataupun menurut undang- undang yang mendefinisikan tindak pidana memiliki berbagai unsure di atarannya adalah sebagai berikut:

A. Unsur Tindak Pidana Menurut Sudut Teoretis

Unsur- unsur teoritis ini meliputi pendapat para ahli hukum, baik penganut paham dualisme maupun paham monism, antara lain adalah sebagai berikut:

1.    Menurut Moeljatno unsur tindak pidana adalah :

a.    Perbuatan

b.    Yang dilarang oleh aturan hukum

c.    Ancaman pidana bagi yang melanggar pidana

2.    Dari batasan yang dibuat Schravendijk dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :

a.    Kelakuan (orang yang)

b.    Bertentangan dengan keinsyafan hukum

c.    Diancam dengan hukuman

d.    Dilakukan oleh orang (yang dapat)

e.    Dipersalahkan/ kesalahan.

Walaupun rincian dari dua perumusan diatas tampak berbeda -beda namun pada hakikatnya yaitu tidak memisahkan antara unsur - unsur mengenai perbuatan dengan unsur yang mengenai diri orangnya.




Memahami Hukum Pidana | 51


Dalam buku II KUHP memuat rumusan – rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan dan buku III memuat pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebut dalam setiap rumusan, yaitu mengenai tingkah laku atau perbuatan walaupun ada pengecualian seperti pasal 351 (penganiayaan). Unsur kesalahan dalam melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan sering juga tidak dicantumkan. Disamping itu banyak mencantumkan unsur – unsur lain baik sekitar atau mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.

Simons dalam Wiyanto mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab78. Dari rumusan - rumusan tindak pidana tertentu dalam buku II dan III KUHP itu dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana yaitu:

1)   Unsur tingkah laku

2)   Unsur melawan hukum

3)   Unsur kesalahan

4)   Unsur akibat konstitutif

5)   Unsur keadaan yang menyertai

6)   Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

7)   Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana

8)   Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana

9)   Unsur obyek hukum tindak pidana

10) Unsur kualitas subyek hukum tindak pidana

11) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.79


78Wiyanto,Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung.Mandar Maju,

2012, hlm 160

79Adam Chazawi, Op. Cit., Hlm 81



52 | Memahami Hukum Pidana


B.   Perbedaan Pandangan Aliran Monistis dan Dualistis Terkait Unsur-Unsur Tindak Pidana80

















Aliran monistis memasukkan unsur pertanggungjawaban pidana ke dalam unsur-unsur tindak pidana. Sementara unsur dualistis memisahkan antara unsur tindak pidana dan unsur pertanggungjawaban pidana, dalam hal ini penulis lebih condong ke aliran dualistis karena terdapat kelemahan pada aliran monistis dalam hal terjadinya penyertaaan tindak pidana

Salah satu contoh dalam peristiwa “pembujukan” dimana jika seseorang membujuk orang lain yang tidak cakap untuk melakukan sebuah perbuatan pidana dimana. Berdasarkan teori monistis apabila perbuatan tersebut terjadi maka secara serta merta tidak dapat dikatakan tindak pidana, karena salah satu unsur tindak pidana menurut aliran monistis tidak terpenuhi dengan demikian orang yang membujuk tersebut tidaklah dapat dikatakan “membujuk melakukan tindak pidana” tentu saja hal demikian dapat manfaatkan oleh orang tertentu untuk melakukan kejahatan yang membuat dirinyan terbebas dari ancaman pidana.



80Amir Ilyas.,Op. Cit.,hlm 43.



Memahami Hukum Pidana | 53


C.   Unsur Perbuatan Dalam Rumusan Pasal 362 KUHP81 Contoh Pasal 362























D. Kesalahan dan Jenis-Jenisnya82



















81Ibid., Hlm 52.

82Ibid., Hlm 86.



54 | Memahami Hukum Pidana


Kesalahan pada skema diatas terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa), dalam hukum pidana Indonesia “kesengajaan” dikategorikan terdiri dari tiga kelompok, yaitu sebagai berikut:

1. Kesengajaan (Dolus)

Dalam bahasa Belanda, kesengajaan (dengan sengaja) ini disebut opzetelijk dari kata opzet (sengaja). Kesengajaan adalah merupakan bagian dari kesalahan. kesengajaan pelaku tindak pidana memiliki hubungan kejiwaan yang sangat erat terhadap suatu perbuatan yang terlarang dibanding dengan kealpaan/culpa.

a.    Kesengajaan yang bersifat tujuan (murni)

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada. (contoh: orang melakukan sengaja perbuatan membunuh dan korban mati)

b.    Kesengajaan dengan kepastian (meyakini akibatnya) Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. (contoh: orang memukul kepala orang lain dengan keras menggunakan besi yang besar)

c.    Kesengajaan dengan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. (contoh: orang memukul kepala orang dengan keras dengan tujuan membunuh, hal ini dilakukan ditengah kerumunan orang secara acak)83

83Mengacu dan memberi contoh, berdasar : Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta. Bina Aksara, 1993.



Memahami Hukum Pidana | 55


Kesengajaan (dolus) diatas masih dapat dikembangkan menjadi beberapa sub bagian, dengan istilah corak-ragam dolus secara lebih spesifik.

2. Kealpaan(Culpa)

Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan menurut undang-undang, kelalaian itu terjadi dikarenakan perilaku orang itu sendiri. Dalam pelayanan kesehatan misalnya yang menyebabkan timbulnya kelalaian adalah karena kurangnya pengetahuan, kurangnya pengalaman dan atau kurangnya kehati-hatian, padahal diketahui bahwa jika dilihat dari segi profesionalisme, seorang dokter dituntut untuk terus mengembangkan ilmunya.84

Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua macam yaitu:85

a.    Kealpaan perbuatan, apabila hanya dengan melakukan perbuatannya sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP;

b.    Kealpaan akibat, merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang

oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359, 360,361 KUHP.
Sedangkan kealpaan itu sendiri memuat tiga unsur, yaitu:

1)    Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum;

hlm. 46

84Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta. Rineka Cipta, Hlm.55.

85Ibid., Hal.56



56 | Memahami Hukum Pidana


2)   Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh dan kurang berpikir panjang; dan
3)    Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya tersebut.

Sedangkan menurut D.Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH.

Sutorius, skema kelalaian atau culpa         yaitu :

a.      Culpa lata yang disadari (alpa) CONSCIOUS : kelalaian yang disadari, contohnya antara lain sembrono (roekeloos), lalai (onachttzaam), tidak acuh. Dimana seseorang sadar akan risiko, tetapi berharap akibat buruk tidak akan terjadi;

b.      Culpa lata yang tidak disadari (Lalai) UNCONSCIUS : kelalaian yang tidak disadari, contohnya antara lain kurang berpikir (onnadentkend), lengah (onoplettend), dimana seseorang seyogianya harus sadar dengan risiko, tetapi tidak demikian.

Jadi kelalaian yang disadari terjadi apabila seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, namun dia sadar apabila dia tidak melakukan perbuatan tersebut, maka akan menimbulkan akibat yang dilarang dalam hukum pidana. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila pelaku tidak memikirkan kemungkinan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, dan apabila ia telah memikirkan hal itu sebelumnya maka ia tidak akan melakukannya.

Hubungan petindak dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari petindak. Ia menginsyafi hakekat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan tersebut atau tidak. Jika ia menentukan (akan) melaksanakan tindakan itu, maka bentuk hubungan itu adalah “sengaja” atau “alpa”. Dan untuk penentuan tersebut,



Memahami Hukum Pidana | 57


bukan sebagai aklibat atau dorongan dari sesuatu, yang jika demikian penentuan itu berada di luar kehendaknya sama sekali.86

Menurut Ruslan Saleh mengatakan bahwa :87

Tiada terdapat “alasan pemaaf ”, yaitu kemampuan bertanggungjawab, bentuk kehendak dengan sengaja atau alpa, tiada terhapus keselahannya atau tiada terdapat alasan pemaaf, adalah termasuk dalam pengertian kesalahan (schuld).

Pompe mengatakan bahwa:88

hubungan petindak dengan tindakannya ditinjau dari sudut “kehendak”, kesalahan petindak adalah merupakan bagian dalam dari kehendak tersebut. Asas yang timbul dari padanya ialah: “Tiada pidana, tanpa kesalahan”.

Adanya suatu kesalahan, menurut Martiman Prodjhamidjojo dibedakan menjadi : bahwa unsur subjektif adalah adanya suatu kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjawabkan. Unsur-unsur subjektif yaitu:

a.    Kesalahan;

b.    Kesengajaan;

c.    Kealpaan;

d.    Perbuatan; dan

e.    Sifat melawan hukum;

Unsur objektif adalah adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau dengan kata lain harus ada unsur melawan hukum. Unsur-unsur objektif yaitu :

a.    Perbuatan; dan

b.    Sifat melawan hukum;

86Zainal Abidin Farid Andi, Hukum Pidana I, Jakarta. Sinar Grafika. 1995

87Kanter E.Y & S.R. Sianturi, Op. Cit. Hal. 25.

88Ibid. Hal. 25.



58 | Memahami Hukum Pidana




BAB VI

TEORI PEMIDANAAN





A. Konsep Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.

Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban, dan juga masyarakat. Karena itu teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa.
Pernyataan di atas, terlihat bahwa pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai berikut :

1.    Pemberian pidana oleh pembuat undang-undang;

2.    Pemberian pidana oleh badan yang berwenang;

3.    Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

Pada sat ini sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum pidana yang berlaku seperti yang diatur




Memahami Hukum Pidana | 59


dalam KUHP yang ditetapkan pada Undang-Undang No. 1 tahun 1964 jo UU No. 73 tahun 1958, beserta perubahan-perubahannya sebagaimana yang ditentukan dalam UU No. 1 tahun 1960 tentang perubahan KUHP , Undang-Undang No. 16 Prp tahun 1960 tentang beberapa perubahan dalam KUHP, Undang-Undang no. 18 Prp tentang perubahan jumlah maksimum pidana denda dalam KUHP.

Meskipun Wetboek van Strarecht peninggalan penjajah belanda sudah tidak terpakai lagi di negara kita ini, tapi sistem pemidanaannya masih tetap kita gunakan sampai sekarang, meskipun dalam praktik pelaksanaannya sudah sedikit berbeda.

Dalam masalah pemidanaan dikenal dua sistem atau cara yang biasa diterapkan mulai dari jaman W.V.S belanda sampai dengan sekarang yakni dalam KUHP :

1.    Bahwa orang yang dipidana harus menjalani pidananya didalam tembok penjara. Ia harus diasingkan dari masyarakat ramai terpisah dari kebiasaan hidup sebagaimana layaknya mereka bebas. Pembinaan bagi terpidana juga harus dilakukan dibalik tembok penjara.

2.    Bahwa selain narapidana dipidana, mereka juga harus dibina untuk kembali bermasyarakat atau rehabilitasi/resosialisasi.

Dalam KUHP penjaTuhan pidana pokok hanya boleh satu macam saja dari tindak pidana yang dilakukan, yaitu salah satu pidana pokok yang diancamkan secara alternatif pada pasal tindak pidana yang bersangkutan. Tidak dibenarkan penjaTuhan pidana pokok yang diancamkan pada pasal tindak pidana yang bersangkutan. Untuk pidana pokok masih dapat satu atau lebih pidana tambahan seperti termasuk dalam Pasal 10b, dikatakan dapat berarti penambahan pidana tersebut adalah fakultatif. Jadi pada dasarnya dalam sistem KUHP ini tidak diperbolehkan dijatuhi pidana tambahan mandiri tanpa penjaTuhan pidana pokok, kecuali dalam Pasal 39 ayat (30)



60 | Memahami Hukum Pidana


(pendidikan paksa) dan Pasal 40 (pengembalian anak yang belum dewasa tersebut pada orangtuanya).

Mengenai maksimum pidana penjara dalam KHUP adalah lima belas tahun dan hanya boleh dilewati menjadi dua puluh tahun, sedangkan minimum pidana penjara teratas adalah satu hari sebagaimana diatur dalam Pasal 12 KUHP. Sedangkan mengenai maksimum pidana kurungan adalah satu tahun dan hanya boleh dilewati menjadi satu tahun empat bulan, dalam hal ada pemberatan pidana karena pengulangan, perbarengan, atau karena ketentuan Pasal 52-52a. Adapun minimum pidana kurungan adalah satu hari sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 KUHP.

Ada beberapa teori-teori yang telah dirumuskan oleh para ahli untuk menjelaskan secara mendetail mengenai pemidanaan dan tujuan sebenarnya untuk apa pemidanaan itu dijatuhkan. Menurut Adami teori pemidanaan dapat dikelompokkan dalam 3 golongan besar, yaitu :89
1.  Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien).

2.  Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien).

3.  Teori Gabungan (vernegins theorien).

B. Teori Tentang Tujuan Pemidanaan

1.    Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien). Aliran ini yang menganggap sebagai dasar dari hukum pidana

adalah alam pikiran untuk pembalasan (vergelding atau vergeltung). Teori ini dikenal pada akhir abad 18 yang mempunyai pengikut-pengikut seperti Immanuel Kant , Hegel, Herbart, Stahl, dan Leo polak.
Menurut Kant mengemukakan bahwa pembalasan atau suatu perbuatan melawan hukum adalah suatu syarat mutlak menurut hukum dan keadilan, hukuman mati terhadap penjahat yang melakukan pembunuhan berencana mutlak diljatuhkan.90

89Adami Chazawi, Op.Cit. hlm. 153..

90Ahmad Nindra Ferry, Efektifitas Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan



Memahami Hukum Pidana | 61


Menurut Stahl mengemukakan bahwa :91

Hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai abdi atau wakil Tuhan di dunia ini, karena itu negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana terhadap pelanggarnya.

Lebih lanjut Hegel berpendapat bahwa :92

Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan (sebagai these). Jika seseorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya hukum (anti these), oleh karna itu harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan bagi pelakunya(synthese) atau mengembalikan suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum (these) Pendapat lain dikemukakan oleh Herbart bahwa :93
Apabila kejahatan tidak dibalas maka akan menimbulkan ketidakpuasan terhadap masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapat dicapai atau dipulihkan, maka dari sudut aethesthica harus dibalas dengan penjaTuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya.

2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (Doel Theorien)

Teori ini yang memberikan dasar pikiran bahwa dasar hukum dari pidana adalah terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena pidana itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu, maka disamping tujuan lainnya terdapat pula tujuan pokok berupa mempertahankan ketertiban masyarakat (de handhaving der maatshappeljikeorde).


Kejahatan Psikotropika Di Kota Makassar. Makassar. Perpustakaan Unhas, 2002,hlm.

23.

91Adami Chazawi, Op.Cit. hlm. 155

92ibid., hlm. 158

93Ibid., Hlm. 162.



62 | Memahami Hukum Pidana


Mengenai cara mencapai tujuan itu ada beberapa paham yang merupakan aliran-aliran dari teori tujuan yaitu prevensi khusus dan prevensi umum. Prevensi khusus adalah bahwa pencegahan kejahatan melalui pemidanaan dengan maksud mempengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Pengaruhnya ada pada diri terpidana itu sendiri dengan harapan agar siterpidana dapat berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Sedangkan prevensi umum bahwa pengaruh pidana adalah untuk mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana. Teori-teori yang dimaksudkan dalam teori prevensi umum adalah seperti yang ditulis oleh Lamintang sebagai berikut: Teori-teori yang mampu membuat orang jera, yang bertujuan untuk membuat orang jera semua warga karena adanya sanksi hukum pidana dan teori-teori pemaksaan psikologis yang mencegah niat seseorang untuk melakukan tindak pidana.

3.    Teori Gabungan (verenigingstheorien)

Disamping teori absolut dan teori relatif tentang pemidanaan, muncul teori ketiga yang di satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan dalam hukum pidana, akan tetapi di pihak lain juga mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap pidana. Teori ketiga ini muncul karena terdapat kelemahan dalam teori absolut dan teori relatif, kelemahan kedua teori tersebut adalah: 94

a)   Kelemahan teori absolut adalah:

1)    Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada.

94Koeswadji, Hermien Hadiati. 1995. Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti., Hlm. 11-12.



Memahami Hukum Pidana | 63


2)    Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya negara saja yang memberikan pidana?
b)   Kelemahan teori relatif adalah :

1)    Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekadar untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan.

2)    Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki sipenjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan.
3)    Sulit untuk dilaksanakan dalam praktik. Bahwa tujuan mencegah kejahatan dengan jalan menakut-nakuti itu dalam praktik sulit dilaksanakan. Misalnya terhadap residive.

Dengan munculnya teori gabungan ini, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang.Yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan dianut oleh Pompe Pompe menyatakan:95

Orang tidak menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya, dan tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum. Van Bemmelan pun menganut teori gabungan menyatakan:96

”Pidana” bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Sementara ”tindakan” bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan

95Andi Hamzah., Op.Cit., Hlm.36

96Ibid.,



64 | Memahami Hukum Pidana


mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.

Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.

Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan.97

Teori gabungan yang kedua yaitu menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.

Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Vos, ”pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena jika ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu takut lagi, karena sudah berpengalaman.”Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas oleh para sarjana.98

Terlepas dari berbagai teori di atas, penulis juga mengemukakan beberapa teori terkait tujuan pemidanaan yang dikemukakan berbagai

97 Ibid., Hlm. 37.

98Ibid.,



Memahami Hukum Pidana | 65


pakar ilmu hukum. Menurut Remmelink hukum pidana bukan bertujuan pada diri. sendiri, tetapi ditujukan juga untuk tertib hukum, melindungi masyarakat hukum. Penjagaan tertib sosial untuk sebagian besar sangat tergantung pada paksaan. Dalam literatur berbahasa inggris tujuan pidana biasa disingkat dengan istilah 3R dan 1D, yakni Reformation, Restraint, dan Retribution, sedangkan 1D adalah deterrence yang terdiri dari Individual Deterrence dan General Deterrence.99 Penjabaran lebih lanjut dari istilah di atas adalah sebagai berikut:

Teori Pemidanaan 1D+3R100

















1.      Reformation, berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dan tiada seorangpun yang merugi jika penjahat menjadi baik. Reformasi perlu digabung dengan dengan tujuan yang lain seperti pencegahan.

2.       Restraint berarti mengasingkan pelanggar dari masyarakat. Dengan tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat berarti masyarakat

99A.Z. Abidin Dan Andi Hamzah.Pengantar Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta.Yarsif Watampone, 2010, Hlm. 7.

100Amir Ilyas.,Op. Cit.,Hlm 104.



66 | Memahami Hukum Pidana


itu akan menjadi lebih aman. Jadi ada juga kaitannya dengan sistem reformasi, jika dipertanyakan berapa lama terpidana harus diperbaiki dalam penjara yang bersamaan dengan itu ia tidak berada di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat memerlukan perlindungan fisik dari perampok bersenjata dan pendorong dari pada orang yang melakukan penggelapan. Bagi terpidana seumur hidup dan pidana mati, berarti ia harus disingkirkan dari masyarakat selamanya.

3.      Retribution, yakni pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan. Sekarang ini banyak dikritik sebagai sistem yang bersifat barbar dan tidak sesuai dengan masyarakat yang beradab. Namun bagi yang pro pembalasan ini mengatakan, bahwa orang yang menciptakan sistem yang lebih lunak kepada penjahat seperti reformasi itu membuat magna carta bagi penjahat (Magna Charta For Law Breaker). Sifat primitif hukum pidana, memang sulit dihilangkan, berbeda dengan bidang hukum yang lain.

4.      Deterrence, yakni menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, bagi yang mengritik teori ini mengatakan bahwa sangat kurang adil jika untuk tujuan mencegah orang lain melakukan kejahatan terpidana dikorbankan untuk menerima pidana itu.

Selain remmelink dengan pendapatnya di atas, Ted Honderich dalam buku Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, juga mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan pemidanaan. Menurutnya pemidanaan harus memuat 3 (tiga) unsur, yakni:101

101Sholehuddin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana “Ide Dasar Double Track Sistem Dan Implementasinya”. Jakarta, PT. Raja Gravindo Persada., Hlm. 70-71.



Memahami Hukum Pidana | 67


a.   Pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur pertama ini pada dasarnya merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek yang menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek lain. Secara actual, tindakan subjek lain itu di anggap salah bukan saja karena mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah.

b.    Setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang secara hukum pula. Jadi pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan sebagai hasil keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa. Karenanya, pemidanaan bukan merupakan tindakan balas dendam dari korban terhadap pelanggar hukum yang mengakibatkan penderitaan.

c.    Penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pemidanaan hanya kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Unsur ketiga ini memang mengundang pertanyaan tentang hukum kolektif, misalnya embargo ekonomi yang dirasakan juga oleh orang-orang yang tidak bersalah. Meskipun demikian, secara umum pemidanaan dapat dirumuskan terbuka sebagai denda (penalty) yang diberikan oleh instansi yang berwenang kepada pelanggar hukum atau peraturan.

C. Jenis-Jenis Pidana

Hukum pidana indonesia mengenal 2 (dua) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yakni :

1.    Pidana Pokok

a.    Pidana mati;

b.    Pidana penjara;




68 | Memahami Hukum Pidana


c.    Pidana kurungan; dan

d.    Pidana denda.

2.    Pidana Tambahan

a.    Pencabutan hak-hak tertentu;

b.    Perampasan barang-barang tertentu;dan

c.    Pengumuman putusan hakim.

Adapun mengenai kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana-pidana pokok, dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan.

Perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut :

a.    Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barng-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).

b.    Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pada pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).





Memahami Hukum Pidana | 69


c.    Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.

Berikut ini penjelasan tentang jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1.    Pidana Pokok a. Pidana Mati
Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 11 KUHP yaitu :

“Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri’.Di dalam Negara Indonesia tindak pidana yang diancam pidana mati semakin banyak yaitu pelanggaran terhadap Pasal 104 KUHP, Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 124 ayat (3) KUHP, Pasal 140 ayat (4) KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 444 KUHP, Pasal 479 ayat (2) KUHP, dan Pasal 368 ayat (2) KUHP.

Pidana mati juga tercantum dalam Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan Pasal 15 pidana mati juga bagi perbuatan jahat, percobaan atau pembantuan kemudahan, sarana atau keterangan terjadinya tindak pidana terorisme di luar wilayah Indonesia terhadap delik tersebut di muka (Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 14).

Apabila terpidana dijatuhi hukuman mati, maka eksekusi putusan akan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan eksekusi (fiat executie) dari Presiden (Kepala Negara) berupa penolakan grasi walaupun seandainya terpidana tidak mengajukan permohonan grasi. Kemudian




70 | Memahami Hukum Pidana


untuk pelaksanaan pidana mati tersebut orang harus juga memperhatikan beberapa ketentuan yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 2 Undang-undang No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang menyatakan :
1)    Jika pidana mati dijatuhkan oleh Pengadilan maka pelaksanaan dari pidana mati tersebut tidak boleh dijalankan selama 30 hari terhitung mulai hari-hari berikutnya dari hari keputusan itu menjadi tidak dapat diubah kembali, dengan pengertian bahwa dalam hal keputusan dalam pemerikasaan ulangan yang dijatuhkan oleh pengadilan ulangan, tenggang waktu 30 hari itu dihitung mulai hari berikutnya dari hari keputusan itu telah diberitahukan kepada terpidana.

2)    Jika terpidana dalam tenggang waktu yang tersebut di atas tidak mengajukan permohonan grasi, maka Panitera tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) yakni Panitera dari pengadilan yang telah memutuskan perkaranya pada tingkat pertama harus memberitahukan hal tersebut kepada Hakim atau Ketua Pengadilan dan Jaksa atau Kepala Kejaksaan tersebut dalam Pasal 8 ayat (1), (3) dan

(4)  yakni Hakim, Ketua Pengadilan, Kepala Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama serta Jaksa yang melakukan penuntutan pada peradilan tingkat pertama dengan catatan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8 berlaku dalam hal ini.
3)    Pidana mati itu tidak dapat dilaksanakan sebelum Putusan Presiden itu sampai kepada Kepala Kejaksaan yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau pada pegawai yang diwajibkan putusan hakim.

Dengan demikian pelaksanaan pidana mati harus dengan Keputusan Presiden sekalipun terpidana menolak untuk memohon pengampunan atau grasi dari Presiden.



Memahami Hukum Pidana | 71


Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer yang ditetapkan menjadi undang-undang No. 5 tahun 1969. Pada Pasal 1 mengatur bahwa “Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.” Hal ini juga menjadi dasar perubahan hukuman gantung menjadi tembak.
Pidana mati sesuai Pasal 7 sesuai Undang-Undang Nomor % tahun 1969, ditunda jika terpidana sakit jiwa atau wanita yang sedang hamil, ini sesuai dengan spirit dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan memperhatikan kemanusiaan.

b.      Pidana Penjara

Menurut Andi Hamzah, menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.102 Pidana seumur hidup biasanya tercantum di pasal yang juga ada ancaman pidana matinya (pidana mati, seumur hidup atau penjara dua puluh tahun).



102Andi Hamzah. Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia. Jakarta.

Pradnya Paramita, 1993, hlm. 36..



72 | Memahami Hukum Pidana


Sedangkan P.A.F. Lamintang menyatakan bahwa :103 Bentuk pidana penjara adalah merupakan suatu

pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk memilih dan dipilih (dalam kaitannya dengan pemilihan umum), hak memegang jabatan publik, dan lain-lain. Masih banyak hak-hak kewarganegaraan lainnya yang hilang jika seseorang berada dalam penjara sebagaimana yang dinyatakan oleh Andi Hamzah, yaitu:104 Pidana penjara disebut pidana kehilangan kemerdekaan, bukan saja dalam arti sempit bahwa ia tidak merdeka bepergian, tetapi juga narapidana itu kehilangan hak-hak tertentu seperti :

1)    Hak untuk memilih dan dipilih (lihat Undang-undang Pemilu). Di negara liberal sekalipun demikian halnya. Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur;

2)   Hak untuk memangku jabatan publik. Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakukan manusia yang tidak baik;


103P.A.F Lamintang,1993, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung. Citra Aditya Bakti, 1997, Hlm 69

104Andi Hamzah. Op. Cit., Hlm. 38.



Memahami Hukum Pidana | 73


3)   Hak untuk bekerja pada perusahan-perusahan. Dalam hal ini telah dipraktikkan pengendoran dalam batas-batas tertentu;
4)   Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu, misalnya saja izin usaha, izin praktik (dokter, pengacara, notaris, dan lain-lain);
5)   Hak untuk mengadakan asuransi hidup;

6)   Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan. Pemenjaraan merupakan salah satu alasan untuk minta perceraian menurut hukum perdata;
7)   Hak untuk kawin, meskipun adakalanya seseorang kawin sementara menjalani pidana penjara, namun itu merupakan keadaan luar biasa dan hanya bersifat formalitas belaka; dan

8)   Beberapa hak sipil yang lain. c. Pidana Kurungan

Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana penjara, keduanya merupakan jenis pidana perampasan kemerdekaan. Pidana kurungan membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang terpidana dengan mengurung orang tesebut di dalam sebuah lembaga Pemasyarakatan.

Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHP, bahwa berat ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lama hukuman pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHP, bahwa :
“Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau pengulangan



74 | Memahami Hukum Pidana


atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan”. Menurut Vos dalam Andi Hamzah dijelaskan bahwa, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu:

1)    Sebagai custodia honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delicculpa dan beberapa delic dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (Pasal 396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh yang dikemukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan.

2)   Sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.

Dengan demikian bagi delik-delik pelanggaran, maka pidana kurungan menjadi pidana pokok, khususnya di Belanda pidana tambahan khusus untuk pelanggaran, yaitu penempatan di tempat kerja negara.105

d.  Pidana Denda

Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karana ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.






105Andi Hamzah, Op. Cit. Hal. 48-49.



Memahami Hukum Pidana | 75


Menurut P.A.F. Lamintang bahwa :106

Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan Buku II KUHP yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran. Pidana denda ini juga diancamkan baik baik satu-satunya pidana pokok maupun secara alternatif dengan pidana penjara saja, atau alternatif dengan kedua pidana pokok tersebut secara bersama-sama. Oleh karena itu pula pidana denda dapat dipikul oleh orang lain selama terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.

2. Pidana Tambahan

Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.

Menurut Hermin Hadiati bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan bagi penjaTuhan pidana pokok, ketentuan tersebut adalah :107

a.    Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya.

b.    Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalamrumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan

106P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung, Citra Aditya, 1997, hlm 2-3

107Hermien Hardiati Koeswadji, .Kejahatan Terhadap Nyawa,Asas-Asas Kasus Dan Permasalahannya. Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga. 1980, hlm. 56



76 | Memahami Hukum Pidana


tegas sebagai ancaman, ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.

c.    Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya diancamkan kepada beberapa perbuatan pidana tertentu.
d.    Walaupun diancamkan secara tegas di dalam perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau tidak.

Pidana tambahan sebenarnya bersifat preventif. Ia juga bersifat sangat khusus sehingga sering sifat pidananya hilang dan sifat preventif inilah yang menonjol. Pidana tambahan pun sering termasuk dalam kemungkinan mendapat grasi.

a.    Pencabutan Hak-hak Tertentu

Menurut ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut oleh hakim dengan suatu putusan pengadilan adalah:
1)   Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2)   Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;

3)   Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4)    Hak menjadi penasehat atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawasan atas orang yang bukan anak sendiri;

5)   Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6)   Hak menjalankan mata pencarian tertentu. Dalam hal dilakukannya pencabutan hak, Pasal 38 ayat (1) KUHP mengatur bahwa hakim menentukan lamanya pencabutan hak sebagai berikut :





Memahami Hukum Pidana | 77


a)    Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka lamanya pencabutan adalah seumur hidup.

b)   Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.

c)    Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.

Pencabutan hak itu mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan. Dalam hal ini hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.

b.    Perampasan Barang-barang Tertentu

Pidana perampasan barang-barang tertentu merupakan jenis pidana harta kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda. Ketentuan mengenai perampasan barang-barang tertentu terdapat dalam Pasal 39 KUHP yaitu :

1)   Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;
2)    Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang telah ditentukan dalam undang-undang;

3)   Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

Perampasan atas barang-barang yang tidak disita sebelumnya diganti menjadi pidana kurungan apabila barang-barang itu



78 | Memahami Hukum Pidana


tidak diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim tidak dibayar. Kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan. Kurungan pengganti ini juga dihapus jika barang-barang yang dirampas diserahkan.

c.   Pengumuman Putusan Hakim

Pengumuman putusan hakim diatur dalam Pasal 43 KUHP yang mengatur bahwa: “Apabila hakim memerintahkan agar putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan umum yang lainnya, harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Pidana tambahan pengumuman putusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang”.
Pidana tambahan pengumuman putusan hakim ini dimaksudkan terutama untuk pencegahan agar masyarakat terhindar dari kelihaian busuk atau kesembronoan seorang pelaku. Pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara tegas ditentukan berlaku untuk pasal-pasal tindak pidana tertentu.

Di dalam KUHP hanya untuk beberapa jenis kejahatan saja yang diancam dengan pidana tambahan ini yaitu terhadap kejahatan-kejahatan :

1)    Menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan Perang dalam waktu perang.
2)   Penjualan, penawaran, penyerahan, membagikan barang-barang yang membahayakan jiwa atau kesehatan dengan sengaja atau karena alpa.

3)     Kesembronoan seseorang sehingga mengakibatkan orang lain luka atau mati.
4)   Penggelapan.

5)   Penipuan.

6)   Tindakan merugikan pemiutang





Memahami Hukum Pidana | 79






















































80 | Memahami Hukum Pidana




BAB VII

KONSEP ASAS LEGALITAS

DALAH HUKUM PIDANA





A. Legalitas Hukum

Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat fundanmental. Asas legalitas dalam hukum pidana begitu penting untuk menentukan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diperlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi108 Asas legalitas termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang penyangga hukum pidana. Asas ini tersirat didalam pasal 1 KUHP yang dirumuskan demikian :

1)   Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
2)   Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang- undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.

Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Hukum, yang secara tegas tercantum dalam penjelasan pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

108Mahrus Ali,. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta, Sinar Grafika, 2012,

hlm59



Memahami Hukum Pidana | 81


1945. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga negaranya.

Negara Indonesia menjadikan asas hukum pidananya sebagai bagian dari semboyan yang berbunyi : “ Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali “ yang artinya, tindak pidana tidak dapat dihukum kalau belum ada undang-lebih dahulu. Semboyan tersebut berasal dari Von Feuerbach, dimaksudkan untuk melindungi warga Negara dari tindakan sewenang – wenang penguasa (hakim). Semboyan tersebut tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yang menyatakan: “Tiada suatu perbuatan/ tindakan yang dapat dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang-undang yang ditetapkan terlebih dahulu daripada perbuatan itu“. Istilah “ undang-undang “ di sini harus diartikan secara luas, yaitu termasuk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh yang berwajib (misalnya: peraturan daerah yang mengandung ancaman hukuman). Ketentuan di dalam Pasal 1 ayat 1 itu bermakna dua :

1.    Sebagai kepastian, bahwa undang-undang hanya berlaku untuk ke depan dan tidak berlaku surut.
2.    Sebagai kepastian, bahwa sumber hukum pidana tiada lain dari Undang-undang (dalam arti luas ).

Ketentuan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP (Kitab Undang

– Undang Hukum Pidana) di atas dikecualikan di dalam yang tersebut dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang berbunyi: “Jika terjadi perubahan dalam peraturan hukum sesudah waktu dilakukan perbuatan itu, maka dipakailah ketentuan yang lebih baik/ ringan bagi tersangka“.109 Syarat suatu Undang-undang :

109Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung. CV. Armico, 1993, hlm. 149.



82 | Memahami Hukum Pidana


1.    Rumusannya harus jelas, cermat (Asas Lex Certa), artinya Pasal-Pasal Undang-Undang (UU) tersebut tidak boleh menimbulkan penafsiran ganda.

2.    Batasan wewenang terhadap rakyat (oleh penguasa harus tajam (Pasal 1 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan Pasal 3 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Sifat perundang-undangan Pidana

1.    Melindungi rakyat dari tindakan pemerintah tanpa batas atau sewenang – wenang.
2.    Punya fungsi instrument dalam melaksanakan pemerintahan, mana yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. segi timbul atau dicetuskannya Asas Legalitas

3.    Untuk melindungi rakyat (dari kesewenang-wenanganan penguasa Untuk melindungi penguasa dari rakyat (Pasal 104, 154 Undang Hukum Pidana. Ajarannya : Von Psichologische Zwang (Paksaan Psikologis) yang berarti bahwa :
a)   Untuk memaksa rakyat berbuat menurut hukum, maka diberi ancaman bagi yang melawan.
b)   Agar ancaman pidana efektif dan ada efeknya, tiap-tiap pelanggaran pidana harus dipidana.
c)    Dalam penerapan pidana berlaku asas “Kesamaan“ artinya dalam keadaan yang sama diperlakukan sama.

Rumusannya :

1)     Noela Poena Sine Lege = tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang.
2)     Noela Poena Sine Crimine = tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
3)     Nullum Crimen Sine Poena Legali = tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.



Memahami Hukum Pidana | 83


Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas Hukum dimana negara indonesia menjamin kepastian hukum dalam memberikan proses keadilan dengan cara menuliskan semua bentuk ketentuan pidana dalam perundang undangan. Asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi “tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Asas legalitas (the principle of legality) yaitu asas yang menentukan bahwa tiap-tiap peristiwa pidana (delik/ tindak pidana ) harus diatur terlebih dahulu oleh suatu aturan undang-undang atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada atau berlaku sebelum orang itu melakukan perbuatan. Setiap orang yang melakukan delik diancam dengan pidana dan harus mempertanggungjawabkan secara hukum perbuatannya itu.

Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat perlindungan pada undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Di samping fungsi melindungi, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental, yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang- undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman, sehubungan dengan kedua fungsi itu, merumuskan asas legalitas dalam bahasa Latin, yaitu :

a)     Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang.
b)     Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
c)      Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.





84 | Memahami Hukum Pidana


Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat, yaitu nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang terlebih dahulu. Dari penjelasan tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa asas legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung tiga pokok pengertian yakni :

a)    Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana (dihukum) apabila perbuatan tersebut tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan sebelumnya/terlebih dahulu, jadi harus ada aturan yang mengaturnya sebelum orang tersebut melakukan perbuatan;

b)    Untuk menentukan adanya peristiwa pidana (delik/tindak pidana) tidak boleh menggunakan analogi; dan
c)    Peraturan-peraturan hukum pidana/perundang-undangan tidak boleh berlaku surut;

Menurut Muladi asas legalitas diadakan bukan karena tanpa alasan tertentu. Asas legalitas diadakan bertujuan untuk:

a.    Memperkuat adanya kepastian hukum;

b.    Menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa;

c.    Mengefektifkan deterent function dari sanksi pidana;

d.    Mencegah penyalahgunaan kekuasaan; dan

e.    Memperkokoh penerapan “the rule of law”.

Sementara itu, Ahmad Bahiej dalam bukunya Hukum Pidana, memberikan penjelasan mengenai konsekuensi asas legalitas Formil, yakni:

1.    Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan perundang-undangan. Konsekuensinya adalah:
a)    Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai tindak pidana juga tidak dapat dipidana.




Memahami Hukum Pidana | 85


b)   Ada larangan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi tindak pidana.
2.    Peraturan perundang-undangan itu harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Konsekuensinya adalah aturan pidana tidak boleh berlaku surut (retroaktif), hal ini didasari oleh pemikiran bahwa:

a)   Menjamin kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan penguasa.
b)    Berhubungan dengan teori paksaan psikis dari anselem Von Feuerbach, bahwa si calon pelaku tindak pidana110

Menurut Bagir Manan kepastian hukum merupakan asas penting dalam tindakan hukum (rechtshandeling) serta penegakan hukum (rechtshandhaving) dan ini telah menjadi pengetahuan umum bahwa peraturan perundang-undangan dapat memberikan kepastian hukum lebih tinggi daripada hukum kebiasaan, hukum adat atau hukum yurisprudensi. Namun perlu diketahui pula bahwa kepastian hukum peraturan perundang-undangan tidak semata-mata diletakkan dalam bentuknya yang tertulis (geschreven). Kepastian hukum suatu peraturan perundang-undangan, dapat terlaksana selain memenuhi syarat formal juga harus memenuhi syarat: perumusan yang jelas; konsisten dalam perumusan baik secara intern maupun ekstern; menggunakan bahasa yang tepat dan mudah dimengerti111.

B.   Pertanggungjawaban Hukum Dalam Konsep Legalitas Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia

adalah, keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya, atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab hukum adalah kesadaran manusia akan tingkah

110 Ibid., Hlm 13.

111B. Manan, Pembinaan Hukum Nasional, Bandung, Alumni, 2000, hal

225



86 | Memahami Hukum Pidana


laku atau perbuatan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.

Ridwan Halim mendefinisikan tanggung jawab hukum sebagai sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berperilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada. Purbacaraka berpendapat bahwa tanggung jawab hukum bersumber atau lahir atas penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak atau/dan melaksanakan kewajibannya. Lebih lanjut ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak baik yang dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggung jawaban, demikian pula dengan pelaksanaan kekuasaan.112
Pada hakikatnya hanya masing-masing individu yang dapat bertanggungjawab. Hanya mereka yang memikul akibat dari perbuatan mereka. Oleh karenanya, istilah tanggung jawab pribadi atau tanggung jawab sendiri sebenarnya “mubajir”. Suatu masyarakat yang tidak mengakui bahwa setiap individu mempunyai nilainya sendiri yang berhak diikutinya tidak mampu menghargai martabat individu tersebut dan tidak mampu mengenali hakikat kebebasan. Friedrich August von Hayek mengatakan, semua bentuk dari apa yang disebut dengan tanggung jawab kolektif mengacu pada tanggung jawab individu. Istilah tanggung jawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi tanggung jawab itu sendiri. Dalam tanggung jawab lingkungan sebuah masalah jelas bagi setiap pendelegasian kewenangan (tanggung jawab). Karena

112Khairunnisa, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Medan. Pasca Sarjana, 2008, hlm. 4



Memahami Hukum Pidana | 87


itulah para penganut liberal menekankan pada subsidiaritas, pada keputusan-keputusan yang sedapat mungkin ditentukan di kalangan rakyat113.

Dalam hal pertanggungjawaban dalam hukum pidana menganut asas “tiada pidana tanpa kesalahan“ (geen straf zonder schuld). Walaupun tidak dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dianut dalam praktik. Tidak dapat dipisahkan antara kesalahan dan pertanggung jawaban atas perbuatan. Orang yang melakukan dengan kesalahan saja yang dibebani tanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya.114 Dahulu dalam hal tindak pidana pelanggaran, pernah dianut paham pertanggung jawab pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan pada pembuatnya (leer van het materiele fait). Paham ini disebut juga dengan paham perbuatan materiil (fait materielle). Seperti contoh dalam hukum pidana fiskal tidak memakai kesalahan. Kalau orang telah melanggar ketentuan, dia diberi pidana denda atau rampas.115
Pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan beberapa hal, antara lain: Ada atau tidaknya kebebasan manusia untuk menentukan kehendak, tingkat kemampuan bertanggungjawab (mampu, kurang mampu, tidak mampu), batasan umur untuk dianggap mampu atau tidak mampu bertanggung jawab116.

Tanggungjawab dalam hukum pidana yang didasarkan asas legalitas ini menganut faham monolistik/individualis karena berdasar harus adanya kesalahan, sedangkan untuk mengikuti perkembangan rasa keadilan dan keberimbangan dalam masyarakat diharapkan kedepannya tanggungjawab pidana tertentu dapat diperluas menjadi
monodualis.

113Widiyono, Wewenang Dan Tanggung Jawab, Bogor. Ghalia Indonesia,

2004, Cet. 1, hlm. 27

114Chazawi, Adami, Op.,Cit,, hlm. 151

115Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta. Rineka Cipta,

2008, hlm 165

116T. Prasetyo dan A.H. Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2012, hlm 62



88 | Memahami Hukum Pidana




BAB VIII

KONSEP PEMBEBASAN BERSYARAT

DALAM HUKUM PIDANA





A. Ratio Legis Pembebasan Bersyarat

Berdasarkan Permenkumham 3 Tahun 2018 memberikan pengertian pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Pembebasan bersyarat ini dapat diberikan kepada Narapidana sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Pembebasan Bersyarat dapat diajukan dengan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dan mengikuti proses yang dijabarkan dalam Permenkumham 3/2018 sampai terbitnya keputusan pemberian pembebasan bersyarat dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan HAM..117

Pembebasan bersyarat merupakan proses pembinaan narapidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut minimal 9 (sembilan) bulan118. Pembebasan bersyarat tersebut merupakan bagian
117Hartanto, Eksistensi Deradikalisasi Dalam Konsep Pembebasan Bersyarat Bagi Nara Pidana Terorisme, Jurnal UIN Allaudin Makassar, vol. 6, no. 1 tahun 2019.

118Indonesia [g],Peraturan Pemerintahtentang Syarat dan Tata Cara



Memahami Hukum Pidana | 89


dari fungsi Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah satu dari bagian sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan119. Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah pelepasan bersyarat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dimana penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri120.

Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam Wetboek van straftrecht voor Nederlandsch-Indieter pengaruh oleh sistem pidana penjara di Inggris (progressive system), dimana pembebasan bersyarat tersebut dimaksudkan sisa pidana terakhir dalam rangka pengembalian terpidana dengan baik ke masyarakat121. Pelepasan bersyarat tidak secara tersurat dituliskan dalam KUHP. Ketentuan pelepasan bersyarat dalam KUHP yang ditetapkan dengan K.B. No.33 tanggal 15 Oktober 1955 yang berlaku diIndonesia pada tanggal 1 Januari 1918 (vide Stb. 1917-497 jo 645)122, mengalami perubahan melalui Stb. 1926-251 jo 486123. Pada Pasal 15 lama ditentukan bahwa pelepasan bersyarat diterapkan kepada penjatuhan pidana penjara yang panjang. Pelepasan bersyarat akan diberikan apabila tiga perempat dari pidananya telah dijalani dalam penjara,

Pelaksanaan HakWarga Binaan Pemasyarakatan,PP No. 32 Tahun 1999, LN No. 69 Tahun 1999, TLN No. 3846,ps.1 bagian 7

119Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan pemikiran DR.Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, Jakarta. Indhill Co, 2008, hlm. 23

120R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita,Sistem Pemasyarakatan Di Inodonesia, Bandung, Binacipta, 1979, hlm. 17

121E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi,Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,cet. 3, Jakarta. Storia Grafika, 2002, hlm. 473

122Bambang Poernomo,Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta. Liberty, 1985, hlm. 87

123E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Op. Cit., hlm. 476



90 | Memahami Hukum Pidana


yang sekurang - kurangnya harus tiga tahun. Sedangkan pada Pasal 15 KUHP yang diubah dengan Stb 1926 - 251 jo 486, yang merupakan Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang berlaku hingga sekarang, pelepasan bersyarat dapat diberikan kepada terpidana yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurang - kurangnya harus 9 (sembilan) bulan, dimana ketentuan ini juga berlaku pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan. Selanjutnya, dalam peraturan perundang undangan yang mengatur mengenai pelepasan bersyarat, yaitu KUHP dan Ordonansi Pelepasan Bersyarat (Voorwaardelijke Invrijheidsteeling) S. 1917-749, tidak terdapat ketentuan mengenai bimbingan dan pembinaan terhadap terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat. Hal tersebut berbeda pada saat istilah pembebasan bersyarat digunakan, yakni terdapat pengaturan mengenai bimbingan dan pembinaan dalam ketentuan pembebasan bersyarat, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat wajib mengikuti bimbingan yang diberikan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

Berdasarkan dari tujuan daripada penjatuhan pidana selain pembinaan kepada pelaku atas kejahatannya juga bermaksud mengamankan masyarakat, dari kedua tujuan tersebut juga bermaksud untuk mempersiapkan dan memberikan narapidana tersebut bekal saat dikembalikan ke dalam masyarakat. Pembinaan narapidana yang dilaksanakan berdasarkan sistem kemasyrakatan diharapkan mampu untuk mencapai tujuan -tujuan dari pemidanaan, untuk mewujudkan tujuan tersebut salah satu upayanya adalah dengan pemberian pembebasan bersyarat. Pelepasan bersyarat pada awalnya dikenal di dalam Wetboek Van Strafrecht (WvS) Belanda, kemudian dirubah dengan Stb. 1926 No. 251 jo 486 yang merupakan kelanjutan dari Stb. 1917 No. 749 yang saat ini dikenal sebagai

Ordonnantie Op De Voorwaardelijke Invrjheids Stelling.




Memahami Hukum Pidana | 91


Lamintang, mengatakan bahwa pembebasan bersyarat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :124

1.    Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk menjalankan pidana penjara dalam suatu lembaga pemasyarakatan seperti yang diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 17 KUHP, lebih lanjut setelah diatur dalam ordonansi tanggal 27 Desember 1917, Stb nomor 749 yang juga dikenal sebagai ordonansi de voor wardelijjke invrijheidstelling atau peraturan mengenai Pembebasan bersyarat.

2.    Pembebasan bersyarat dari kewajiban untuk mendapatkan pendidikan dalam suatu lembaga pendidikan suatu Negara seperti yang dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) dan Pasal 69 ayat (1) dari ordonansi pada tanggal 21 Desember 1917, Stb nomor 741 yang juga dikenal sebagai dwangopveding regeling atau peraturan mengenai pendidikan paksa.

Pembebasan bersyarat merupakan hak asasi manusia yang kemudian hak asasi tersebut dituangkan dalam produk hukum yang di atur dalam UU No 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Seiring dengan perubahan penjara menjadi lembaga pemasyarakatan, penekanan perlakuan terhadap narapidana dan anak pidana seharusnya telah berubah secara total, karena dasar pijakannya sudah berubah dari pembalasan menjadi pembinaan. Oleh karena perubahan itu, kepada narapidana dan anak pidana telah diberikan berbagai macam hak, seperti hak untuk melakukan ibadah, mendapat perawatan (rohani dan jasmani),pendidikan dan pengajaran, pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, menyampaikan keluhan, menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya, pengurangan masa pidana (remisi), berasimilasi (termasuk cuti mengunjungi keluarga), pembebasan bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Hak-hak tersebut

124P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984, hlm 247 -248.



92 | Memahami Hukum Pidana


diberikan seiring dengan proses pembinaan atau pemasyarakatan yang telah dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan Pembinaan dalam sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Sistem pemasyarakatan telah dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konsep pencetus lembaga pemasyarakatan itu sendiri, yaitu Sahardjo bahwa kehilangan kemerdekaan (kebebasan) merupakan satu-satunya pen-deritaan yang dialami narapidana dan anak pidana, sedangkan hak-hak lain tidak boleh dikurangi125

Pembebasan bersyarat diatur dalam Permenkumham 3/2018, bersamaan dengan aturan lain tentang: Remisi, Asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat; Pasal 8 untuk tindak pidana terorisme; Pasal 9 untuk tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika; Pasal 10 dan Pasal 84 untuk tindak pidana korupsi; Pasal 11 keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya; dan bagi pelaku anak diatur khusus dalam Pasal 13 dan 14.

B. Teori Pemenuhan Hak Pembebasan Bersyarat

Van Eikema Homes, mengemukakan bahwa prinsip bukan norma hukum yang konkret, tetapi sebagai dasar dasar umum atau penunjuk penunjuk bagi hukum yang berlaku. Jadi merupakan dasar-dasar petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif sehingga dalam pembentukan hukum praktis harus berorientasi pada prinsip prinsip hukum yang mana dasar dasar yang di jadikan sebagai petunjuk

125Jurnal, Berlian Simarmata, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Koruptor dan Teroris, Yogyakarta, Mimbar Hukum Vol. 23, No. 3, Oktober 2011, hlm 433



Memahami Hukum Pidana | 93


dalam pembentukan hukum pidana yang beorientasi pada prinsip prinsip hukum yang menjamin hak seluruh masyarakat. Van Bemmelen dalam Amir Hamzah seorang ahli pidana menganut teori gabungan mengatakan, Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan ini dimaksudkan mengamankan dan memeliharan tujuan. Jadi pidana dan tindakan bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan bermasyarakat”.126 Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai upaya pembalasan dendam, namun yang paling penting ialah sebagai upaya pemberian bimbingan dan pengayoman. Pengayoman kepada masyarakat sekaligus kepada terpidana sendiri agar menjadi insaf dan dapat menjadi anggota masyarakat yang baik.

Dalam literatur berbahasa Inggris kerap kali dikemukakan bahwa hak berdasarkan hukum (legal right) dibedakan dari hak yang timbul dari norma lain. Menurut Paton, hak berdasarkan hukum biasanya diartikan sebagai hak yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Menurut Jeremy Bentham, hak adalah anak dari hukum. Dari hukum yang nyata timbul hak yang nyata. Sebaliknya dari hukum yang imajiner yaitu hukum alam, timbul hak yang bersifat imajiner. Hak-hak alamiah benar-benar tidak masuk akal. Sebelum Bentham, David Hume juga berpendapat bahwa hukum alam dan hak-hak alamiah bersifat meta-fisis dan tidak nyata. Oleh karena itu Bentham berpendapat bahwa hukum yang nyata bukanlah hukum alam, melainkan hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif.127

Menurut M.D.A Freeman terdapat dua teori mengenai hukum pidana, yaitu teori kehendak yang menitikbetkan kepada kehendak atau pilihan dan lain teori kepentingan atau teori kemanfaatan. Kedua teori tersebut berkaitan dengan tujuan hukum. Teori

126Andi Hamzah. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta. Pradnya Paramita, 1993, hlm 32

127Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana,

2016, hlm. 142.



94 | Memahami Hukum Pidana


kehendak dianut oleh mereka yang berpandangan bahwa tujuan hukum memberikan kebebasan apa yang dikehendakinya. Apa yang akan ia lakukan merupakan suatu pilhan. Dengan demikian, diskresi individu merupakan ciri khas paling menonjol dari konsep hak. Penganut teori kehendak pada dewasa ini adalah H.L.A. Hart. 128

Adapun teori kepentingan atau kemanfaatan pertama kali dijumpai dalam karya Bentham yang kemudian diadopsi oleh Rudolf von Campbell, dan lain-lain. Dalam menelaah kedua teori tersebut, Paton berpendapat bahwa esensi hak bukanlah kekuasaan yang dijamin oleh hukum, melainkan kekuasaan yang dijamin oleh hukum untuk merealisasi suatu kepentingan. Untuk menopang pendapat tersebut, Paton mengemukakan bahwa kehendak manusia tidak bekerja tanpa maksud apa-apa tetapi mengingatkan tujuan-tujuan tertentu, yaitu kepentingan. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa kepentingan-kepentingan adalah objek keinginan manusia.129
Suatu negara pasti memiliki hubungan dengan warga negaranya. Hubungan inilah yang melahirkan hak dan kewajiban. Negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya, dan warga negara wajib mendapatkan perlindungan hukum. Indonesia telah mengukuhkan dirinya sebagai negara hukum yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi “Indonesia adalah negara hukum”. Perlindungan hukum menjadi unsur esensial serta menjadi konsekuensi dalam negara hukum, negara wajib menjamin hak-hak hukum warganya. Merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum Indonesia yang berlandaskan kepada pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara.

Perlindungan hukum tidak dapat dipisahkan dari konsep tentang hak dan hukum. Secara etismologi antara hukum dan hak

128Lord Lloyd of Hampstead dan M.D.A. Freeman, An Introduction To Jurisprudence . London: English Language Book Society, 1985, Di kutip dari Peter Mahmud Marzuki, Ibid., hlm. 150.

129Ibid., hlm. 290.



Memahami Hukum Pidana | 95


Sitorus,131
adalah sama. Istilah dalam bahasa-bahasa Eropa Kontinental, hak dan hukum dinyatakan dalam istilah yang sama, yaitu ius dalam bahasa latin, droit dalam bahasa Prancis, recht dalam bahasa Jerman dan Belanda. Untuk membedakan hak dan hukum, dalam literatur berbahasa Belanda digunakan istilah subjectief recht untuk hak dan objectief recht untuk hukum.130


Hans Kelsen sebagaimana dikutip dalam  disertasi Winner mengartikan objectief recht atau objective law is norm,

a complex norms, a system, sedangkan sebagai subjectief recht atau subjective rights is intersest or will. Teori perlindungan hukum dari Telders, Van der Grinten dan Molengraff sebagaimana dikutip Misahardi Wilamarta menyebutkan bahwa suatu norma dapat dilanggar apabila suatu kepentingan yang dimaksud untuk dilindungi oleh norma itu dilanggar. Teori ini menjadi pegangan yang kuat untuk menolak suatu tuntutan dari seseorang yang merasa dirugikan kepentingannya oleh suatu perbuatan melanggar hukum.132 Prajudi Atmosudirjo menyebutkan bahwa tujuan perlindungan hukum merupakan tercapainya keadilan. Fungsi hukum tidak hanya dalam upaya mewujudkan kepastian hukum saja, tetapi juga agar tercapainya jaminan dan keseimbangan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, akan tetapi berfungsi juga untuk menciptakan keseimbangan antara pelaku tindak pidana, dan pemerintah dengan rakyat. Hukum sangat dibutuhkan untuk melindungi mereka yang lemah atau belum kuat untuk memperoleh keadilan sosial.133

130Peter Mahmud Marzuki , Op Cit., hlm.165-166.

131Winner Sitorus, Kepentingan Umum Dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, Disertasi, Surabaya. Doktor, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2004, hlm. 24.

132Mishardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Monoritas dalam Rangka Good Corporte Gorvernance, Jakarta. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hlm. 20.

133L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Jakarta. Pradnya Paramitha, 2001, hlm .52.



96 | Memahami Hukum Pidana




DAFTAR PUSTAKA





Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta. PT Raja Grafindo persada, 2011

-----------------------,  Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2,    Jakarta.

PT. Rajagrafindo Persada, 2002.

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak
Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat

Pemidanaan, Yogyakarta. Mahakarya Rangkang Offset,

2012, Cetakan Pertama.

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta. Rineka Cipta,

1991.

-------------------, Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Edisi

Revisi Jakarta, 1994.

---------------------. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta.

Pradnya Paramita, 1993.

Abidin, Andi Zainal, Hukum Pidana Asas Hukum Pidana Dan Beberapa Pengupasan Tentang Delik-Delik Khusus, Jakarta. Prapanca, 1987.

----------------------------,  Hukum Pidana I,  Jakarta. Sinar Grafika,

1995.

Ahmad Nindra Ferry, Efektifitas Sanksi Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan Psikotropika Di Kota Makassar. Makassar. Perpustakaan Unhas, 2002.

A.Z. Abidin Dan Andi Hamzah.Pengantar dalam Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta.Yarsif Watampone, 2010.
A. Syamsuddin, “Tindak Pidana Khusus” Jakarta. Sinar Grafika, 2011 B. Manan, Pembinaan Hukum Nasional, Bandung. Alumni, 2000 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta. Ghalia
Indonesia, 1985.

-------------------------,Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem

Pemasyarakatan, Yogyakarta. Liberty, 1988.



Memahami Hukum Pidana | 97


Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta.

Berlian Simarmata, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Koruptor dan Teroris, yogyakarta, Jurnal, Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011.

E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta. Storia Grafika, 2002 cet. 3.
--------------------------------------------, 2002.Azas-Azas Hukum Pidana

di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta. Storia Grafika.

--------------------------------------------, Asas-Asas Hukum Pidana

Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta. Alumni AHM-

PTHM, 1982.

Hermien Hardiati Koeswadji, 1980.Kejahatan Terhadap Nyawa,Asas-

Asas Kasus Dan Permasalahannya. Departemen Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta.

Sinar Grafika, 2012.

Hartanto, Eksistensi Deradikalisasi Dalam Konsep Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana Terorisme, Jurnal UIN Allaudin, Makassar. Volume 6, Nomor 1 2019
I.D.G. Atmadja & I.N.P. Budiartha,Teori-Teori Hukum, Malang. Setara Press, 2018, hlm 39
Indonesia [g], Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 32 Tahun 1999, LN No. 69 Tahun 1999, TLN No. 3846.

J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana 1, Bandung. Binacipta, 1979. Koeswadji, Hermien Hadiati. Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana. Bandung,

PT. Citra Aditya Bakti, 1995.

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Jakarta. Aksara, 1993

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta. Rineka Cipta, 2002.

-------------, Asas – Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta. Rineka

Cipta, 2008.

-------------, ‘Istilah Perbuatan Pidana, Jakarta. Rineka Cipta, 2009.

Khairunnisa, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Medan. Pasca Sarjana, 2008, Cetakan Pertama.



98 | Memahami Hukum Pidana


Laden Marpaung, Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana. Jakarta.

Sinar Grafika, 2005.

Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung.

Citra Aditya Bakti, 1997.

-------------------------, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,

Bandung. Sinar Baru, 1984.

------------------------- , Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,

Bandung. Citra Aditya Bakti, 1993

--------------------------, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung.

Armico, 1984

L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, Jakarta. Pradnya Paramitha, 2001.
Lord Lloyd of Hampstead dan M.D.A. Freeman, An Introduction To Jurisprudence . London: English Language Book Society, dikutip dari Peter Mahmud, 1985

Mishardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Monoritas dalam Rangka Good Corporte Gorvernance, Jakarta. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.

Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan pemikiran DR.Sahardjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana. Jakarta, Indhill Co, 2008.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta. Kencana, 2016.
R. Achmad S. Soemadipradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan Di Inodonesia, Bandung. Penerbit Binacipta, 1979

R. Wiyanto. Asas-Ssas Hukum Pidana Indonesia. Bandung, Mandar Maju. 2012
Sofj an Sastrawidjaja, Hukum Pidana 1, CV. Armico, 1990. Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990. Simons Dalam Buku P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana

Indonesia, Bandung. Citra Aditya Bakti, 1997,. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana “Ide Dasar

Double Track Sistem Dan Implementasinya”. Jakarta. PT. Raja Gravindo Persada, 2004

Sianturi, S.R, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta. Alumni.



Memahami Hukum Pidana | 99


Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung, CV. Armico, 1993 T. Prasetyo, A.H. Barakatullah, Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum,

Jakarta. Raja Grafindo, 2012

T. Prasetyo dan A.H. Barkatullah,, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2012

Widiyono, Wewenang Dan Tanggung Jawab, Bogor. Ghalia Indonesia,

Cet. Pertama, 2004

Winner Sitorus, Kepentingan Umum Dalam Perlindungan Hak

Kekayaan Intelektual, Disertasi, Surabaya, Doktor, Fakultas

Hukum Universitas Airlangga, 2004

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia,

Bandung: Eresco, 1969

Zainal Abidin Farid Andi, Hukum Pidana I, Jakarta : Sinar Grafika,

1995.


































100 | Memahami Hukum Pidana




BIODATA PENULIS





Hartanto, S.E., S.H., M.Hum, lahir di Semarang, September 1976, tinggal di Yogyakarta. Mengawali karir sebagai pengajar tetap kontrak di Universitas Widya Mataram pada tahun 2009 dan diangkat menjadi dosen tetap pada tahun 2014. Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (S-1) di Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta pada tahun 1999, menyelesaikan pendidikan Magister Ilmu Hukum (S-2) di Universitas Atma Jaya Yogyakarta pada tahun 2007, dan menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum (S-1) di Universitas Widya Mataram Yogyakarta pada tahun 2009. Sekarang mengemban tugas sebagai Wakil Dekan 1 Bidang Akademik serta Kepala Program Studi Ilmu Hukum, serta aktif diberbagai organisasi sosial kemasyarakatan, antara lain Ketua Umum Pengurus Daerah Taekwondo Indonesia DIY, Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Kota Yogyakarta, anggota lembaga hukum FKPPI DIY, dan pengajar pada Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Keseharian juga aktif menulis beberapa jurnal dan media massa. Untuk saat ini sedang mempersiapkan studi lanjut ke jenjang strata 3 (S-3). E-mail: hartanto.yogya@gmail.com
















Memahami Hukum Pidana | 101






















































102 | Memahami Hukum Pidana

Comments

Popular posts from this blog

Jurnal PERLINDUNGAN HUKUM WARALABA SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN USAHA ( Hartanto & Erna Tri R R )

( Buku Monograf) PERSPEKTIF KEADILAN DAN KESEIMBANGAN PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK