BERNASNEWS.COM —Istilah“New Normal”muncul tatkala terjadi krisis ekonomi dunia sekitar tahun 2007-2008. Setelah diterpa krisis, maka berbagai kebijakan baru dibidang keuangan muncul, sehingga digunakan istilah“New Normal”.
New Normal setelah seluruh dunia dihantam pandemi virus Corona (Covid 2019), ada beberapa pendapat yang mendasari mengapa diperlakukan kebijakan baru dengan istilah new normal, yaitu, APBN/APBD cukup berat dalam membiayai penanggulangan dan sektor ekonomi mengalami stagnasi bahkan penurunan yang berakibat melemahkan seluruh sektor.
Dan yang paling memprihatinkan adalah banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor swasta. Pendapat lain mengatakan, bahwa pandemik (bukan pendemi/epidemi) virus Covid-19 hanya akan menurun tapi tidak akan berakhir, jadi mau tidak mau kita harus beradaptasi.
New normal awalnya muncul dalam istilah di bidang keuangan, tentu memiliki persamaan dan perbedaan dalam era Covid-19. Kesamaannya adalah hal semangat terhadap “hal baru” kebijakan baru. Sementara perbedaannya, bahwa kebijakan di era Covid-19 menyangkut kesehatan/ nyawa manusia.
Sependek pamahaman saya new normal adalah, perubahan dari keadaan normal menjadi keadaan tidak normal (normal baru), namun kita gunakan istilah positif yaitu “New Normal”, dimana hal-baru yang tidak normal harus kita terima dengan adaptasi sehingga diharapkan kita merasa itu adalah normal. Contoh, Social/ Physical distancing (menjaga jarak) yang dulunya tidak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia apalagi local wisdom, harus kita terima sebagai hal yang normal, mengingat adanya pandemik virus Corona/Covid-19.
Dulu interaksi sosial menjadi perilaku sehari-hari, sekarang kita diwarnai interaksi digital melalui internet. Menurut saya, ini dunia maju tapi jika dilakukan setiap hari akan menjadi dunia “kering” yang berpotensi mereduksi nilai/ norma. Terkait dikotomi social atau physical, menurut saya lebih cocok physical distancing. Karena secara fisik orang dibatasi dalam interaksi, namun secara sosial hubungan sosial tetap terjalin erat, agar tidak memunculkan individualistis. Hal ini tentu kita ingat istilah “Jauh di Mata Dekat di Hati”.
Era new normal, akan kita masuki meski ada pro dan kontra. Itu hal biasa dalam negara demokrasi, namun hal ini tidak serta-merta mengurangi kewajiban pemerintah/ pemerintah daerah dalam memanajemeni upaya pencegahan dan penanggulangan pandemik Corona/Covid-19, setidaknya sebagaimana termaktub dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 24 tahun 2007 tentang Penaggulangan Bencana.
Usulan saya sebagai rakyat kecil, perlunya diambil kebijakan dalam menyongsong “New Normal”, dengan kesiapan yang benar-benar terukur dengan segala antisipasinya. Misal, produksi Alat Pengaman Diri (APD) lokal, pantau perkembangan riset-riset vaksin/obat yang telah masuk fase uji coba 1 dan dua, supaya kita berpeluang mendapat vaksin/obat tersebut baik impor atau lokal.
Kesiapan rumah sakit/ tenaga medis sebagai garda terdepan, elemen masyarakat yang aktif dalam penanggulangan Covid-19, jika memungkinkan secara periodik dilakukan lockdown serentak 1-2 hari saja untuk digunakan tenaga medis melakukan “perburuan terhadap virus” dengan rapid test (jika swap dirasa membebani APBN/APBD). Perburuan ini untuk random mendeteksi klaster-klaster baru, kemudian disediakan tirai handsanitizer (bukan tirai disinfektan) di kantor/fasilitas publik.
Yang perlu kami garis bawahi, bahwa peran pemerintah/ pemda dalam pencegahan dan penanggulangan pandemik virus Corona/ Covid-19 ini membutuhkan kesadaran dan peran masyarakat. Tanpa peran masyarakat dan segenap elemen bangsa, maka mustahil penyebaran virus Corona/Covid-19 dapat diminimalkan.
Kita harus menyadari bersama, apapun status/ kebijakan pemerintah atau siapapun terkait virus ini, tidak akan merubah “perilaku” virus ini. Pandemi global ini kiranya dipertimbangkan dari sudut penyelamatan nyawa, tidak ekonomi semata. Bagi yang terhormat tokoh politik, jika ingin berstatmen, kiranya difokuskan mencari solusi untuk menunjukkan kenegarawanannya.
Sementara itu, untuk pemerintah harapannya adalah, jangan menaikkan listrik atau pajak. Karena akan memperberat beban masyarakat. Virus ini juga menyadarkan makna Bhinneka Tunggal Ika, tidak peduli siapa yang terpapar, mau golongan pelanggan listrik 450 watt, 900, atau 1.300 watt, golongan PNS atau Swasta, belum bekerja, atau anak-anak sekalipun, semua berpotensi terpapar jika tidak tertib berbudaya hidup sehat. Secara khusus untuk anak-anak mohon diupayakan dalam waktu dekat jangan belajar di sekolah. (Hartanto,SE, SH, MHum, Wakil Dekan I Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta)
Bagi saya new normal harus di imbangi dengan sosialisasi di masyarakat dikarenakan banyak sekali masyarakat yang belum tahu apa itu new normal, banyak sekali orang beranggapan new normal itu benar" normal dan banyak sekali masyarakat yang menyalah artikan apa itu tentang new normal Contoh : banyak masyarakat yang tidak memakai masker dan mengindahkan tentang sosial distarcing Dandy nur harjuna
Menjaga Martabat Profesi Advokat Melalui Etika yang Terpadu dalam Era Distrubsi Hartanto Profesi advokat menempati posisi penting dalam sistem peradilan (catur wangsa). Mereka bukan hanya perpanjangan tangan hukum atau bahkan setara biro jasa hukum, tetapi juga pelindung hak asasi dan suara bagi yang lemah. Sebagai bagian dari profesi yang disebut officium nobile (profesi yang mulia) tanggung jawab advokat melampaui soal teknis legal belaka. Etika dan integritas menjadi pilar utama yang meneguhkan kehormatan profesi ini. Fenomena saat ini marwah (spirit) tersebut belum sepenuhnya terjaga. Salah satu persoalan mendasar yang dihadapi profesi ini adalah lemahnya penegakan kode etik akibat fragmentasi organisasi advokat, dan juga berbagai alasan pembenar untuk mempermudah seseorang lulus menjadi advokat. Ketika advokat yang dikenai sanksi etik dapat berpindah ke organisasi lain tanpa konsekuensi nyata, maka kredibilitas profesi pun menjadi taruhan. Inilah urgensi yang mela...
Hartanto Hartanto, Gusti Fadhil Fithrian Luthfan, Syakdiah Syakdiah (Sinta 2) https://jurnal.unissula.ac.id/index.php/akta/article/view/44787 A Multidimensional Study of the Law of Goods and Services Procurement Contracts in Indonesia Hartanto¹ ) , Gusti Fadhil Fithrian Luthfan 2) & Syakdiah 3) 1) Faculty of Law, Widya Mataram University, Yogyakarta, Indonesia, Email: hartanto.yogya@gmail.com 2) Faculty of Law, Mulawarman University, Samarinda, Indonesia, Email: gustifadhil@fh.unmul.ac.id 3) Public Administration, Widya Mataram University, Yogyakarta, Indonesia, Email: syakdiah8@gmail.com Abstract. Government procurement of goods/services always changes in the context of presidential regulations (Perpres), by making these regulations complete and in more detail; In this case, it is certainly a positive development to provide legal protection for contracting parties in the form of goods/services procurement agreements. Agreement or akad (Arabic) which is inte...
https://bernasnews.com/2025/05/16/program-magister-hukum-uwm-terakreditasi-baik-sekali-begini-perannya-lingkungan-akademik-jogja/ Program Magister Hukum UWM Terakreditasi Baik Sekali, Begini Perannya Lingkungan Akademik Jogja https://www.facebook.com/hartanto.uwmy/ https://scholar.google.co.id/citations?user=CA_A13wAAAAJ&hl=en
Bagi saya new normal harus di imbangi dengan sosialisasi di masyarakat dikarenakan banyak sekali masyarakat yang belum tahu apa itu new normal, banyak sekali orang beranggapan new normal itu benar" normal dan banyak sekali masyarakat yang menyalah artikan apa itu tentang new normal
ReplyDeleteContoh : banyak masyarakat yang tidak memakai masker dan mengindahkan tentang sosial distarcing
Dandy nur harjuna
matur nuwun responnya ... "banyak sekali orang beranggapan new normal itu benar" normal" ini perlu jadi perhatian para pemangku kepentingan
Delete