Kebijakan Peniadaan Mudik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Telah Diterima Menjadi Penelitian Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram 24 Agustus 2021

Kebijakan Peniadaan Mudik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

ABSTRAK

HAM adalah serangkaian hak-hak yang hakiki karunia Tuhan YME termasuk hak berpindah (mudik). Pemerintah secara tegas telah meniadakan mudik Lebaran 2021 selama 6-17 Mei 2021 dikarenakan masa pandemi Covid-19, dan hal ini dimaknai oleh masyarakat sebagai pelarangan. Hal itu diumumkan dalam Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 dari Satgas Penanganan Covid-19 dalam bentuk surat edaran tentang peniadaan mudik Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan upaya pengendalian penyebaran Covid-19 dalam bulan suci Ramadhan 1442 Hijriah. Kemudian timbul Pro-kontra di masyarakat terkait hal ini, padahal mudik sudah menjadi tradisi tahunan untuk bertemu keluarga di kampung halaman. Keadaan darurat saat ini menimbulkan konsekwensi pembatasan terhadap hak untuk bergerak/berpindah dimaksudkan agar risiko penyebaran wabah Covid-19 dapat lebih diminimalisasi, sebagai akibat dari terjadinya interaksi manusia secara masif. Dalam keadaan apapun pemerintah harus berperan nyata agar dapat memastikan terwujudnya perlindungan masyarakat, sebagaimana yang menjadi asas dari segala peraturan perundang-undangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan telaah dan sinkronisasi vertikal antara Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan S.E. Nomor 13 Tahun 2021

Kata Kunci: Mudik, HAM, Surat Edaran, Penyebaran, Covid-19


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Mahfud MD menyatakan bahwa Indonesia menganut konsep prismatik sebagai konsep negara hukum pasca perubahan UUD NRI 1945. Konsep prismatik dalam sebuah negara hukum merupakan konsep jalan tengah, kompromi di antara dua konsep yakni antara rechsstaat dan the rule of law. Seperti kita keahui bersama, bahwa rechsstaat menitikberatkan pada aspek kepastian hukum, sedangkan the rule of law menitikberatkan aspek keadilan. Sehingga negara hukum yang dianut Indonesia pasca perubahan UUD NRI 1945 menekankan pada kedua aspek, yaitu: kepastian hukum yang berdasarkan aspek keadilan.

Tuhan YME telah menciptakan manusia dengan dilengkapi hak-hak yang untuk melindungi derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta, karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama (Marquis de Lafayette) , maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai tujuannya, dalam hal kegiatan rutin tahunan yang disebut “mudik” merupakan kebiasaan yang dianggap layak bahkan wajib secara sosial, dan sebagai makhluk sosial. Umunya “mudik” ini terjadi secara besar-besaran perpindahan warga masyarakat yang umumnya dari kota besar ke kampung/desa/ kota kecil yang merupakan kampong kelahiran/ kampong halamannya, dapat pula dimaknai eksodus. Sehingga hak untuk “mudik” tersebut kemudian dikaitkan dengan hak asasi manusia, sesuai rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan HAM merupakan serangkaian hak yang bersifat “given” secara hakiki sebagai manusia yang merupakan anugerah Tuhan YME dan wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Konsep HAM dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum, sehingga semua aspek kehidupan sudah diatur melalui hukum yang sah sehingga hal ini mampu mencegah konflik yang terjadi diantara warga negara  Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum merupakan suatu kesatuan hirarkis tatanan norma-norma hukum yang memiliki puncak yaitu konstitusi[1].  Lebih lanjut mengandung arti bahwa suatu negara hukum menginginkan keberadaan supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi selain merupakan konsekwensi dari sebuah negara hukum, sekaligus wujudnya terjadinya demokrasi karena konstitusi merupakan perwujudan perjanjian sosial yang paling tinggi[2].  Lebih lanjut maka negara hukum memerlukan penegakan hukum yang salah satu usaha untuk mewujudkan tata tertib hukum didalamnya terkandung keadilan, kebenaran dan kesejahteraan yang pada akhirnya menciptakan keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat banyak, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun merupakan pembrantasan dan penindakan setelah terjadi pelanggaran hukum, dengan kata lain usaha yang dilakukan secara preventif maupun reprensif[3].

 

B.     Rumusan Masalah

Bagaimanakah Kebijakan peniadaan mudik dalam perspektif hak asasi manusia sinkronisasi horizontal dan vertical atas undang-undang dalam dampaknya terhadap masyarakat

 

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1.      Mengidentifikasi Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusi

2.      Mengidentifikasi Surat Edaran No. 13 Tahun 2021 Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah

3.      Upaya Pengendalian Penyebaran Wabah Virus Corona (Covid-19) di Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah

D. Target dan Luaran

Penelitian ini memiliki target berupa peta potensi sosial, potensi ekonomi dan membangun semangat keselarasan demokrasi. Selain penelitian ini memberikan gambaran yang luas kepada masyarakat Indonesia mengenai dampak  dari pandemic Covid-19 dan kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah. Hasil penelitian ini nantinya akan bisa digunakan sebagai data untuk melaksanakan sinkronisasi penanggulangan Covid-19 dalam tataran aturan, sehingga dapat diterapkan kepada masyakarat dengan baik (tanpa melanggar HAM).

Penelitian ini bisa menjadi sumber pengetahuan baru dalam dinamika pengembangan dan pengetahuan masyarakat serta menjadi inspirasi bagi regulasi seputar Covid-19 dan kesejahteraan masyarakat.  Penelitian ini juga akan ditulis dalam jurnal yang bisa memberikan pengetahuan baru dalam terkait dengan regulasi dalam penanggulangan Covid-19 maupun pembatasan-pembatasan yang mungkin terjadi.

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Peniadaan “mudik” melanjutkan dari kebijakan larangan untuk berpergian ke luar kota pada saat pandemi Covid-19 sedang melanda negeri ini. Serangkaian kebijakan/ aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah menimbulkan pro-kontra, padahal mudik sudah menjadi tradisi tahunan untuk melepas kerinduan pada keluarga dan kampung halaman , dengan disertai sanksi berupa denda atau Ancaman hukuman penjara selama, hal ini dianggap kontraproduktif dengan apa yang di alami masyarakat selama hampir setahun ini akibat dari wabah pandemi Covid-19, dengan adanya pembatasan aktivitas dan himbauan untuk bekerja dari rumah (work from home) ditambah dengan larangan beroperasinya moda transportasi secara keseluruhan hal ini menimbulkan suatu masalah baru bagi perusahaan maupun hak-hak dari pekerja , dalam hal ini pekerja disektor tarnsportasi mengalami hal yang sama. Jika melihat kenyataan dilapangan hal ini merupakan unsur memaksa dari hukum, yang beririsan dengan aspek sosial dan psikologi masyarakat Indonesia pada umumnya.

A.          Kebijakan Larangan Mudik

Lebaran 2021 dan 6-17 Mei 2021 akhirnya dilarang oleh pemerintah. Hal itu diumumkan dalam Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 dari Satgas Penanganan Covid-19 tentang Peniadaan Mudik Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Pengendali Penyebaran Covid-19 Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah. Pada saat Instruksi Menteri ini mulai berlaku Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Thn. 2021 tertanggal 22 Januari 2021 mengenai Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat untuk Pengendalian Penyebaran Virus Corona (COVID 19) dinyatakan dicabut dan tidak berlaku,  Kebijakan itu diperketat melalui “aturan tambahan” atas SE Nomor 13 Tahun 2021 tersebut. 

B.           Perspektif HAM

Dalam perspektif HAM peniadaan/larangan mudik Lebaran tahun ini sesungguhnya merupakan wujud dari pembatasan HAM sebagaimana telah dijelaskan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 27 ayat 1, Pembatasan yang dilakukan terutama akan terkait dengan hak untuk hidup (right to life), hak atas kesehatan (right to health), dan hak untuk bergerak/berpindah (right to move).  Perubahan dengan adanya ketentuan terkait kesehatan ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, menunjukkan perubahan paradigma yang luar biasa bahwa kesehatan tidak dianggap sebatas urusan pribadi/ persoalan nasib atau pemberian pencipta-Nya, tetapi hak hukum (legal rights) yang keberadaannya harus dijamin oleh Negara.

 

BAB III

METODOLOGI  PENELITIAN

 

A.    Pendekatan Masalah

Metode penelitian konseptual yang digunakan dalam analisis ini adalah Yuridis Normatif Dengan menggunakan telaah dan sinkronisasi vertikal antara Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 Surat Edaran No. 13 Tahun 2021 Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah Dan Upaya Pengendalian Penyebaran Wabah Virus Corona (Covid-19) di Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah.

B.     Lokasi  Penelitian

Penelitian di lakukan pada perpustakaan dengan menggali berbagai referensi  yang mendalam terkait dengan penulisan penelitian ini serta mengunakan data penunjang lainnya seperti mengali dan menganalisis dari Upaya Pengendalian Penyebaran Wabah Virus Corona (Covid-19) di Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah.

 

C.    Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder mempunyai atau memiliki tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, agar hasil penelitian ini dapat bernilai ilmiah, maka bahan/sumber hukum, yang digunakan, mencakup :

1.      Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas [4]Yaitu Mencakup:

a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

c.       Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

d.      Undang-undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

e.       Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR 1966)

f.       Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 03 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro dan Pembentukan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019

g.      Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19

h.      Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2021 tentang pembatasan kegiatan bepergian ke luar daerah, atau mudik atau cuti bagi aparatur sipil negara (ASN).

i.        Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama (Menag), Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB) Nomor 281 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021, tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama Menag, Menaker, Menteri PANRB Nomor 642 Tahun 2020, Nomor 4 Tahun 2020, Nomor 4 tahun 2020 Tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2021.

j.        Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (PMK 44/2020)

k.      Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.

Bahan hukum sekunder  yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti literatur-literatur rancangan Undang-Undang, hasil-hasil penelitian, hasil-hasil karya tulis, serta makalah-makalah.[5]: mencakup:

1)      Buku Hukum terkait Covid dan penanggulangannya

2)      Buku Tentang Metode Penelitian Hukum

2.      Bahan hukum tersier

Bahan hukum yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan sekunder, misalnya seperti kamus-kamus, ensiklopedia, dan sebagainya.[6]

 

D.    Metode Pengumpulan

Untuk dapat memperoleh data yang relevan dengan pembahasan tulisan ini, maka penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1.   Penelitian kepustakaan

Pengumpulan data pustaka diperoleh dari berbagai data yang berhubungan dengan hal – hal yang diteliti berupa dokumen dan literatur yang berkaitan dengan hal – hal yang diteliti, yang berkaitan dengan penelitian ini.

2.   Penelitian lapangan

Penelitian lapangan ini ditempuh dengan cara : yaitu pertama melakukan observasi, yaitu mengumpulkan data dengan cara pengamatan langsung dengan objek penelitian.

E.     Metode Analisis Data

 Data yang diperoleh dari data sekunder akan diolah dan dianalisis secara kualitatif, selanjutnya data tersebut dideskriptifkan dalam artian bahwa data akan menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan permasalahan dengan penyelesaian berkaitan dengan penulisan ini.

 

F.     Waktu penelitian

1.       Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan dimulai bulan Agustus 2021 Sampai Nopember 2021. Pada bulan Agustus 2020 Sampai Nopember 2021 penulis melakukan observasi dilokasi penelitian, sehingga memiliki data dan gambaran mengenai masalah penelitian yang dibahas.



[1] Philipus M. Hadjon, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, hlm. 72.

 [2] Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press), hlm. 152-162.

[3] Rita Anggraeni, Rd. Henda, Penegakan Hukum Pelaku Perusakan Fasilitas Umum Di Kota Cirebon Dikaitkan Dengan Perda Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Ketertiban Umum, Jurnal Hukum Responsif, Vol. 11, No. 1, Februari 2020, hlm. 26

[4] Ali Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, , 2011, hlm. 47

[5] Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006, hlm.13

[6] Bambang  Sugiono, “ Metode Penelitian Hukum”, Jakarta, Rajawali Pers, 2011 hlm.113-114


BAB IV

BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN 

A. Biaya Penelitian

No

Uraian

Volume

Harga Satuan

Jumlah Biaya

1

Foto Copy interview guide

15

2.000

30.000

2

Konsumsi

10

20.000

200.000

3

Foto Copy Laporan dan cetak laporan

4

50.000

200.000

4

Koordinasi,  penyusunan time schedule,finalisasi kuesioner

7

100.000

700.000

5

Uang transport pengumpulan data/kuesioner

8x5

50.000

800.000

6

Proses analisis data

1

40.000

40.000

7

Honor Peneliti lapangan/surveyor dan publikasi Sinta

8

300.000+500.000 biaya publikasi

800.000

JUMLAH

2.770.000

B. Jadwal Penelitian

NO

KEGIATAN

BULAN KE

1

2

3

4

1.

Penyusunan Proposal Penelitian

 

 

 

2.

Pengurusan Ijin Penelitian

 

 

 

3.

Penyusunan Instrument Penelitian

 

 

 

4.

Penggalian data awal

 

 

 

5.

Pengagalian data lebih lanjut

 

 

 

6.

Analisis Data

 

 

 

7.

Penyusunan draft Publikasi Ilmiah

 

 

 

8.

Pelaporan Hasil Penelitian

 

 

 

C. Pembagian Tugas.

NO

NAMA KEGIATAN

PEMBAGIAN TUGAS

Ketua (Dosen)

Anggota (mahasiswa)

1.

Penyusunan Proposal Penelitian

 

2.

Pengurusan Ijin Penelitian

 

3.

Penyusunan Instrument Penelitian

4.

Penggalian data awal

 

5.

Penggalian data lebih lanjut

6.

Analisis Data

7.

Penyusunan draft Publikasi Ilmiah

 

8.

Pelaporan Hasil Penelitian


BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.         Kebijakan Larangan Mudik

Lebaran 2021 dan 6-17 Mei 2021 akhirnya dilarang oleh pemerintah. Hal itu diumumkan dalam Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 dari Satgas Penanganan Covid-19 tentang Peniadaan Mudik Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Pengendali Penyebaran Covid-19 Selama Bulan Suci Ramadhan 1442 Hijriah. Pada saat Instruksi Menteri ini mulai berlaku Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Thn. 2021 tertanggal 22 Januari 2021 mengenai Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat untuk Pengendalian Penyebaran Virus Corona (COVID 19) dinyatakan dicabut dan tidak berlaku,[1] Kebijakan itu diperketat melalui “aturan tambahan” atas SE Nomor 13 Tahun 2021 tersebut. [2]

Pengetatan persyaratan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN) dua  minggu sebelum dan semigngu setelah masa peniadaan mudik, yakni 22 April-5 Mei 2021 dan 18-24 Mei 2021. Meski aturan ini berlaku untuk jangka pendek, namun memiliki dampak sangat luas. Aturan lengkap larangan atau peniadaan mudik dan ancaman/sanksi bagi yang pelanggar, sebagai berikut:[3]

a.    Pelarangan/ peniadaan mudik berlaku 6 Mei - 17 Mei 2021

b.   Bagi masyarakat yang melakukan perjalanan baik kota/kabupaten, propinsi, atau negara, untuk yang menggunakan transportasi darat, kereta api, laut, maupun udara.

c.    Pengecualian:

1)      Kendaraan distribusi logistik

2)      Masyarakat dengan keperluan perjalanan nonmudik : Perjalanan kunjungan dinas/ kerja, keperluan terkait kedukaan/sakit, keluarga meninggal, ibu hamil berhak didampingi maksimal satu orang, untuk keperluan persalinan didampingi maksimal dua orang.

d.   Perjalanan diizinkan, namun harus memiliki bukti surat izin perjalanan tertulis atau Surat Izin Keluar/Masuk. Berikut ini ketentuannya :

1)      Pegawai instansi pemerintah atau ASN, juga anggota TNI/Polri bukti tulis surat izin dari pejabat setingkat Eselon II yang dilengkapi tanda tangan elektronik/basah dari pejabat yang berwenang, identitas diri calon pelaku perjalanan[4]

2)      Karyawan swasta

3)      Pekerja informal print out surat izin tertulis dari Ka.Des/Lurah yang dilengkapi tanda tangan elektronik/basah pejabat serta identitas diri calon pelaku perjalanan

4)      Masyarakat umum bukan pekerja print-out (izin tertulis) dari Kades/Lurah yang dilengkapi tanda tangan elektronik/basah pejabat serta identitas diri calon pelaku perjalanan.

e.    Ketentuan Surat izin perjalanan atau Surat Izin Keluar Masukk:

1)      Berlaku secara individual

2)      Hanya berlaku sekali perjalanan (PP) antar kota/kabupaten, propinsi, ataupun negara

3)      Diwajibkan untuk orang yang melakukan perjalanan di atas 17 tahun

f.    Ketentuan sebelumnya tetap wajib dipatuhi, dalam masa Ramadhan dan Idul Fitri 1442H, aturan-aturan perjalanan dalam negeri/internasional juga tetap berlaku sesuai SE Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 12 Tahun 2021.

g.   Skrining masyarakat dalam perjalanan akan diperiksa kelengkapan dokumen berupa bukti tertulis SIKM/surat izin perjalanan, dan hasil tes RT-PCR/ GeNose C19/Rapid Test Antigen, di pintu masuk kedatangan atau pos pengawasan yang ada di perbatasan kota, titik-titik pengecekan/ posko, rest area dan penyekatan (daerah aglomerasi).
Persyaratan dalam rangka pengetatan;

1)      Para pengguna transportasi udara, wajib memiliki surat keterangan negatif Covid-19 dari tes RT-PCR/Rapid Test Antigen yang dilakukan maksimal 1x24 jam sebelum keberangkatan. GeNose C19 dilaksanakan sebelum keberangkatan di dalam bandara

2)      PPDN pengguna transportasi dan/ atau penyeberangan laut wajib menunjukkan surat Covid-19 dengan hasil negatif dari tes RT-PCR/Rapid Tes Antigen yang dilakukan maksimal 1x24 jam sebelum keberangkatan. GeNose C19 dilaksanakan sebelum keberangkatan di dalam bandara

3)      Perjalanan rutin di wilayah terbatas, perjalanan tidak diwajibkan menunjukkan surat hasil tes Covid-19. Tetapi pengujian dengan random dapat dilakukan Satgas Covid-19 jika dianggap perlu.

4)      PPDN memakai kereta-api antar kota, wajib menunjukkan surat keterangan negatif Covid-19 dari tes RT-PCR/Rapid Test Antigen yang dilakukan maksimal 1x24 jam sebelum keberangkatan. Tes memakai GeNose C19 di stasiun sesaat sebelum berangkat.

5)      PPDN pengguna transportasi umum melalui darat, dilakukan tes acak oleh petugas, menggunakan rapid test antigen/GeNose C19 jika diperlukan.

6)      PPDN pengguna moda tranportasi darat pribadi Diimbau melakukan tes RT-PCR/Rapid Test Antigen yang dilakukan maksimal 1x24 jam sebelum keberangkatan. Untuk tes GeNose C19 di rest area untuk persyaratan meneruskan perjalanan, atau akan dites satgas dengan acak jika diperlukan

7)      e-HAC adalah Kartu Kewaspadaan Kesehatan versi modern yang harus diisi oleh pelaku yang menggunakan moda transportasi udara dan/ laut, bagi pelaku perjalanan seluruh moda transportasi darat baik umum/pribadi hanya diimbauan turut mengisi e-HAC.

8)      Tes Covid-19 untuk pelaku perjalanan wajib melakukan tes Covid-19 baik menggunakan RT-PCR/rapid test antigen/GeNose C19, kecuali anak-anak di bawah usia 5 tahun. Jika hasil tes Covid-19 negatif tetapi yang bersangkutan menunjukkan adanya gejala, maka yang bersangkutan tidak boleh melanjutkan perjalanan dan wajib melakukan tes diagnostik menggunakan RT-PCR juga isolasi mandiri selama waktu tunggu hasil pemeriksaan.

h.      Sanksi Setiap pelanggar terhadap SE Nomor 13 Tahun 2021 akan dikenai sanksi berupa denda yang tertinggi Rp. 100.000.000, sanksi sosial, kurungan dan/atau pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[5]

2.         Peniadaan Mudik Dalam Perspektif HAM

Ainaya Nadine dalam penelitiannya menyatakan, dalam waktu yang singkat beberapa kebijakan pemerintah terkait transportasi berubah-ubah terkait masa pandemi Covid-19, sehingga masyarakat ragu-ragu dalam menentukan sikap. Namun hal ini menimbulkan penggunaan transportasi pribadi (kendaraan pribadi) bagi para pemudik yang nekat tetap mudik pada saat Covid-19.[6]

Dalam perspektif HAM peniadaan/larangan mudik Lebaran tahun ini sesungguhnya merupakan wujud dari pembatasan HAM sebagaimana telah dijelaskan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 27 ayat 1, Pembatasan yang dilakukan terutama akan terkait dengan hak untuk hidup (right to life), hak atas kesehatan (right to health), dan hak untuk bergerak/berpindah (right to move).  Perubahan dengan adanya ketentuan terkait kesehatan ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, menunjukkan perubahan paradigma yang luar biasa bahwa kesehatan tidak dianggap sebatas urusan pribadi/ persoalan nasib atau pemberian pencipta-Nya, tetapi hak hukum (legal rights) yang keberadaannya harus dijamin oleh Negara.[7]

Mudik adalah tradisi budaya dan agama, hal yang substansial bukan hanya masalah mudik (kepulangan). Mudik mencerminkan gagasan budaya tentang pentingnya ikatan yang kuat dengan orang tua dan leluhur, Orang-orang berkumpul kembali dengan keluarga besar, meminta maaf kepada orang tua mereka (dalam tradisi yang disebut sungkem), Bagi sebagian orang, ini saatnya menunjukkan status sosial mereka atau keberhasilan saat merantau untuk berbagi kebanggan dengan sanak keluarga di kampus (daerah asal). Meskipun tradisi ini dikaitkan dengan berakhirnya perayaan Ramadhan dan Idul Fitri, meski banyak pula kalangan yang tidak beragama Islam juga melakukan kegiatan “mudik” untuk kesempatan berkumpul kembali dengan keluarga. Nilai budaya yang melekat pada pulang ke rumah dan bentuk norma sosial pengembalian yang berlaku adalah ekspresi penghormatan wajib bagi orang tua.[8]

Pembatasan hak untuk bergerak/berpindah bertujuan agar risiko penyebaran wabah Covid-19 dapat diminimalkan, sebagai akibat dari terjadinya interaksi manusia secara masif.[9] Salah satunya, bisa dipastikan, akan berimplikasi terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dalam perspektif sesungguhnya merupakan pembatasan terhadap realisasi pemenuhan HAM oleh negara.[10] Negara memiliki tiga kewajiban terkait HAM, yaitu: melindungi (to protect), menghormati (respect), memenuhi (fulfill).

Pembatasan (derogation) berupa ditunda atau ditangguhkannya pelaksanaan HAM tertentu karena terjadi situasi darurat (misalnya darurat kesehatan, bencana alam, perang) memang diperbolehkan[11] Situasi darurat kesehatan berupa terjadinya pandemi covid-19 merupakan hal nyata yang sedang dihadapi Indonesia maupun negara-negara di dunia. Dalam konteks Indonesia, situasi itu ditandai dari adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar/PSSB yang mengacu kepada Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Undang-Undang No.6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Selanjutnya, diterapkan pula kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro,[12] penguatan protokol kesehatan maupun vaksinasi. [13]

Hal tersebut merupakan kondisi demi terpenuhinya hak atas kesehatan,[14] dan pada akhirnya akan bermuara kepada terpenuhinya hak untuk hidup sebagai tujuan akhir yang ingin dicapai. Keberhasilan dari pembatasan yang dilakukan sangat ditentukan oleh berbagai faktor pada tataran implementasi, seperti regulasi, koordinasi, dan konsistensi dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pula partisipasi dari seluruh anggota masyarakat sebagai faktor kunci. Selanjutnya, hal tersebut setidaknya akan tecermin dari turunnya angka penularan dan tentunya angka kematian karena covid-19.

Berbagai pro-kontra tentang pembatasan mobilitas masyarakat dimasa Covid-19, hingga peniadaan mudik merupakan tantangan bagi penyelenggaraan negara. Penyelenggaraan praktik kenegaraan harus diwujudkan guna mencapai tujuan hukum dan tujuan bernegara, sekalipun dalam masa pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya hadir dengan sepenuh hati dalam keadaan apapun untuk ,menjamin terpenuhinya hak masyarakat sebagaimana yang menjadi asas dari segala peraturan perundang-undangan baik nasional maupun internasional.[15]

3.         Sektor Transportasi Paling Terdampak

Kebijakan peniadaan/larangan mudik ini, tentunya memiliki maksud dan tujuan yang baik. Namun, pemerintah cuma sebatas melakukan pelarangan mudik, dan belum memberikan solusi bagi pekerja transportasi, Sejauh ini, hanya larangan saja tidak ada solusi, apalagi kompensasi. Larangan ini bukan hanya berlaku bagi bus antar provinsi, tapi juga antar kota dalam provinsi,[16] Seperti penyelenggaraan mudik tahun sebelumnya, dalam hal ini Pemerintah berharap larangan mudik 2021 dapat menekan penyebaran Covid-19.

Pengusaha transportasi darat yang merasakan dampak kebijakan larangan mudik Lebaran tahun lalu masih menyisakan kekhawatiran karena apa yang menjadi program pemerintah dalam membantu warganegara yang terdampak yang diberikan berupa program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diusulkan Organda tidak ditanggapi serius oleh pemerintah, keringanan pajak dan retribusi, terkait transportasi umum di daerah tidak didapat.[17] Kebijakan Pemerintah adengan mengeluarkan tiga stimulus bantuan bagi masyarakat maupun pengusaha yang terdampak akibat virus corona, termasuk pengusaha transportasi.[18] Antara lain ;

a.       Perangsang keuangan untuk karyawan atau pegawai, termasuk di bidang angkutan/ transportasi, dapat diartikan gaji pegawai tidak dipotong pajak.

b.      Perangsang (Stimulus) keuangan atau moneter berupa relaksasi kredit bagi para wajib bayar bagi perorangan/ perusahaan, termasuk dibidang transportasi.

c.       Bantuan bagi masyarakat Indonesia yang terdampak pandemi Covid-19, termasuk dibidang transportasi seperti para pengemudi, kondektur/ kernet.

Belum bisa dirasakan manfaatnya secara langsung dan merata ,bagi masyarakat maupun pengusaha yang terdampak dari kebijakan pemerintah untuk mrncegah meluasnya penularan wabah virus corona.

Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mengatakan bahwa terdapat beberapa keringanan yang diperlukan perusahaan transportasi darat angkutan orang agar mereka bisa bertahan.[19] Di antaranya adalah:

a.    Relaksasi/ meringankan kewajiban pembayaran pinjaman kredit kendaraan

b.   Policy penundaan pengutipan pajak

c.    Pembebasan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan retribusinya

d.   Pembebasan iuran BPJS

e.    Bantuan secara langsung kepada pengemudi/karyawan perusahaan

f.    Pembebasan pembayaran jalan tol kepada angkutan umum, dan

g.   Pembebasan kewajiban pembayaran PNBP (penerimaan negara bukan pajak)

Berdasarkan data Direktorat Angkutan Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, dikutip dari MTI Pusat, saat ini terdaftar 346 perusahaan AKAP, 56 angkutan travel atau AJAP dan 1.112 perusahaan bus pariwisata. Keseluruhan ada 6.328 tenaga kerja pekerja transportasi umum (bus AKAP dan bus Pariwisata) yang dipecat sejak wabah Covid-19 diumumkan di Indonesia, seperti yang tertulis dalam rilis MTI Pusat. Ratusan perusahan otobus terancam terpuruk bahkan gulung tikar, Akibatnya perusahaan-perusahaan tersebut terpaksa mengambil langkah untuk mengurangi kerugian yang didapatkan, yaitu dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) [20] terhadap para pekerjanya pada dasarnya perusahaan tidak boleh melakukan PHK terhadap pekerja/buruhnya secara sewenang-wenang dalam situasi apapun,[21] termasuk dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat ,[22] bahwa pengusaha dapat melakukan PHK salah satunya disebabkan keadaan memaksa (force majeure).[23] Namun yang terjadi diatas adalah hubungan kasualitas atau efek domino. Lebih lanjut terkait banyaknya korban PHK di masa pandemi merupakan sebuah polemik baru, adanya PHK secara sepihak dapat dikatakan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).[24] Sejalan dengan teori perlindungan hukum yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan dari orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Dalam hal ini, berlaku pula bagi pekerja yang terkena PHK akibat pandemi Covid-19 karena bagaimanapun juga hak-hak tenaga kerja yang terkena PHK berdimensi HAM dimana berkaitan dengan kebutuhan hidup manusia.

Namun, tanggung jawab negara berkaitan dengan perlindungan hak-hak prinsipil dari manusia hendaknya tetap dilaksanakan, hal ini wajib diperhatikan mengingat tanggung jawab negara merupakan hak konstitusional dari setiap warga negara yang telah dituangkan dalam UUD NRI 1945[25]. Untuk itu, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah diharapkan dapat merangkul stakeholder terkait yang juga terkena dampak pandemi COVID-19 ,agar perlindungan hak asasi warganegara dapat terpenuhi.[26]

Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan per­nyataan umat manusia yang mengan­dung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu, bangsa Indonesia juga memandang bahwa  The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung nilai universal yang wajib dijunjung tinggi un­tuk melengkapi The Universal Declaration of Human Rights tersebut.[27]

Terlepas dari itu penting atau tidak untuk mencegah penyebaran Covid-19, akan tetapi kalau hak-hak warga negara Indonesia, yakni berkaitan dengan keluar-masuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu harus dilarang apalagi juga dijatuhi sanksi pidana, maka seharusnya sesuai hirarki peraturan perundang-undangan, produk hukum yang melarang itu bukan merupakan Peraturan Menteri.[28] Intinya  segala kekuasaan (souverain), harta benda, kebebasan melalui fakta sosial hanyalah mencakup sebagian saja yang penting bagi masyarakat, …  kekuasaan tidak boleh membebani warganya dengan tugas yang tidak berguna bagi masyarakat, bahkan ia tidak boleh menghendakinya.[29] Pembatasan hak warga negara harus disertai dengan solusi yang tidak membebani rakyat secara ekonomi dan sosial,[30] sebab hak untuk keluar dan masuk wilayah indonesia itu dijamin dalam Undang-Undang Nomor  39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 27 secara tegas menyatakan pada ayat (1) bahwa: Setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak,  berpindah, dan bertempat tinggal dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan pada ayat (2) Setiap warga negara Indonesia berhak meninggalkan dan masuk kembali ke wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VI

PENUTUP

Peraturan-peraturan yang dikemudian hari berdampak pada pembatasan hak atau kebebasan itu boleh dilakukan oleh negara, tetapi dengan produk hukum berupa Undang-Undang bukan membatasi hak warga negara dengan produk hukum berupa Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur ataupun Peraturan Walikota, karena Hak asasi manusia tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM[31], hal ini seakan bertentangan dengan asas lex superior derogat legi inferiori bahwa hukum yang lebih tinggi diutamakan pelaksanaannya daripada hukum yang rendah. Misalnya, Undang-Undang lebih diutamakan daripada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau Peraturan Pemerintah (PP) maupun Keputusan Presiden (keppres).[32] Dalam hal ini tak luput pula mengikat Surat Edaran SE No. 13 Tahun 2021 dari Satgas Covid-19. Namun Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan de­ngan undang-undang[33] dengan maksud semata-mata un­tuk menjamin peng­akuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertim­bangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [34] Maka penulis berpendapat bahwa tidak teradapat konflik hukum antara Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 dari Satgas Penanganan Covid-19 dengan Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM. Maka peniadaan mudik ini seakan merupakan pembatasan hak asasi manusia namun sebenarnya merupakan wujud tanggung jawab negara dalam menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Penyelenggaraan praktik kenegaraan harus diwujudkan guna mencapai tujuan hukum dan tujuan bernegara, sekalipun dalam masa Pandemi Covid-19. karena itu, pemerintah harus tetap setia untuk hadir dalam kondisi apapun agar dapat memastikan terpenuhinya hak-hak masyarakat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh berbagai peraturan perundang-undangan baik nasional maupun internasional. Implikasinya, pemerintah tidak dapat mengambil suatu kebijakan dengan tidak memperhatikan tanggung jawab terhadap masyarakat atas pemenuhan hak-hak dasar selama masa Pandemi COVID-19. Tanggung jawab secara moral maupun hukum kepada masyarakat harus tetap dilakukan oleh pemerintah agar membentuk suatu penyelenggaraan pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan publik yang prima dalam masa pandemi Covid-19. Maka penulis berpendapat bahwa peniadaan mudik ini seakan merupakan pembatasan hak asasi manusia namun sebenarnya merupakan wujud tanggung jawab negara dalam menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, maka kearifan dan kebijaksaan kita sangat diperlukan untuk mendukung pemerintah dalam upaya-upayanya menanggulangi penyebaran Covid-19.

Submit ke Hukum Responsif , Sinta 5 , tgl 24 agustus 2021

Judul :             Kebijakan Peniadaan Mudik Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

 



DAFTAR PUSTAKA

 

Buku

H.A. Masyhur Effendi, (1994). Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, (Jakarta:Ghalia Indonesia)

Jimly Asshiddiqie, (2005), Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press)

Mahmud Marzuki, (2005), Peneltian Hukum , (Jakarta:Prenada Media)

Philipus M. Hadjon, (1987), Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, (Surabaya:Bina Ilmu)

Pusham-UII, (2007), Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), (Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia), Cet Pertama

 

Jurnal

Ainaya Nadine dan Zulfa Zahara Imtiyaz, (2020). Analisis Upaya Pemerintah Dalam Menangani Mudik Melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 Pada Masa Covid-19, Jurnal Media Iuris Vol. 3 No. 3, Oktober 2020

Fadli Andi Natsif, (2019). Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia, jurnal Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, Volume 19 Nomor 1 Mei 2019

Fradhana Putra Disantara, (2020). Tanggung Jawab Negara Dalam Masa Pandemi Covid-19, Jch (Jurnal Cendekia Hukum), Volume 6 Nomor 1, September 2020

Hananto Widodo, Fradhana Putra Disantara,(2021). Problematik Kepastian Hukum Darurat Kesehatan Masyarakat Pada Masa Pandemi COVID-19, Jurnal Suara Hukum, Vol.3 No. 1, 2021

Hartanto, Erna Tri Rusmala Ratnawati, (2021). Perlindungan Hukum terhadap Keselamatan dan Kesehatan bagi Pekerja pada Era New Normal pada Masa Pandemi Covid-19, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 10, No 1, 2021)

Juaningsih, Imas Novita. Analisis Kebijakan PHK bagi Para Pekerja pada Masa Pandemi Covid- 19 di Indonesia. Adalah: Buletin Hukum & Keadilan. Vol. 4. No. 1. 2020

Rita Anggraeni, Rd. Henda, (2020). Penegakan Hukum Pelaku Perusakan Fasilitas Umum Di Kota Cirebon Dikaitkan Dengan Perda Nomor 9 Tahun 2003 Tentang Ketertiban Umum, Jurnal Hukum Responsif, Vol. 11, No. 1, Februari 2020

 

Internet/Website

Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, https://id.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Hak_Asasi_Manusia_dan_Warga_Negara , diakses 5 Mei 2021

Firman Wijaya, Memahami Fenomena Tradisi Mudik UNAIR , https://unair.ac.id/site/article/read/2525/memahami-fenomena-tradisi-mudik-menurut-dosen-sosiologi-unair.html, diakses 5 Mei 2021

Prisca Maylinda, Perlindungan Bagi Hak Pekerja yang Terkena PHK Akibat Pandemi Covid-19, https://kumparan.com/priscalinda14aa/perlindungan-bagi-hak-pekerja-yang-terkena-phk-akibat-pandemi-covid-19-1uoFhqTuefW, diakses 5 Mei 2021

Kompas.com, Aturan Lengkap Larangan dan Pengetatan Mudik Lebaran 2021, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2021/04/24/120500665/aturan-lengkap-larangan-dan-pengetatan-mudik-lebaran-2021-?page=3

Dimas Budi Prasetyo dan Lury Sofyan, Solusi di Tengah Larangan Mudik https://chriscoxforcongress.com/2020/05/23/solusi-di-tengah-larangan-mudik/ , diakses 3 Mei 2020

Andrey Sujatmoko, Larangan Mudik dan Pelanggaran HAM https://mediaindonesia.com/opini/397020/larangan-mudik-dan-pelanggaran-ham , diakses 1 Mei 2021

Tribunnews.com, IPOMI: Kebijakan Larangan Mudik Harus Dibarengi Solusi untuk Operator Transportasi, https://www.tribunnews.com/bisnis/2021/04/09/ipomi-kebijakan-larangan-mudik-harus-dibarengi-solusi-untuk-operator-transportasi, diakses 3 Mei 2021

kumparan.com, https://kumparan.com/priscalinda14aa/perlindungan-bagi-hak-pekerja-yang-terkena-phk-akibat-pandemi-covid-19-1uoFhqTuefW/full, diakses pada 04 mei 2021

Djoko Setijowarno, https://www.msn.com/id-id/berita/nasional/mudik-2021-dilarang-ini-saran-pakar-transportasi-untuk-pemerintah/ar-BB1f6Voz, diakses 3 Mei 2021

Raja Eben Lumbanrau,  Virus corona: Ratusan perusahaan bus terancam gulung tikar, 'Dari Rp 6 miliar ke nol pendapatan - BBC News Indonesia, diakses 3 Mei 2021

 

Peraturan perundang-undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR 1966)

Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 03 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro dan Pembentukan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19

Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2021 tentang pembatasan kegiatan bepergian ke luar daerah, atau mudik atau cuti bagi aparatur sipil negara (ASN).

Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama (Menag), Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB) Nomor 281 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021, tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama Menag, Menaker, Menteri PANRB Nomor 642 Tahun 2020, Nomor 4 Tahun 2020, Nomor 4 tahun 2020 Tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2021.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (PMK 44/2020)

Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19



[2] Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama (Menag), Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB) Nomor 281 Tahun 2021, Nomor 1 Tahun 2021, tentang Perubahan Atas Keputusan Bersama Menag, Menaker, Menteri PANRB Nomor 642 Tahun 2020, Nomor 4 Tahun 2020, Nomor 4 tahun 2020 Tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2021.

[4] Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2021 tentang pembatasan kegiatan bepergian ke luar daerah, atau mudik atau cuti bagi aparatur sipil negara (ASN).

[5] Pasal 93, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

 

[6] Ainaya Nadine dan Zulfa Zahara Imtiyaz, Analisis Upaya Pemerintah Dalam Menangani Mudik Melalui

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020Pada Masa Covid-19, Jurnal Media Iuris Vol. 3 No. 3, Oktober 2020, hlm 280

[7] Hartanto, Erna Tri Rusmala Ratnawati, Perlindungan Hukum terhadap Keselamatan dan Kesehatan bagi Pekerja pada Era New Normal pada Masa Pandemi Covid-19, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 10, No 1 (2021), hlm 36

[8] Dimas Budi Prasetyo dan Lury Sofyan, Solusi di Tengah Larangan Mudik https://chriscoxforcongress.com/2020/05/23/solusi-di-tengah-larangan-mudik/ , diakses 3 Mei 2020

[10] Fadli Andi Natsif, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Negara Hukum Indonesia, jurnal Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, Volume 19 Nomor 1 Mei 2019, hlm.149

[11] Pasal 4, International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR 1966. https://mediaindonesia.com/opini/397020/larangan-mudik-dan-pelanggaran-ham

[12] Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 03 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro dan Pembentukan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019

[13] Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.

[14] Pasal 28 H ayat (1), UUD Tahun 1945

 

[15] Fradhana Putra Disantara, Tanggung Jawab Negara Dalam Masa Pandemi Covid-19, Jch (Jurnal Cendekia Hukum), Volume 6 Nomor 1, September 2020, hlm. 57-58

[16] Tribunnews.com, IPOMI: Kebijakan Larangan Mudik Harus Dibarengi Solusi untuk Operator Transportasi, https://www.tribunnews.com/bisnis/2021/04/09/ipomi-kebijakan-larangan-mudik-harus-dibarengi-solusi-untuk-operator-transportasi, diakses 3 Mei 2021

[18] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (PMK 44/2020)

[20] Juaningsih, Imas Novita. Analisis Kebijakan PHK bagi Para Pekerja pada Masa Pandemi Covid- 19 di Indonesia. Adalah: Buletin Hukum & Keadilan. Vol. 4. No. 1. 2020, hlm 190

[21] Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 

[23]Prisca Maylinda, Perlindungan Bagi Hak Pekerja yang Terkena PHK Akibat Pandemi Covid-19, https://kumparan.com/priscalinda14aa/perlindungan-bagi-hak-pekerja-yang-terkena-phk-akibat-pandemi-covid-19-1uoFhqTuefW, diakses 5 Mei 2021

[24] Pasal 28D Ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[25] Alinea IV UUD NRI 1945 tentang tujuan negara

[26] Pasal 16, Undang-undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

[27] Pasal 13, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

[28] Permenhub Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19.

[29] Pusham-UII, 2007, Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia (Kajian Multi Perspektif), (Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia), Cet Pertama, hlm 126

[30] H.A. Masyhur Effendi, 1994. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 18. 

[31]  28A sampai Pasal 28J  UUD 1945

[32] Mahmud Marzuki, Peneltian Hukum , (,Jakarta:Prenada Media, 2005) hlm. 93

[33] Pasal 4, International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR 1966, tentang hak untuk bergerak/berpindah (right to move)

[34] Pasal 28J (2),Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28J (2)



Comments

Popular posts from this blog

Urgensi Pembentukan Dewan Kehormatan Bersama (Menjaga Martabat Profesi Advokat Melalui Etika yang Terpadu dalam Era Distrubsi)

A Multidimensional Study of the Law of Goods and Services Procurement Contracts in Indonesia