REFLEKSI ATAS PENETAPAN SUARA LEGISLATIF MELALUI PERGANTIAN ANTAR WAKTU DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
JUDUL PENELITIAN : REFLEKSI ATAS PENETAPAN SUARA LEGISLATIF
MELALUI PERGANTIAN ANTAR WAKTU DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
Telah dikumpulkan sebagai Laporan Hasil Penelitian di LPPM UWM 25 Agustus 2021
HALAMAN PENGESAHAN
1. Judul |
: |
REFLEKSI ATAS PENETAPAN SUARA LEGISLATIF MELALUI PERGANTIAN ANTAR WAKTU DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT (Kajian Terhadap Polemik Pengantian Antar Waktu Dewan Perwakilan
Rakyat dan Pengaruhnya terhadap Sistem demokrasi ) |
2. Bidang Ilmu |
: |
Hukum |
3. Ketua Peneliti a.
Nama Lengkap b.
Jenis Kelamin c.
NIP/NIK/NIDN d.
Pangkat/Golongan e.
JabatanFungsional f.
Fakultas/Jurusan g.
PerguruanTinggi h.
Status Dosen |
: : : : : : |
Hartanto,SE,SH, M.Hum Laki-laki 510810230/0529097601 Penata MudaTk.I
/IIIb Lektor Hukum Universitas Widya
Mataram Dosen Tetap
Yayasan |
4. Jumlah Anggota Tim Nama Lengkap NIM Perguruan Tinggi |
: : : : |
1 Nidya Tajsgoani 191217430 Universitas Widya
Mataram |
5. Lama Penelitian |
: |
4 bulan |
6. Biaya Yang Diperlukan a.
Sumber Dari Institusi b.
Sumber Lain Jumlah |
: : : |
Rp. xxx.000 - ------------------ Rp. xxx.000 |
Yogyakarta, 24 Agustus 2021
Mengetahui, Ketua Peneliti,
Dekan
(Kelik Endro Suryono,
SH, M,Hum) (Hartanto, SE,SH, M.Hum)
NIP. 510810230 NIP. 510810230
Menyetujui,
Ketua LPPM UWM,
(Dr. Oktiva Anggraini, SIP,
M.Si)
NIP. 510810188
ABSTRAK
Pengaturan Pengantian antar
waktu diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu merupakan amanah dari
konstititusi yang menjelaskan penggantian calon terpilih anggota DPR bisa
dilakukan karena beberapa alasan. Pengaturan tersebut diatur dalam Pasal 426
(1) . KPU mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 3 Tahun 2019,
yang mengatur mengenai caleg yang berhalangan tetap dibatalkan statusnya
sebagai peserta Pemilu. Salah satu yang disebut berhalangan tetap ialah caleg
yang meninggal, Pengaturan Pergantian Antar Waktu dalam Putusan Mahkamah Agung
No 57 P/Hum/2019 tertanggal 19 Juli 2019 di nyatakan bahwa penetapan suara
calon legislative yang meninggal dunia kewenangan di serahkan kepada pantai
politik dimana partai politik di berikan kewenangan untuk memilih calon
legislative yang di nilai terbaik untuk mengantikan calon tersebut. Putusan ini
menimbulkan polemic hukum dikarenakan pengisian kursi legislative harus di
lakukan berdasarkan demokrasi. Demokrasi tidak berakhir bersamaan dengan
berakhirnya pelaksanaan pemilu. Demokrasi tetap di jalankan secara
berkelanjutan, PAW merupakan kelanjutan dari fungsi demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Untuk itu KPU tetap berpegangan pada Undang
undang pemilihan umum diatas ini, hal ini di karenakan bahwa menurut Undang
Undang No 12 Tahun Tahun 2011 Tentang Hierarki Perundang Undangan yang
meletakan undang undang di bawah UUD NRI 1945 sehingga mengangap bahwa Putusan
Mahkamah agung kedudukannya di bawah undang undang. Masalah ini dapat merendahkan
wibawa Mahkamah Agung mengingat putusan
hukum yang dibuat Mahkamah Agung atas suatu hal diacuhkan oleh lembaga
yang meminta atau pihak lain yang dirugikan.
Kata Kunci: Problematika, PAW, DPR
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pergeseran konstelasi ketatanegaraan Indonesia
pasca-Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)
menyebabkan sistem ketatanegaraan tidak lagi bertumpu pada supremasi parlemen (parliament supremacy), melainkan pada
supremasi konstitusional (constitutional
supremacy). Kedaulatan yang dahulu diletakkan pada MPR sebagai penjelmaan
rakyat kini telah beralih ke tangan rakyat secara langsung. Hal demikian
memberikan pengaruh yang signifikan kepada mekanisme pengisian jabatan-jabatan
ketatanegaraan yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan negara baik di cabang
eksekutif maupun legislatif.
Oleh sebab itu, konstitusi menempatkan pemilihan umum
(pemilu) sebagai alat untuk menerjemahkan kehendak umum para pemilih menjadi
pemerintahan perwakilan.[1] Sebagai
sarana menerjemahkan kehendak umum atau kedaulatan rakyat sebagaimana
diamanahkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, pemilu merupakan salah satu
keniscayaan bagi negara demokrasi.
Demokrasi dan pemilu merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan atau “qonditio sine qua non”, the one can not exist without the others,
dalam arti bahwa pemilu dimaknai sebagai prosedur untuk mencapai demokrasi atau
merupakan prosedur untuk memindahkan kedaulatan rakyat kepada kandidat tertentu
untuk menduduki jabatan-jabatan politik[2].
Pemilu di Indonesia, berdasarkan Pasal 22E ayat (2)
UUD 1945, diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, dan DPRD. Adapun pemilu tersebut berlandaskan kepada asas langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, menurut Pasal
22E ayat (1) UUD 1945, atau yang biasa disingkat dengan asas “luber jurdil”.
Ketentuan demikian sejalan dengan salah satu unsur negara demokrasi yang
dikemukakan oleh Robert A. Dahl, sebagaimana dikutip oleh Arend Lijphart, yaitu
adanya free and fair elections
(pemilihan yang bebas dan jujur).[3]
Pergantian antar waktu (PAW) anggota legislatif DPR adalah hal
lazim. Seorang anggota dewan bisa diganti dengan berbagai alasan di tengah masa
jabatannya atau bahkan tanpa keterangan jelas. PAW dilakukan atas usulan partai
politik (parpol), istilah populernya adalah recall. Merujuk pada
dalam kamus politik karangan BN Marbun, recall berarti sebagai
proses penarikan kembali atau penggantian anggota dewan oleh induk
organisasinya (parpol).
Pergantian antar waktu
menurut Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 2 tahun 2010
menyebutkan bahwa PAW DPR merupakan
proses penggantian anggota DPR yang berhenti antarwaktu untuk digantikan
oleh calon pengganti Antarwaktu dari Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR dari
parpol dan daerah pemilihan yang sama. Dari data
legislatif 2014-2019 versi KPU yang
diolah, 22 persen anggota DPR berstatus PAW.[4]
Partai Hanura paling sering melakukan PAW selama
periode 2014-2019, mencapai 68,8 persen dari total kursi di DPR. PAW memang
perlu dilakukan ketika dasarnya adalah anggota ikut pilkada, pindah partai,
terkena kasus pidana --termasuk korupsi, menyandang jabatan publik lain seperti
menjadi menteri, atau meninggal dunia.
Banyak ahli mengatakan bahwa seyogyannya parpol tidak boleh mengganti
anggotanya yang menjadi dewan di tengah masa jabatan. Anggota yang terpilih sebagai
dewan dilakukan melalui mekanisme pemilihan yang di pilihan masyarakat melalui
pemilu. Namun pemilu yang di lakukan oleh masyarakat tersebut tidak dapat di
control oleh masyarakat melaikan fungsi kontrolnya di lakukan oleh parpol.
Perubahan regulasi perlu dilakukan sebagai upayah mengatasi Celah-celah hukum
yang dapat di mainkan oleh antar anggota partai politik.
Ada berbagai celah hukum yang coba di lakukan
oleh partai politik hal ini dapat dilihat dari kasus harun masiku dimana ada
perbedaan tafsir mengenai pergantin antar waktu antara PDI Perjuangan dengan
KPU. Adanya putusan Mahkamah Agung Nomor 57 P/Hum/2019 halaman 66 sampai 67
menjelaskan mengenai penetapan suara calon legislative yang meninggal dunia
kewenangan di serahkan kepada pantai politik dimana partai politik di berikan
kewenangan untuk memilih calon legislative yang di nilai terbaik untuk
mengantikan calon tersebut. Putusan ini menjadi cela hukum yang di manfaatkan
oleh beberapa calon untuk dapat menjadi calon secara otomatis melalui pergantian
antar waktu, hal ini menjadi polimik panjang
mengingat parpol dapat meyalahgunakan kewenangannya, hal ini di
karenakan parpol dapat menunjuk calon di luar dari pemilu maupun calon yang
jumlah suaranya kurang sehingga dianggap sangat merugikan pasangan yang memilki
jumlah suara terbanyak lainnya.
Putusan Mahkamah Agung yang sifatnya final dan
mengikat
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan[5] Pasal 24 UUD NRI 1945 menentukan: (1)
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman menurut undangundang, dan (2) susunan dan kekuasaan badan-badan
kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Putusan Mahkamah Agung tidak dapat di terima mengingat KPU berpegang
pada Undang undang pemilihan
umum pasal 426 ayat 3 menjelaskan bahwa calon terpelih anggota DPR, anggota
DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten atau kota sebagaimana di maksud pada
ayat satu di gantikan oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten kota denga calon
dari daftar calon tetap partai politik peserta yang sama di daerah pemilihan
tersebut berdasarkan suara calon terbanyak sebelumnya. Untuk itu KPU tetap
berpegangan pada Undang undang pemilihan umum diatas ini, hal ini di karenakan
bahwa menurut Undang Undang No 12 Tahun Tahun 2011 Tentang Hierarki Perundang
Undangan yang meletakan undang undang di bawah UUD NRI 1945 sehingga mengangap
bahwa Putusan Mhakamah agung kedudukannya di bawah undang undang.
Permasalahan kekuasaan kehakiman tersebut tidak begitu saja hilang
akan tetapi dengan segala peraturan perundang- undangan.[6]
yang justru dapat melemahkan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Secara
logis memang akan ada kemungkinan kepentingan politik menjadi masuk dalam ranah
proses penegakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, karena Dewan Perwakilan
Rakyat adalah lembaga politik yang juga menghasilkan kebijakan-kebijakan
politik. Padahal Pengadilan sebagai salah satu institusi yang bertugas
menegakkan kekuasaan kehakiman harus melepaskan diri dari interpensi lembaga
lain demi menciptakan independensi demi mewujudkan penegakan hukum yang
berkeadilan. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut, hakim harus
memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam
perundang-undangan[7] Keberadaan negara Indonesia sebagai negara hukum harus di buktikan
dengan eksisnya lembaga-lembaga kekuasaan negara,[8] lembaga lembaga ini guna mengatur dan tidak menimbulkan
kekacouan hukum dalam kehidupan masyarakat dan tindakan sewenang-wenang.[9] Lembaga penegak hukum sebagaimana
dimaksud adalah lembaga peradilan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.[10]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana polemik Pengaturan Pergantian Antar Waktu Dalam
Undang Undang No 7 Tahun 2017
Tentang Pemilu?
1.
bagaimana merefleksikan Putusan
Mahkamah Agung No 57 P/Hum/2019 mengenai Pergantian
Antar Waktu ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Mengidentifikasi potensi
polemic yang terjadi atas pergantian antar waktu dalam
Undang
Undang No 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilu.
2.
Mengidentifikasi
menyelesaikan pergantian antar waktu yang
terjadi hingga saat ini.
3.
Megidentifikasi
urgenitas lahirnya Putusan Mahkamah
Agung No 57 P/Hum/2019 mengenai Pergantian
Antar Waktu.
4.
Mengidentifikasi dampak Sosial, Ekonomi dan negara demokrasi.
D. Target dan Luaran
Penelitian ini memiliki target berupa peta potensi sosial, potensi ekonomi
dan membangun semangat keselarasan demokrasi. Selain penelitian ini memberikan gambaran yang luas kepada masyarakat
Indonesia mengenai dampak dampat dari
gagalnya sistem demokrasi yang di bangun. Hasil penelitian ini
nantinya akan bisa digunakan sebagai data untuk melaksanakan pembangunan fungsi demokrasi dalam membangun
Indonesia yang adil, jujur, dan berintegritas..
Penelitian ini bisa menjadi sumber pengetahuan baru dalam dinamika
pengembangan dan pengetahuan masyarakat serta menjadi inspirasi bagi kemajuan
masyarakat. Penelitian ini juga akan ditulis dalam jurnal yang bisa memberikan
pengetahuan baru dalam terkait dengan lahirnya sistem demokrasi dengan pergantian antar waktu, guna penghematan
anggaran dan tidak adanya kekosangan jabatan.
[1] International IDEA, Standar-Standar Internasional Pemilihan
Umum, Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu, Seri Buku Panduan,
Jakarta:
International IDEA, 2002, Hlm. 61.
[2] Refly Harun, Disampaikan Dalam Seminar Nasional “Meneropong Problematika Pada Pemilu
Tahun 2019” Yang Diselenggarakan Oleh Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram
Di Yogyakarta, 27 Oktober 2018
[3] Lebih
Lengkapnya, Robert A. Dahl Mengemukakan Terdapat Delapan Unsur Negara
Demokrasi, Yaitu: (A) Freedom To Form And
Join Organization (Kebebasan Untuk Membentuk Dan Bergabung Dalam
Organisasi); (B) Freedom Of Expression (Kebebasan
Untuk Berpendapat); (C) The Right To Vote
(Hak Untuk Memilih); (D) Eligibility For
Public Office (Hak Untuk Dipilih Dalam Jabatan-Jabatan Publik); (E) The Right Of Political Leaders To Compete
For Support And Votes (Hak Dari Pemimpin Politik Untuk Bersaing Dalam
Mendapatkan Dukungan Dan Suara); (F) Alternative
Sources Of Information (Tersedianya Sumber-Sumber Informasi Alternatif);
(G) Free And Fair Elections
(Pemilihan Yang Bebas Dan Jujur); Dan (H) Institutions
For Making Government Policies Depend On Votes And Other Expressions Of
Preference (Tersedianya Lembaga-Lembaga Untuk Menjadikan Kebijakan-Kebijakan
Pemerintah Tergantung Pada Suara Dan Lain-Lain Pendapat Yang Disukai
Seseorang). Vide Arend Lijphart, Democracies, Patterns Of Majoritarian And
Consensus Government In Twenty-One Centuries, London: Yale University
Press, 1991, Hlm. 2.
[4] Hedi
Novianto, Problem Di Balik Pergantian Antar Waktu Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Https://Beritagar.Id/Artikel/Berita/Problem-Di-Balik-Pergantian-Antar-Waktu-Anggota-Dpr, Diakses Pada
Tanggal 11 Mei 2020, Pukul 21:21 Wib.
[5]Rimdan, Kekuasaan Kehakiman
Pasca-Amandemen Konstitusi, Jakarta,Kencana, 2013,Hlm.1
[6] Guna Menindaklanjuti Perubahan
Besar Terhadap Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945, Selama Tahun
2003-2006 Telah Dilakukan Serangkaian Penyesuaian Yang Meliputi: Perpu Nomor 1
Tahun 2013 Tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Mahkamah
Agung, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum, Undangundang
Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang
Peradilan Militer,Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial.
[7] Bambang Sutiyoso Dan Sri Hastuti
Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, UII
Press, Yogyakarta, 2005,, Hlm.124
[8] Roni Sulistyanto
Luhukay, Indenpendensi Kekuasaan
Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945 Dan Relevansinya Bagi Penegakan Hukum
Berkeadilan, Jurnal Jurisprudentie UIN Alauddin Makassar, Volume 6 No 1
Juni 2019, Hlm 136.
[9] Roni Sulistyanto
Luhukay, Karakteristik Tanggung Gugat
Perusahaan Terhadap Lingkungan Dalam Menciptakan Kesejateraan Rakyat, Junal
Meta Yuridis Universitas PGRI Semarang, Volume 2 No 1 Tahun 2009, Hlm 26.
BAB VI
PENUTUP
1. Pengaturan Pengantian antar waktu diatur dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dianggap baku dan merupakan
amanah dari konstititusi yang menjelaskan penggantian calon terpilih anggota
DPR bisa dilakukan karena beberapa alasan. Salah satunya meninggal dunia. Pengaturan
tersebut diatur dalam Pasal 426 (1) . KPU mengeluarkan Peraturan
Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 3 Tahun 2019, yang mengatur mengenai caleg yang
berhalangan tetap dibatalkan statusnya sebagai peserta Pemilu. Salah satu yang
disebut berhalangan tetap ialah caleg yang meninggal
2. Pengaturan Pergantian Antar Waktu dalam Putusan Mahkamah Agung No 57
P/Hum/2019 tertanggal 19 Juli 2019 di nyatakan bahwa sah untuk calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk Partai
Politik bagi calon yang meninggal dunia dan dinyatakan sah untuk Partai Politik
bagi calon yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon, Putusan Mahkamah Agung Nomor 57
P/Hum/2019 menjelaskan mengenai penetapan suara calon legislative yang
meninggal dunia kewenangan di serahkan kepada pantai politik dimana partai
politik di berikan kewenangan untuk memilih calon legislative yang di nilai
terbaik untuk mengantikan calon tersebut. Putusan Mahkamah Agung yang sifatnya
final dan mengikat kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
3.
Polemic ini muncul setelah adanya
perbedaan pandangan dan adanya ketidak patuhan KPU terhadap Putusan Mahkamah
Agung. KPU tetap
kota
sebagaimana di maksud pada ayat satu di gantikan oleh KPU, KPU provinsi dan KPU
kabupaten kota denga calon dari daftar calon tetap partai politik peserta yang
sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan suara calon terbanyak sebelumnya.
Untuk itu KPU tetap berpegangan pada Undang undang pemilihan umum diatas ini,
hal ini di karenakan bahwa menurut Undang Undang No 12 Tahun Tahun 2011 Tentang
Hierarki Perundang Undangan yang meletakan undang undang di bawah UUD NRI 1945
sehingga mengangap bahwa Putusan Mahkamah agung kedudukannya di bawah undang undang.
-------------------------------o0o------------------------------------
Setelah diolah dan direvisi di Submit ke Jurnal Lex Jurnalica (ESA UNGGUL)
22 Agustus 2021 - Sinta 4
https://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex
PERBEDAAN
PERTIMBANGAN HAKIM DAN KPU DALAM PENETAPAN SUARA PERGANTIAN ANTAR WAKTU (PAW) DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT |
Comments
Post a Comment