Trend Pejabat Publik yang Aktif di Media Sosial
https://hukum.widyamataram.ac.id/trend-pejabat-publik-yang-aktif-di-media-sosial/
https://scholar.google.co.id/citations?user=CA_A13wAAAAJ&hl=en
Trend Pejabat
Publik yang Aktif di Media Sosial
hartanto
( 2 Mei 2025 )
Trend Pejabat
Publik yang Aktif di Media Sosial merupakan hal yang menarik dalam perspektif
sosial dan dinikmati netizen. Namun dalam negara hukum, perspektif hukum akan
melihat menggunakan UU No. 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, yang memperkenalkan norma baru terkait perlindungan kehormatan
individu, khususnya dalam Pasal 27A. Pasal ini menyatakan bahwa:
"Setiap orang dengan sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal
dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dilakukan melalui sistem
elektronik.“ Adapun ancaman pidananya dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)."
Pasal ini menjadi dasar hukum
dalam kasus pelaporan yang diajukan oleh Dn, seorang pengusaha Surabaya terkait
Wakil Wali Kota Surabaya. Pelaporan ini bermula dari unggahan video inspeksi
lapangan oleh Arm ke sebuah gudang milik perusahaan Dn, yang dituding menahan
ijazah karyawan. Dalam video tersebut, Arm diduga menyebut nama perusahaan,
menampilkan identitas pemilik, serta menyampaikan dugaan pelanggaran hukum, termasuk
indikasi keberadaan hal yang illegal lain, tanpa disertai bukti hukum yang
memadai. Akibatnya, Dn merasa nama baik/ kehormatannya tercemar, sehingga
melaporkan kasus ini ke Polda berdasarkan Pasal 27A j.o 45 ayat (4) UU ITE,
dengan LP/B/477/IV/2025/SPKT/Polda Jawa Timur.
Sebagai pejabat negara, Arm memiliki
kewenangan administratif untuk melakukan inspeksi mendadak (sidak) guna
menanggapi laporan masyarakat. Namun, publikasi temuan melalui media sosial, terlebih
dengan menyertakan identitas pihak terkait/ tertuduhan belum disertai
pembuktian, maka menimbulkan pertanyaan hukum: apakah tindakan tersebut masih
dalam koridor pelayanan publik atau telah melanggar hak warga negara.
Perbandingan dengan Praktik
Pejabat Publik lain kita ambil contoh figur Kang Dedi Mulyadi (KDM) juga aktif
menggunakan media sosial untuk menyoroti masalah sosial. Namun, pendekatannya
berbeda: Kang Dedi cenderung menghindari penyebutan identitas spesifik subyek
hukum individu atau pihak tertentu. Ia lebih menekankan narasi solutif dan
empatik, bukan pendekatan naming and shaming.
Kontennya berfokus pada edukasi
publik tanpa melanggar asas presumption of innocence. Perbedaan
ini menunjukkan bahwa penggunaan media sosial oleh pejabat publik harus
memperhatikan etika komunikasi digital dan prinsip proporsionalitas.
Implikasi Hukum dan Prinsip Good
Governance in casu Pasal 27A UU ITE hadir sebagai respons terhadap
kritik atas pasal pencemaran nama baik sebelumnya, yang sering disalahgunakan
untuk membungkam kritik. Namun, pasal ini juga berfungsi sebagai balancing
power ketika pejabat publik melakukan eksposur berlebihan terhadap warga
tanpa dasar hukum yang sah. Dalam konteks e-government dan good governance,
pejabat publik memang dituntut untuk transparan dan akuntabel. Namun, hal ini
harus sejalan dengan prinsip-prinsip bahkan norma hukum.
Kasus Arm mengindikasikan potensi
penyalahgunaan media sosial oleh pejabat publik untuk membentuk opini. Praktik
komunikasi digital seperti yang dilakukan Kang Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa media
sosial dapat menjadi alat civic engagement yang efektif tanpa melanggar
hak individu.
Pembangunan regulasi khusus yang
mengatur tanggung jawab pejabat publik dalam penggunaan media sosial merupakan
kebutuhan mendesak. Regulasi tersebut harus mencakup: (1) standar komunikasi
digital pejabat publik, (2) prinsip kehati-hatian dalam penyebutan identitas
individu, (3) larangan penyebaran informasi yang belum terverifikasi secara
hukum, serta (4) tata cara penyampaian kritik atau temuan yang tetap menghormati
asas praduga tak bersalah. Tujuan regulasi ini bukan untuk membatasi kebebasan
berekspresi, melainkan memastikan hak tersebut dilaksanakan dalam koridor
konstitusional yang menjunjung martabat manusia dan integritas sistem hukum.
Di samping regulasi, peningkatan
kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani bukti digital juga krusial.
Banyak kasus pencemaran nama baik, kehormatan, doxing, atau ujaran
kebencian di media sosial terkendala akibat lemahnya pemahaman teknis penyidik
terhadap elemen digital seperti metadata, jejak digital, dan konteks komunikasi
daring. Tanpa peningkatan kompetensi ini, proses penegakan hukum berisiko
terhambat, menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengikis kepercayaan publik
terhadap sistem peradilan.
Selain itu, pengembangan model
penyelesaian sengketa digital yang adaptif perlu dipertimbangkan. Penyelesaian
sengketa tidak harus mengutamakan pendekatan pidana (apalagi dalam tertentu
seperti kasus ini), melainkan dapat memanfaatkan mekanisme alternatif seperti online
dispute resolution (ODR), permintaan maaf terbuka, atau rekonsiliasi
berbasis komunitas. Pendekatan ini lebih sesuai dengan karakter media sosial
yang bersifat viral, di mana dampak reputasional sering kali lebih signifikan
daripada konsekuensi hukum. Dengan demikian, konflik digital dapat ditangani
tidak hanya sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai persoalan relasi
sosial yang memerlukan penyelesaian restoratif.
Pada intinya pembahasan diatas
adalah untuk menciptakan keseimbangan antara transparansi pemerintahan,
kebebasan berekspresi, dan perlindungan hak individu di ruang digital.
Demokrasi digital membutuhkan kebebasan yang disertai tanggung jawab, terutama
karena pejabat publik merupakan representasi negara yang setiap pernyataannya
memiliki implikasi hukum dan sosial. Semakin luas penggunaan media sosial
sebagai sarana komunikasi kekuasaan, semakin penting pula pembangunan ”etika
digital”, kerangka hukum yang jelas, dan mekanisme pengawasan yang transparan.
Sumber:
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
https://peraturan.bpk.go.id/Details/267375/uu-no-1-tahun-2024
Laporan Kompas: “Dilaporkan karena Dugaan Pencemaran Nama Baik, Armuji
Serahkan Proses Hukum”. Kompas.com. 2024.
https://surabaya.kompas.com/read/2024/03/04/165508378
UUD 1945, Pasal 28G.
https://peraturan.bpk.go.id/Details/43965/uud-1945
Rekaman aktivitas Kang
Dedi Mulyadi di YouTube. https://www.youtube.com/@kangdedimulyadi_channel
Rudiantara, "Menakar
UU ITE dan Ancaman Kebebasan Berekspresi", Jurnal Kominfo, 2020.
https://jurnal.kominfo.go.id/index.php/kominfo/article/view/1231
Comments
Post a Comment